Family Holiday: Malaysia

Family Holiday atau Liburan Keluarga, siapa yang tidak mau? Biasanya, acara liburan ini dilakukan dua kali setahun, saat liburan sekolah.
Itu, biasanya. Keluarga kami tidak biasa. Keluarga kami, liburan kapan ada kesempatan dan ada uangnya. Kalau sakit-sakit sedikit, tetap dipaksain jalan. Soalnya, ayahnya anak-anak susah sekali cuti. Biasanya, liburan sekolah, saya dan anak-anak berlibur ke kota kelahiran saya di Sumatra, tanpa didampingi ayahnya. Kalau pun ayahnya datang, biasanya satu atau dua hari menjelang kami pulang. Itu pun biasanya Sabtu sore dia datang, Minggu malam kami pulang.
Jadi, sewaktu hubby bilang akan mengajak kami ke Malaysia dalam perjalanan dinasnya, saya malah ragu-ragu. Masalahnya, pertama: walaupun hari Kamis tanggal 21 Mei itu adalah tanggal merah, tetapi hari Jumat si sulung tetap masuk sekolah. Kedua, ini kan baru bulan Mei! Uang dari mana? Gesek lagi? Wah.... saya kok kurang setuju liburan yang terlalu maksa begini. Kalau cuma dalam kota, paling cuma 1-2 juta yang di gesek.... kalau ke luar negri?
Ternyata, suami saya punya penyelesaiannya. Untuk masalah pertama, katanya dia akan menulis surat izin ke guru sekolah si abang. Sementara masalah keuangan, katanya ada solusinya. Uang perjalanan dinas yang diperolehnya dari kantor, bisa dipakai untuk membeli tiket pesawat dan membayar sewa hotel. Asal beli tiket murah dan cari hotel yang murah juga, insya Allah bisa cukup. Fiskal kan sudah gratis.
Sampai di sini, saya masih tetap ragu-ragu. Bukannya apa-apa. Bagi saya, kalau ada uang lebih, sebaiknya mendahului pelunasan hutang (dalam kasus kami, hutang kartu kredit). Tapi suami saya meyakinkan, belum tentu ada kesempatan seperti ini lagi. Memang sih, biasanya dia berangkat untuk perjalanan dinas, pergi Minggu sore, pulang Jumat malam. Kali ini kan beda. Kamis sampai Jumat kerja, Sabtu dan Minggu bisa dipakai untuk jalan-jalan, demikian alasannya.
Setelah browsing di internet, akhirnya dapatlah tiket lumayan murah dari Airasia dan hotel paling reasonable, yaitu Corus Hotel. Dipilihnya hotel itu, karena tidak mahal (alasan utama) dan terletak di tengah kota, sehingga dekat dengan tourist attractions. Jadi bisa menghemat biaya transportasi kan?
Tiket dipesan hampir sebulan sebelum berangkat. Begitu juga hotel. Padahal, saat itu saya dan anak-anak belum punya paspor (saya sih punya, tapi sudah expired!). Saya sampai tidak berani cerita ke siapa-siapa tentang rencana kami ini, karena takut gagal. Seminggu sebelum berangkat, barulah paspor ada di tangan.
Sebelum Berangkat
Begitu sudah 80% pasti akan jalan, saya pun mulai sibuk membuat lists of things to do dan things to bring. Ribet. Bayangkan, saya harus menyiapakan barang yang harus dibawa untuk 4 orang (suami membuat daftarnya sendiri)! Seminggu sebelum berangkat, maraton mencuci dan menyetrika pun dimulai. Saya bilang maraton, karena kami tidak mempunyai pembantu, apalagi tukang cuci. Normalnya, saya mencuci tiga kali seminggu diselingi menyetrika yang juga tiga kali seminggu. Karena mau liburan 4 hari, berarti saya harus menyelesaikan cucian dan setrikaan minggu ini, sebelum kami berangkat. Dalam 1 hari, yang biasanya saya mencuci saja atau menyetrika saja, sekarang harus hari ini mencuci dan kemudian menyetrika baju yang kemarin sudah dicuci. Begitu terus selama seminggu. Harapannya, pulang liburan nanti, tidak banyak cucian dan setrikaan yang harus dikerjakan lagi.
Sampai malam sebelum keberangkatan, saya belum selesai packing! Waaaks! Mulai panik! Kepanikan bertambah dengan tertinggalnya tas kantor suami yang isinya itinerary dan print out tiket pesawat! Akhirnya jam 2 malam, urusan packing selesai juga. Itinerary dan tiket, di print ulang di rumah. Tidur sebentar, tahu-tahu sudah jam 3.30 sedangkan jam 4-an kami harus sudah meninggalkan rumah karena pesawat dijadwalkan jam 6.15.
Hari Pertama
Saya lalu membangunkan suami, cepat-cepat mandi, membangunkan anak-anak dan mengganti pakaian mereka. Lalu turun ke bawah bikin susu, loading barang-barang ke mobil, dan akhirnya.... periksa pintu, jendela dan stop kontak listrik sebelum meninggalkan rumah.
Setelah sampai di pesawat baru terasa mata berat.... sekali. Namanya juga cuma sempat tidur kurang dari 2 jam. Bagaimana tidak mengantuk? Tapi berhubung anak-anak baru mulai 'on', jadi ya dengan mata sepat terpaksalah saya meladeni keceriwisan mereka. Oiya, mereka tidak saya dan suami beri tahu bahwa kami akan liburan ke Malaysia. Sampai check in, mereka tahunya akan mengantar ayahnya ke bandara. Si abang mulai curiga waktu kami masuk ke bagian yang ada pemeriksaan koper dengan bea&cukai. Rencana ini memang sengaja kami sembunyikan dari anak-anak, karena kami takut mengecewakan mereka kalau ternyata batal berangkat.
Di pesawat, si abang sibuk membaca leaflet tentang keamanan penerbangan, si kakak sibuk menggambar, sementara si adik asyik tidur. Alhamdulillah, anak-anak kami buka tipe yang rewel dan penakut saat naik pesawat. Bahkan mereka terlihat sangat menikmatinya. Si adik yang baru pertama kali naik pesawat pun sama sekali tidak rewel sepanjang perjalanan.
Sampai di Malaysia sekitar jam 9-an. Setelah clearance, kami naik taksi ke hotel. Karena belum bisa masuk kamar, terpaksa koper kami titipkan di concierge. Sementara itu kami langsung jalan kami ke Suria KLCC. Tujuannya ke Petrosains dan makan siang. Ternyata cukup dekat dari hotel. Kalau jalan santai, tidak sampai 30 menit sudah sampai. Sekitar 300 meter dari hotel.
Mengunjungi Petrosains, saya jadi menyayangkan mengapa Indonesia tidak bisa membuat tempat semacam itu. Petrosains bisa dibilang seperti Kidzania. Tetapi kalau Kidzania memberikan kesempatan kepada pengunjungnya untuk merasakan bekerja dalam berbagai profesi, Petronas memberikan kesempatan untuk melakukan simulasi dan percobaan sains (ilmu pengetahuan alam) yang berhