Tahun 2009 Penuh Kenangan

Waaaakkss.... sebentar lagi tahun 2010.... Wew... tidak terasa ya... cepatnya waktu berlalu. Sekarang, rasanya 24 jam sehari itu tidak cukup. Satu-satunya yang masih terasa lama, hanya saat menunggu hari gajian (dalam kasus saya, menunggu hari gajian hubby) :P
Dari semua yang saya alami sepanjang tahun 2009 ini, ada beberapa kejadian yang menurut saya dapat diberi predikat 'paling'. Paling menyedihkan, paling disesali, paling menyenangkan, dan paling disyukuri.
Paling menyedihkan, adalah ketika saya bersitegang dengan ibu. Kejadiannya bulan Januari, menjelang pernikahan adik perempuan saya. Waktu itu, saya menjadi penengah antara ibu dengan adik dan ibu dengan ayah kandung saya. Ibu menuduh saya mengkhianatinya. Tuduhan yang sebenarnya sudah sangat basi dan sudah pernah terbukti, bukan saya pelakunya. Kalau dulu saya selalu diam dengan alasan tidak mau membuka aib orang, kali ini kesabaran saya sudah habis karena Ibu malah membela pelakunya, setelah tahu itu bukan saya. Ditambah lagi kali ini ibu menuduh saya lebih memihak ke ayah karena saya melarangnya ikut saat adik saya akan mendatangi rumah ayah untuk meminta ijinnya. Padahal larangan itu saya sampaikan karena ada penolakan dari ayah saya.
Tidak kuat menahan emosi, saya sampai menangis di telpon karena ibu tidak mau mendengarkan penjelasan saya. Hubungan telpon baru terputus saat batere handphone saya habis. Sejak itulah ibu menutup pintu rumahnya bagi kami sekeluarga .... hiks hiks.. :(
Paling disesali adalah saat saya membalas perlakuan jahat seseorang kepada saya. Temporarily insanity, itu alibi terbaik saya :P Entah kenapa siang itu saya begitu emosi. Mungkin karena malamnya kurang tidur, mungkin karena naluri keibuan saya yang membuat saya over protective kepada anak-anak saya. Sungguh, sampai sekarang saya masih tidak tahu kenapa saya bisa begitu. Biasanya, bila saya dijahatin orang, saya paling hanya ngedumel saja. Bukan karena takut, tapi lebih karena tidak mau memperpanjang masalah.
Kali ini berbeda. Begitu saya dijahatin, reflek saya membalas. Anehnya, setelah itu saya sama sekali tidak merasakan puas, lega atau pun senang melihat orang itu merasakan balasan dari saya. Saya malah ingin menolongnya dan ada perasaan sesal yang mendalam di dada ini. Terdengar lebay, ya? Tapi sungguh, saya benar-benar menyesal melakukannya. Sejak saat itu saya berjanji, saya tidak akan pernah lagi berusaha membalas kejahatan orang lain ke saya. Biarlah Tuhan yang menyadarkan orang itu akan kesalahannya.
Paling menyenangkan adalah saat-saat saya berlibur dengan keluarga. Tahun ini, kami alhamdulillah dapat berlibur beberapa kali. Segala repot dan lelah yang saya rasakan, hilang dalam sekejap saat mendengar anak-anak bercerita dengan semangat tentang pengalaman liburan mereka yang menyenangkan.
Saya memang hobi jalan-jalan. Apalagi wisata kuliner. Tapi kalau menuruti keinginan hati, rasanya berlibur ke luar kota belum menjadi prioritas karena si bungsu yang masih bayi. Namun masa kanak-kanak hanya sekali seumur hidup. Si abang dan si kakak yang sudah agak besar, berhak mendapatkan liburan yang menyenangkan setelah sehari-hari berkutat dengan pelajaran sekolah. Walaupun liburan tidak selalu berarti menginap ke luar kota. Itulah sebabnya, setiap ada kesempatan berlibur, pasti tidak akan saya tolak. Walaupun itu berarti maraton mencuci dan menyetrika selama seminggu sebelum dan sesudah liburan, menggendong si bungsu kemana-mana selama perjalanan dan segala kerepotan menangani 3 anak kecil, semuanya saya lakukan dengan senang hati. Karena semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan pengalaman yang nantinya akan diperoleh anak-anak selama liburan.
Paling disyukuri selama tahun 2009 ini adalah semua yang telah Allah SWT berikan kepada saya dan keluarga kecil (anak 3 apa masih bisa dibilang kecil? :P ) kami, baik berupa berkah, rezeki, maupun cobaan. Semua itu menjadikan kami semakin dekat satu sama lain dan semakin bersyukur.
Diberikan pasangan hidup yang baik, sabar dan bertanggung jawab serta dipercayakan menjadi bunda dari 3 orang anak yang pintar, lucu dan baik merupakan anugrah tidak terhingga dari Allah SWT. Mereka membuat hidup saya jadi komplit dan berarti karena saya merasa kehadiran saya dibutuhkan.
Sebuah kejutan manis datang di ujung tahun, saat Tuhan mengirimkan teman-teman yang baik dan tidak suka menghakimi, walau kami datang dari berbagai etnis, agama dan latar belakang yang berbeda. Ada teman-teman baru, ada juga teman-teman lama yang kembali menyambung tali silaturahim. Teman-teman yang bisa membuat saya tertawa lepas tanpa harus merasa risih karena bercanda yang dibatasi. Semoga persahabatan kita ini bisa awet sampai tahun-tahun mendatang ya, temans.....*big hug*.
Secara keseluruhan, tahun 2009 ini bagi saya seperti nano-nano yang ramai rasanya. Ada kesedihan, tapi juga ada kebahagiaan. Ada yang disesali, tapi juga ada yang disyukuri. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mensyukuri apa yang sudah kita punya, bukannya sibuk berhitung apa yang kita tidak punya.
Harapan saya, semoga di tahun yang baru, saya tidak akan mengulangi kesalahan-kesalahan saya di tahun 2009 ini dan saya dapat menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari yang sebelumnya. Amiin ya Rabb... :)

To My Mom

Mother's Day is coming.
And I feel the wound in my heart bleeds once again.
The day reminds me of how unfortunate I am to have an unloving mother.
I don't know which one is worse: loosing a loving mother or having an unloving one.
She's there, but I can't touch her, hug her, love her.
All I can do is sending my prayers for her.
Wishing her well.
I always try to understand her, no matter how difficult it is.
Keep telling myself that she actually loves me,
just doesn't know how to do it properly.
But it becomes more difficult to convince myself,
when my little ones asked me: why doesn't she let us in her house?
Why doesn't she come to visit us?
Never think she's a completely bad mother.
I know she's a tough one. I'm so proud of her.
At 30, she moved out of town with her 3 kids after the divorce.
She provided us with the roof over our heads, the meals on the table,
the clothes we wore and the education we needed.
She provided us EVERYTHING but LOVE.
If I can talk to her now,
I don't want to ask her whether she loves me or not.
I just want to say,
Mom, let's start over.
Forgive all the pains we made to each other.
I love you, Mom.
Happy Mother's Day

Pengalaman Saat Berhaji (3)

Setelah berbagai cobaan yang datang silih berganti, akhirnya teman saya itu berangkat juga ke tanah suci. Labaik Allahumma labaik...
Di Tanah Suci
Sebelum keberangkatannya, teman saya sempat membaca di surat kabar bahwa daerah penginapan haji tempat tinggalnya nanti (di Misfalah) kondisinya kurang bagus. Dari lift yang rusak, kamar mandi yang mampet sampai letaknya yang cukup jauh dari Masjidil Haram. Saat itu, dia hanya bisa berdoa, semoga diberi kekuatan selama menjalani ibadah di sana.
Ternyata saat tiba di penginapan, yang terjadi justru sebaliknya. Penginapan yang didapat justru penginapan baru, kondisinya bersih dan rapi, serta letaknya hanya 15 menitan bila jalan kaki. Kalau pun naik taxi, hanya membayar 5 real. Dikelilingi pertokoan dan banyaknya tukang makanan di sekitar penginapan, memudahkannya menyiapkan konsumsi bagi suami, mertua dan tantenya setiap hari. Katanya pada saya, Alhamdulillah, saat membaca surat kabar itu saya tidak suudzon (berburuk sangka). Saya hanya berdoa minta dikuatkan dalam menjalani ibadah ini. Mungkin kalau saya sudah suudzon, yang terjadi justru sebaliknya.
Setiap hari, dia dan suaminya tidak pernah lupa menelpon gadis kecil mereka. Walau hanya 5 menit, tetapi mendengar suara lucu menggemaskan itu lumayan mengobati rasa rindu. Kelegaan luar biasa mendengar laporan pengasuhnya yang mengatakan si kecil tidak rewel mencari bundanya. Hati yang tenang meringankan langkahnya menjalani ritual ibadah di tanah suci.
Dari semua pengalaman luar biasa yang dialaminya di sana, ada satu pengalaman yang benar-benar tidak dapat dilupakannya. Waktu itu, teman saya sedang berkumpul bersama rombongannya di lobby hotel tempat mereka menginap di Madina. Seorang jamaah haji laki-laki bercerita, dia baru saja ikut mengantarkan jenazah ke pekuburan dekat situ. Jenazah wanita asal China (kalau tidak salah).
Pada umumnya, mereka yang ke Madinah, ingin melaksanakan ibadah arba'in. Arba'in adalah melaksanakan 40 waktu shalat wajib berturut-turut, dilakukan secara berjamaah di Masjid Nabawi, selama (kira-kira 8 hari) di sana. Nah, jamaah dari China ini tidak pernah dilihatnya shalat berjamaah. Dan shalatnya tidak berhenti-berhenti. Jadi selesai salam, shalat lagi. Begitu terus beberapa kali. Wah, aliran baru nih, kata bapak itu sedikit sinis.
Tapi saat mengangkat keranda yang super ringan itu, bapak itu langsung istighfar. Selama ini, dia sering mengkritik cara shalat orang lain. Menurutnya aneh bila caranya tidak sama dengan yang dilakukannya. Dia jadi malu karena sering merasa paling benar dalam beribadah, paling tahu ilmu agama. Mungkin bukan bagaimana cara shalatnya yang dinilai Allah SWT, tapi yang paling penting adalah nawaitu (niat)-nya, ujar bapak itu menutup kisahnya.
Tidak terasa, 40 hari berlalu dengan cepat. Tiba waktunya kembali ke tanah air. Kata teman saya, rasanya campur aduk antara senang ingin segera bertemu dengan gadis kecilnya dan sedih akan segera meninggalkan tanah suci. Ya Allah, ijinkan aku mengunjungi rumah-Mu lagi suatu saat nanti, doanya.
Kembali Ke Rumah
Sujud syukur segera dilakukannya begitu kakinya menginjak terminal haji, Bandara Soekarno-Hatta. Tidak sabar teman saya ingin melihat wajah anaknya yang tidak ikut menjemput di bandara saat itu.
Air mata bahagia pun tidak terbendung lagi ketika akhirnya teman saya melihat anaknya keluar dari rumah mertuanya. Dipeluknya tubuh kecil itu seperti tidak ingin dilepaskannya lagi. Ya Allah, terima kasih telah Kau berikan kesempatan bagi kami untuk bertemu kembali, ujarnya dalam hati.
Di akhir ceritanya, teman saya menganjurkan, apabila sudah punya niat baik, jangan menunda. Segala kendala, serahkan pada Allah SWT. Insya Allah, akan baik hasil akhirnya.
Well, pembaca blog Idenyadini yang dirahmati Allah SWT, mari wujudkan niat baik kita dengan segera. Jangan menunda. Mulailah dengan bismillah. Jangan bilang belum mendapat panggilan. Allah SWT selalu memanggil kita untuk datang ke rumah-Nya, tetapi banyak dari kita yang tidak mau memenuhi undangan-Nya dengan berbagai alasan.
Bagi yang sedang menunaikan ibadah haji, semoga menjadi haji yang mabrur dan kembali dengan selamat ke tanah air :)

Pengalaman Saat Berhaji (2)

Masih penasaran dengan pengalaman teman saya itu? Silakan baca lanjutannya :)
Menjelang Keberangkatan
Akhirnya diputuskan untuk mengambil pembantu baru. Saat itu, H - 2 minggu.
Datanglah cobaan keempat, baru beberapa hari kerja, ternyata si mbak sakit. Dibawa ke dokter, baru diketahui dia menderita infeksi saluran kemih. Selama seminggu total, si mbak istirahat di tempat tidur sambil minum obat dari dokter, sementara teman saya mengurusnya. H -5 hari, si mbak yang sudah mulai baikan baru mulai di training (kembali) tentang kebiasaan-kebiasaan si kecil.
Merasa tidak mungkin maksimal dengan hasil training-nya, teman saya pun menyiapkan berbagai instruksi dan petunjuk yang dibuatnya di beberapa lembar kertas untuk ditempelkan di sekitar tempat tinggal si kecil nantinya. Rencananya si kecil akan dititipkan di rumah kakeknya. Walaupun sang nenek ikut dengan teman saya ke tanah suci, minimal si kecil berada di lingkungan yang familiar, kata teman saya.
Instruksi yang dibuatnya cukup detil. Dari instruksi pertolongan pertama, alamat dan nomor telpon dokter, nomor-nomor telpon penting lainnya, kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, sampai larangan-larangan yang harus dipatuhi (tidak boleh makan es, tidak boleh makan permen banyak-banyak, dan sebagainya). Sebagian ditempel di dinding kamar bersama foto-foto mereka bertiga (biar si kecil tidak lupa sama orangtuanya, alasan teman saya itu) dan sebagian lagi ditempel di dekat telpon dan di pintu kulkas!!
Persoalan si mbak, untuk sementara dapat ditangani.
Ternyata, maksud hati ingin mempermudah si mbak untuk mengingat semua instruksi darinya dengan menempelkannya di dinding, mendapat penolakan beberapa pihak. Alasannya, mengganggu pemandangan. Akhirnya, semua kertas itu terpaksa dihilangkan dari ruang tamu dan dapur, yang tersisa hanya di kamar tidur. Teman saya semakin kuatir meninggalkan anaknya. Tekanan darahnya saat itu sampai 120/90, jauh dari yang biasanya 90/70.
Tiada hari tanpa nangis sejak si mbak yang dulu itu tidak kembali ke jakarta, kata teman saya. Setiap tidur dipandanginya wajah anaknya sambil meminta maaf karena akan meninggalkannya. Lucunya, si kecil tidak merasa sedih sama sekali. Dia masih tetap ceria seperti anak-anak pada umumnya.
Pada hari keberangkatan, saat di dalam bis yang akan mengangkutnya ke Asrama Haji Pondok Gede, teman saya sudah hampir membatalkan niatnya untuk berangkat kalau saja dia tidak melihat anaknya yang tetap ceria sambil melambaikan tangan berseru, "Da-da bunda.... da-da bunda..." Kata teman saya, yang saya takutkan bukan bagaimana anak saya saat saya pergi nanti. Tetapi kekuatiran akan kemungkinan anak saya bisa menjadi yatim piatu lah yang membuat saya berat meninggalkannya. Untuk itu, dia dan suaminya telah menyiapkan surat wasiat sebelum berangkat. Surat yang ditandatangani masing-masing 2 orang saksi dari keluarga kedua belah pihak.
Malamnya, ternyata Kakak iparnya berbaik hati membawa si kecil ke Asrama Haji saat membawakan obat mertuanya yang tertinggal. Anehnya, kali ini, teman saya sudah ikhlas meninggalkan si kecil. Tidak ada air mata lagi. Hanya doa yang dibisikkannya ke telinga anaknya, semoga Allah selalu melindunginya dan memberikannya yang terbaik.
====== (bersambung) =======

Pengalaman Saat Berhaji (1)

Sebentar lagi, umat Islam merayakan Iedul Adha, alias Ied Mubarak alias Hari Raya Kurban atau juga banyak yang menyebutnya dengan Hari Raya Haji. Sebutan yang terakhir ini mungkin karena hari raya ini erat kaitannya dengan ritual berhaji (lazim disebut "naik haji"). Rukun Islam yang kelima ini (pergi haji bila mampu), umumnya yang paling berat dilaksanakan umat Islam. Berat di sini, bisa karena merasa belum mampu secara finansial, anak-anak masih terlalu kecil untuk ditinggal, atau bahkan karena merasa belum mendapat 'panggilan' dari Allah (memang panggilan-Nya itu seperti apa sih?)
Walaupun badan sehat, uang ada, kesempatan ada, kalau belum dapat panggilan itu, belum bisa ke sana (katanyaaaaaaaa). Kalau menurut saya, mungkin kata yang tepat bukan panggilan, tapi rezeki. Rezeki kan bisa berupa sehat, harta bahkan kesempatan. Kalau badan sehat, uang ada, tapi terlambat mendaftar (sehingga kesempatan tidak ada), ya tetap saja tidak bisa berangkat berhaji.
Memang berhaji adalah rukun Islam kelima yang hanya diwajibkan bila kita mampu. Tetapi banyak juga yang menundanya karena merasa belum siap. Belum siap untuk berubah setelah pulang dari tanah suci, alasannya. Lha, bagaimana mau berubah, belum berangkat saja sudah takut untuk berubah?
Kebetulan, seorang teman wanita saya, usianya masih 31 tahun saat itu, telah melaksanakan ibadah ini. Karena penasaran, saya pun minta diceritakan pengalamannya berhaji. Ternyata seru juga. Dimulai dari sebelum mendaftar hingga pulang kembali ke tanah air, saya bagi dengan anda di sini, komplit, plit, plit! Semoga bermanfaat.
Cobaan Datang Silih Berganti
Kesempatan berhaji bagi teman saya itu datang ketika sang suami mendapat rezeki berupa sejumlah uang dari orangtuanya, untuk dibelikan rumah. Karena merasa sudah memiliki rumah pribadi walaupun hanya tipe RS7 (Rumah Sangat Sederhana Sampai-Sampai Selonjor Saja Susah), tapi dia dan suaminya tidak merasa perlu membeli rumah lagi. Setelah dipikirkan bersama-sama, mereka sepakat untuk menggunakan uang tersebut untuk berhaji. Mumpung masih muda, insya Allah badan masih kuat dan sehat untuk menjalankan ibadah yang katanya cukup berat ini, begitu pikir mereka.
Setelah dihitung-hitung, ternyata uang tersebut masih banyak lebihnya jika dipakai untuk berhaji berdua. Terutama bila mereka tidak mengambil paket ONH plus. Kalau mengikuti yang reguler (40 hari), uangnya masih cukup untuk mengajak 2 orang lagi. Setelah berunding, mereka memutuskan untuk mengajak ibu mereka masing-masing. Bila karena sesuatu hal yang diajak tidak bisa ikut, maka diputuskan untuk dialihkan kesempatan ini ke urutan sebagai berikut: ibu, ayah, saudara laki-laki, tante yang tidak berkeluarga/janda, dan paman. Asalkan, masing-masing 1 orang dari pihak istri dan pihak suami. Biar adil, katanya. Setelah ditanya ke keluarga masing-masing, akhirnya yang ikut adalah ibu dari pihak suami dan tante dari pihak istri.
Tahap satu, sukses. Sekarang mendaftar. Saat itu, masih 11 bulan lagi pendaftaran untuk berhaji tahun depan, ditutup. Takut kecewa, mereka mewanti-wanti ibu dan tante agar tidak terlalu berharap. Karena belum tentu kebagian kuota. Alhamdulillah, tahap ini pun, sukses. Mereka berempat termasuk dalam daftar peserta haji tahun 2004.
Sekarang giliran yang akan ditinggalkan, yang harus dipersiapkan. Anak mereka saat itu masih satu, gadis kecil berusia 2,5 tahun. Mereka terbiasa tidak menggunakan pembantu di rumah, jadi si anak sangat dekat dengan ibunya. Tentu saja ini menimbulkan kekuatiran pada teman saya dan suaminya itu. Siapa yang akan mengasuh si kecil selama 40 hari itu? Bagaimana kalau dia sampai sakit karena jauh dari ibunya?
Maka direkrutlah seorang pengasuh. Saat itu, masih sekitar 11 bulan sebelum keberangkatan ke tanah suci. Rencananya, selama 11 bulan itulah si mbak akan di training oleh teman saya agar mengetahui kebiasaan-kebiasaan si kecil sehingga diharapkan dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi selama 40 hari itu.
Cobaan pertama, datang. Teman saya dan suaminya harus dirawat di rumah sakit selama seminggu karena demam berdarah. Sekamar pula! Dulu waktu saya di rumah sakit, saya cemas sekali memikirkan si kecil yang harus ditinggal seminggu di rumah neneknya (bersama si mbak tentunya), kata teman saya. Tapi sekarang setelah semuanya lewat, dia berpikir, mungkin ini cara Allah untuk menunjukkan kepada dia dan suami bahwa anak mereka akan baik-baik saja bila ditinggal ke tanah suci nanti. Terbukti selama seminggu itu si kecil tidak rewel mencari orangtuanya.
Cobaan kedua. Suaminya yang sebelumnya baik-baik saja, tiba-tiba kaki kirinya bengkak. Setelah ke dokter dan cek darah, ternyata terkena asam urat! Padahal usianya baru 30 tahun. Alhamdulillah, setelah diobati, berangsur-angsur kaki sang suami membaik.
Belum lama bisa menarik napas lega, cobaan ketiga pun datang. Setelah lebaran, si mbak yang sudah berjanji akan kembali, ternyata tidak bisa menepati janjinya karena suami dan anak-anaknya melarang. Panik. Itu yang dirasakan teman saya. Dia bahkan menelpon ke kampung si mbak itu berkali-kali, tapi tetap tidak ada hasilnya. Padahal nelponnya sudah sambil nangis bombay, lho! Tapi suami si mbak tetap pada pendiriannya.
Terus, bagaimana dengan si kecil? Siapa yang akhirnya akan mengasuhnya selama orangtuanya berhaji? Apakah masih ada cobaan-cobaan lainnya yang akan dialami suami istri itu sebelum dan selama berhaji?
Tahan rasa penasaran anda. Ikuti kisah teman saya itu di Pengalaman Saat Berhaji (2)........... :)

Catatan Perjalanan: Singapura

Seperti liburan sebelumnya yang ke Malaysia, liburan kali ini juga liburan setengah maksa judulnya. Dibilang setengah maksa karena dilakukan BUKAN pada saat libur sekolah. Tapi karena hubby sedang dinas, ya saya dan anak-anak ikut karena bisa numpang akomodasi alias hotel gratis :D
Awalnya mau ikut saat hubby ke Bali, tetapi setelah browsing ternyata tiket untuk 3 (saya dan anak-anak saja, hubby pulang-pergi sendiri) orang plus bayi ke Bali Rp.6jutaan (AirAsia). Sementara tiket ke Singapura naik Tiger Airways 'cuma' Rp.2jutaan! Bukannya tidak nasionalis kalau saya akhirnya milih ke LN, tapi hanya berpikir ekonomis saja :)
Selain maraton mencuci dan menyetrika baju sebelum berangkat, sebenarnya beban saya sedikit berkurang. Koper berisi baju dan barang-barang kami telah dibawa lebih dulu oleh hubby. Saya hanya harus membawa tas dokumen, stroller, dan tas perlengkapan susu. Tapi yang namanya berangkat liburan naik pesawat tanpa di dampingi hubby, panik tentu saja ada. Ke luar negeri, apalagi. Tapi dengan niat ingin menyenangkan anak-anak, dengan Bismillah saya mulai petualangan seru ini :)
Ready to Go
Hari H-1, semua pekerjaan rumah alhamdulillah sudah selesai. Katering sudah dibatalin untuk Jumat, tukang koran sudah dibayar, barang-barang yang mau dibawa sudah siap, permintaan izin ke guru si abang sudah ditulis di com-book dan taksi sudah dipesan.
Hari H, jam 12an si abang sudah dijemput dari sekolah. Di rumah, Z langsung mandi dan shalat. Jam 15 taksi yang dipesan datang. Saat mau keluar rumah, termos si kakak tiba-tiba lepas talinya. Tidak ada waktu untuk membetulkannya, akhirnya terpaksa ditinggal. Padahal termos itu sengaja dibeli untuk dibawa liburan ini. Untung si kakak tidak ngambek. Gara-gara insiden kecil itu, waktu taksi mulai jalan, saya jadi ragu-ragu apakah tadi sudah mengunci pintu depan..... hmpfh! Benar-benar sudah tidak bisa mikir lagi. Mau balik, tidak mungkin. Jalanan mulai macet. Keringat dingin pun mulai membanjir :(
Sesampainya di bandara, masih banyak waktu sebelum check-in counter dibuka. Akhirnya kami jalan-jalan dulu di sekitar gate 2D sambil menidurkan Zaza di stroller-nya. Berhubung penerbangan yang dipilih adalah yang no frill, tentunya tidak akan disediakan makanan, kecuali bila membeli on board. Biasanya sih, menunya tidak worth it. Maka saya putuskan untuk makan dulu di HHB sebelum check in.
Selesai makan, kami langsung menuju gate 2D. Dari layar TV yang ada di situ, tertulis kalau check in counter untuk TIger Airways ada di konter 19. Tapi setelah mencari kesana-kemari, ternyata berada di gate 3. Gubraaakk!!!
Untung karena konter baru buka, antrian tidak panjang. Cuma 10 menit kurang, proses check in selesai. Dari situ langsung menuju ke konter bebas fiskal. Disini juga tidak lama. Sekitar 15 menitan. Lanjut lagi ke konter imigrasi. Alhamdulillah, lancar juga. Mungkin karena kami yang terlalu cepat sampai di bandara atau juga karena proses check in yang serba lancar, maka saat tiba di boarding gate, masih ada waktu sekitar hampir 2 jam sebelum waktunya boarding.
Karena belum bisa masuk ke boarding gate, saya mengajak anak-anak untuk duduk di kursi-kursi yang disediakan disekitar situ. Saat menunggu, hati saya miris melihat para TKI (kebanyakan wanita) yang duduk-duduk di lantai di sekitar situ. Ini kan gate untuk penerbangan internasional, kok dibiarkan ada pemandangan yang seperti ini ya? Para TKI itu tidak salah. Mungkin mereka tidak mengerti. Seharusnya pihak bandara yang menyediakan tempat yang layak bagi mereka menunggu sehingga mereka tidak harus lesehan seperti itu. Kesannya jadi kumuh dan tidak rapi.
Saat waktunya boarding, hal yang cukup mengesalkan terjadi. Seperti biasa, ada orang tidak mengerti caranya mengantri. Walaupun sudah saya sindir dengan mengatakan; "Am I invisible or he just doesn't know how to queue?" dengan suara yang cukup keras sampai orang itu menoleh ke arah saya, Tapi harapan tinggal harapan, orang itu pura-pura tidak tahu. Dia terus saja berdiri di depan saya tanpa merasa bersalah. Kalau dibilang tidak bisa bahasa inggris, rasanya tidak mungkin karena saya mendengar dia berbicara dengan anaknya memakai bahasa itu. Batin saya, sayang ya, semakin banyak uang (bisa ke LN toh?), kok ya semakin tidak tahu etika? @_@
Perjalanan sekitar 2 jam-an itu benar-benar luar biasa, karena Zaza yang tadinya diperkirakan akan tidur selama perjalanan, malah sibuk mengaduk-aduk tas dokumen saya.... hiks :( Dengan penuh perjuangan, akhirnya formulir imigrasi dan custom berhasil saya isi (total ada 4 set!). Legaaaa sekali rasanya begitu pesawat akhirnya landed. Yeeeesss!!!! :D
Bersama hubby yang sudah menunggu di bandara, kami naik taksi ke Swissotel di Merchant Road, sekitar Clarke Quay. Lewat tengah malam, anak-anak akhirnya berhasil ditidurkan. Wew.... what a day!
Day 1 in Singapore: The Adventure Begins
Pagi-pagi jam 8-an, dengan taksi kami sudah menuju Suntec City untuk mengikuti Ducktour. Maunya sih, naik MRT. Tetapi hubby harus segera kembali ke hotel karena ada acara jam 9. Konter Ducktour baru buka jam 9.30, jadi saya dan anak-anak jalan-jalan dulu di dalam mal yang baru setengah buka itu. Lumayan juga olah raga saya pagi itu. Karena tidak memungkinkan membawa baby trolley, jadi saya menggendong Zaza dengan kain gendong yang memang sudah saya siapkan dari rumah.
Ducktour kami pilih karena keunikannya. Dimana lagi dapat ikut tur sambil menaiki bis amphibi bekas kendaraan perang Vietnam, yang bisa melalui darat maupun laut? Perjalanan selama sejam dari Suntec City - Marina Bay PP itu tidak terasa membosankan dengan tour guide yang sangat ramah dan cukup humoris. Anak-anak juga sangat excited saat bis mulai memasuki perairan. Ini pengalaman pertama buat mereka (dan saya tentunya) naik kendaraan amphibi. Apalagi rutenya juga melewati Kampong Glam, Singapore Flyer dan giant Merlion. Saya rasa tur ini patut dicoba.
Sudah jam 11 lewat saat kami tiba kembali di Suntec City. Anak-anak memilih untuk makan siang di kamar hotel saja, biar bisa sambil nonton TV alasan mereka. Maklumlah, kalau di rumah, kan ada No TV policy (except VCD/DVDs on weekends). Jadi menonton TV merupakan kemewahan bagi mereka :P Setelah membeli makanan di McD, kami pun kembali naik taksi menuju hotel.
Selesai shalat Jumat, hubby sudah kembali ke kamar. Istirahat sebentar sebelum siap-siap untuk mengikuti tur ke Sentosa Island. Dijemput dengan bis di hotel, kami diantarkan ke tempat tur bermula, yaitu di Singapore Flyer. Dari tour guide yang di Ducktour, saya mendapat informasi bahwa saat terbaik menaiki Singapore Flyer adalah jam 18-1830. Saat itu tidak terlalu panas dan juga belum terlalu gelap untuk mendapatkan pemandangan yang spektakuler dari wahana dengan ketinggian 145m itu, yang menurut saya bentuknya mirip Bianglala di Dufan atau London Eye di Inggris. Tapi Z tidak mau naik Singapore Flyer. Tinggi banget, Bun... Kalau jatuh bagaimana? katanya.
Tur ke Sentosa Islands ini memakan waktu sekitar 4 jam. Tur yang sangat padat dan lumayan melelahkan, menurut saya. Tapi anak-anak tampak sangat menikmatinya. Dimulai dari Underwater World, kemudian ke Imbiah Lookout untuk menaiki Tiger Sky Tower dan menyaksikan Images of Singapore. Terakhir tur ditutup dengan menonton pertunjukan Songs of the Sea.
Underwater World semacam Water World di Dufan atau Aquaria di Malaysia. Menurut saya sih, masih lebih bagus Aquaria. Sedangkan Imbiah Lookout sendiri merupakan bagian dari Sentosa Island yang di dalamnya juga termasuk Insect Kingdom, yang sayangnya tidak termasuk dalam paket tur yang kami ikuti ini (padahal z sudah tidak sabar ingin melihat kerajaan serangga, katanya). Sementara Tiger Sky Tower adalah menara tertinggi di Singapura, dimana dari atasnya kita dapat melihat pemandangan yang menarik dari Sentosa Island dan sekitarnya.
Images of Singapore adalah semacam diorama yang menceritakan tentang perbedaan kebudayaan dan persatuan nilai-nilai yang membentuk Singapura menjadi seperti sekarang. Mungkin seperti diorama yang ada di Monas, hanya saja yang ini dikemas jauh lebih menarik :)
Kalau menurut saya, dari keseluruhan tur ini yang paling menarik adalah Songs of the Sea. Seperti juga Indonesia yang memiliki Air Mancur Menari di Monas, Singapura memiliki Songs of the Sea yang merupakan pertunjukan yang memadukan efek dari drama, air mancur, kembang api dan musik yang dapat membuat anda ikut bergoyang. Zu bahkan ikut menari-nari mengikuti irama dan baru lari kembali ke tempatnya karena kaget mendengar ledakan dari kembang api. Sementara Za tetap tidak bergeming. Dia tetap tertidur pulas sampai pertunjukan selesai :D
Malam itu, hujan. Alhamdulillah saat pertunjukan dimulai hujan sudah berhenti. Tapi kursi penonton jadi basah :( Untung bawa beberapa kantong plastik untuk alas duduk. Kalau tidak, bisa masuk angin nanti pulang dengan celana basah.
Hari sudah mulai malam saat berjalan kembali ke bis. Sudah waktunya mengisi perut, terutama buat anak-anak. Repotnya, di Singapura peraturannnya sangat ketat. Dilarang untuk makan dan minum di sembarang tempat termasuk di dalam bis. Kami berulang kali di ingatkan tour guide untuk menyembunyikan makanan dan minuman yang sedang kami konsumsi saat di bis. Habis mau bagaimana lagi? Kami satu dari dua peserta tur yang membawa anak kecil. Tapi kami satu-satunya yang membawa anak usia di bawah 2 tahun. Daripada anak-anak sakit, saya lebih memilih memberi makan mereka diam-diam. Maaf ya, pemerintah Singapura.... you don't give me any choice ;P
Peserta tur kemudian di antar ke hotelnya masing-masing dengan bis. Sampai di kamar saya langsung memandikan anak-anak, sementara hubby keluar lagi untuk membeli makan malam di mall di seberang hotel. Malam itu saya tertidur dengan perut kenyang, kecapekan dan kaki yang rasanya sebesar talas Bogor ;P
Day 2
Pagi ini rencananya mau ke Singapore Science Center dan Snow City dengan menggunakan MRT dan bis. Setelah selesai sarapan dan mandi, kami pun langsung ke stasiun MRT yang letaknya persis di sebelah hotel. Si abang senang sekali saat diminta ayahnya membeli tiket MRT melalui vending machine. Pertama-tama diperhatikannya dengan seksama contoh yang diberikan ayahnya. Berikutnya, dia langsung pede untuk mencobanya sendiri :)
Sampai di stasiun Jurong East, kami harus melanjutkan perjalanan dengan bis untuk mencapai Singapore Science Center. Sebenarnya jaraknya dari stasiun Jurong East bisa ditempuh dengan berjalan kaki dalam waktu 10 menit. Tapi daripada nyasar, lebih baik cari yang pasti, begitu alasan hubby. Ternyata benar saja. Belum ada 5 menit kami duduk di bis, sudah sampai.
Walaupun kami turun dari bis tepat di depan Singapore Science Center, tujuan pertama adalah Snow City. Letaknya memang bersebelahan. Dengan pertimabangan saat itu sudah dekat jam makan siang dan kemungkinan anak-anak tidak akan tahan lebih dari 1 jam di Snow City, karena udara dinginnya.
Snow City adalah tempat bermain salju dalam ruangan tertutup pertama yang ada di Asia Tenggara, kalau tidak salah. Untuk bisa masuk ke sana, pengunjung diharuskan memakai perlengkapan musim dingin (winter), seperti jaket tebal, sepatu boots, sarung tangan, dan helm bagi anak-anak. Mulanya saya kuatir Zaza tidak boleh masuk karena terlalu kecil. Ternyata boleh. Walaupun susah juga menemukan perlengakapan baju musim dinginnya. Semua perlengkapan disitu disewakan. Peringatan bagi yang ingin bermain di Snow City, jangan datang memakai celana pendek atau bahkan rok! Karena anda tidak akan diperbolehkan masuk.
Di dalam, suhunya ternyata minus 15 derajat! Tadinya saya sudah mau keluar lagi karena takut Zaza kedinginan. Tapi ternyata dia tenang-tenang saja, tuh. Malah tertawa-tawa waktu saya bawa meluncur dari bukit salju buatan. Walau begitu, setelah selesai photo dan merasakan satu kali meluncur, saya bawa Zaza keluar duluan. Sementara si abang yang tadinya takut untuk meluncur, malah jadi ketagihan untuk mengulanginya lagi dan lagi :D
Dari Snow City, kami menuju McD yang ada di dekat situ untuk makan siang. Setelah selesai makan, barulah kami memasuki Science Center. Di sini terdapat beberapa eksperimen sederhana dan permainan interaktif yang dapat membuat para pengunjung, khususnya anak-anak, lebih menyukai ilmu pengetahuan/sains (science). Zi terlihat antusias mencoba beberapa eksperimen. Hanya Zu yang ingin cepat-cepat pulang karena merasa tidak ada yang menarik di situ. Mungkin karena Zu masih berumur 3,5 tahun, sains belum menarik baginya :)
Keluar gedung, barulah kami tahu kalau ternyata sedang hujan. Terpaksa kami naik taksi untuk kembali ke stasiun MRT. Dari situ kami menuju ke Bugis Junction yang kemudian dilanjutkan ke Mustapha Center, sebuah toko serba ada (dalam arti yang sebenarnya) yang menjual makanan, kosmetik, suvenir, baju dan banyak lagi, yang buka 24 jam. Setelah membeli makan siang untuk dibawa, kami pun kembali ke hotel naik taksi (lagi) untuk beristirahat.
Day 3 - We're Going Home
Sore ini, saya dan anak-anak kembali ke Jakarta. Sementara hubby baru bisa pulang 3 hari lagi :( Paginya anak-anak berenang di hotel dengan ayahnya, sementara saya menyempatkan diri mencuci. Alhamdulillah, di hotel ada fasilitas laundry yang bisa dilakukan sendiri dengan memasukkan koin ke mesin cuci dan pengering. Jadi nanti di rumah, pakaian kotor tidak akan banyak. Liburan yang menyenangkan :D
Setelah kembali ke kamar untuk mandi, kami ke mal di seberang hotel untuk makan siang di BK. Lalu jalan-jalan ke Plaza Singapura naik MRT, karena masih ada sedikit waktu dan si abang masih ingin merasakan naik MRT :) Kembali ke hotel jam 15-an, langsung siap-siap ke bandara. Berbeda dengan saat datang, saya membawa 1 buah koper untuk di bawa pulang. Harapannya sih, tidak akan terlalu merepotkan karena dimasukkan ke bagasi.
Budget Terminal terlihat tidak terlalu ramai, dan banyak sekali orang Indonesia di sana dengan tas-tas besar berisi kotak-kotak sepatu, parfum dan lain-lain :) Sempat dipindahkan dari gate 2 ke gate 3, perjalanan pulang relatif lancar. Selama penerbangan, seperti sebelumnya, Zaza sibuk memanjat, menyolek orang yang lewat di dekatnya (saya duduk di kursi dekat alley) dan mengaduk-aduk tas dokumen saya :D
Sampai di Cengkareng, setelah mengambil koper dan stroller yang dititipkan di bagasi, saya membeli makan malam dulu sebelum mencari taksi. Dalam perjalanan pulang, Z dan Zu tertidur kelelahan. Sementara Za seperti tidak pernah kehabisan energi, sibuk memanjat jendela taksi (toloooooongg!!!).
Alhamdulillah, kami tiba di rumah dengan selamat. Penilaian saya terhadap liburan kali ini, Singapura tempat yang menyenangkan untuk membawa anak-anak liburan tanpa harus lapar mata berbelanja (tidak sekali pun kami menginjak Orchard Road!) walau di mana-mana ada mal. Tapi untuk makanan, masih lebih mudah mencari yang halal saat liburan di Malaysia. Sementara pemeriksaan imigrasinya juga lebih ketat dari yang di Malaysia (apa mungkin karena saya memakai hijaab panjang?).
Demikian catatan perjalanan kali ini. Saran saya, bila ingin mengajak anak anda berlibur, niatkan untuk melakukannya sepenuh hati. Jangan belum apa-apa sudah memikirkan repotnya. Dibuat simpel saja. Kan tidak masalah mereka makan junk foods selama 3-4 hari daripada menunggu makanan yang proper tapi harus masuk angin dulu. Yang penting harus halal makanannya. Make your life simpler then you can enjoy it!

Don't Judge A Book By Its Cover

Kalimat di atas artinya bukan 'beli buku berhadiah koper' melainkan 'jangan menilai sesuatu dari luarnya saja. Dalam beberapa hal memang kita perlu menilai sesuatu dari luarnya saja. Seperti memilih buah atau baju. Tidak mungkin kan, kita memilih buah yang kulitnya sudah menghitam tanda mulai busuk?
Kalimat ini mungkin lebih mengena bila diterapkan pada saat kita menilai seseorang. Seorang yang terlihat pendiam dan bermuka jutek, belum tentu bukan sahabat yang baik. Sebaliknya, seorang yang terlihat ramah dan banyak bicara (= lip service), belum tentu seorang yang berhati mulia.
Dalam menilai seseorang, sebaiknya kita telah mengenalnya dengan baik terlebih dahulu. Itu teorinya. Tetapi saya juga selalu mengandalkan insting (baca: naluri atau hati kecil) untuk menyukai atau tidak menyukai seseorang. Alhamdulillah, insting saya belum pernah salah kecuali sekali. Itu pun karena orang itu sudah menjadi teman dekat saya. Mungkin karena dia teman dekat saya, insting saya menjadi kurang peka.
Ceritanya begini. Saya punya 2 teman dekat waktu SMA. Sebut saja si A dan B. Mereka juga saling berteman. Saat si A menceritakan rahasianya ke saya dan meminta agar tidak membocorkannya ke siapa pun termasuk kepada si B, saya tentu saja menyanggupi. Ternyata rahasia itu kemudian menjadi gosip di sekolah. Si B pun menanyakan ke saya, apakah saya pernah mendengar si A bercerita tentang hal ini ke saya? Karena tidak biasa berbohong, spontan saya jawab iya. Tapi saya meminta pengertian B bahwa saya tidak dapat mengkonfirmasi pertanyaannya berdasarkan info yang saya dapat dari si A, karena saya sudah berjanji. B pun mau mengerti.
Singkat cerita, ternyata di kemudian hari, gosip itu menjadi kenyataan dan teman saya si A ternyata telah berbohong pada saya. Rahasia yang diceritakannya pada saya hanyalah skenario palsunya untuk menutupi kesalahannya sendiri. Sungguh saya merasa kecewa. Sejak saat itu saya memutuskan tali persahabatan dengannya.
Beberapa bulan yang lalu, dia mengirimkan friend request di facebook, yang kemudian saya confirmed, dengan harapan dia telah menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Tetapi sampai berbulan-bulan dia ada di friend list saya, tidak sekali pun dia 'menegur' saya di wall ataupun mengomentari foto, status atau apa pun itu. Tadinya saya berbaik sangka, mungkin dia sedang sibuk sehingga tidak sempat facebooking. Tetapi membaca wall-nya, saya tahu dia aktif mengomentari dan menyapa mutual friends kami. Akhirnya, saya remove dia dari friend list agar penantian saya tidak berakhir sia-sia dan saya tidak dikecewakannya lagi.
Beda halnya dengan salah menilai orang yang baru terjadi sekali (semoga tidak pernah lagi), saya sering salah dinilai orang..... hiks :( Terlahir dengan muka galak dan tidak perduli pendapat orang tentang penampilan saya, akhirnya banyak orang salah menilai saya. Seorang teman kuliah saya mengatakan, dulu sebelum mengenal saya, dia malas menegur saya karena saat orientasi kampus saya selalu menyendiri di pojok ruangan atau di barisan paling belakang dengan pasang muka galak dan tidak pernah senyum. Dia akhirnya terpaksa menegur saya karena tidak ada pilihan. Kami duduk bersebelahan, dan temannya belum datang sehingga dia bete bengong sendirian. Setelah percakapan yang seru, dia baru tahu kalau saya orangnya juga suka bercanda dan cukup menyenangkan dijadikan teman. Walau sudah sangat jarang bertemu, kami tetap berteman baik dan saling menelpon hingga kini.
Berdasarkan dua pengalaman di atas, saya menyimpulkan: insting dan pdkt (baca: pedekate = pendekatan) itu sama pentingnya. Insting bisa saja menjadi bias saat kita telah mendengar info yang salah tentang orang itu sebelum mengenalnya. Atau bila kita merasa telah sangat mengenal orang itu, kita cenderung kurang peka terhadap 'perubahan' yang terjadi padanya. Perubahan di sini bisa diartikan sebagai perubahan pada sifat seseorang. Waktu dapat merubah seseorang, kan?
Sementara pdkt tanpa memperdulikan apa yang dikatakan insting kita, juga dapat berakhir dengan kekecewaan. Seperti yang saya alami. Jadi, dengan mengandalkan insting dan pdkt sebelum memutuskan untuk menyukai seseorang atau tidak, akan menghindarkan kita dalam mengambil keputusan yang salah.
That's just a thought :)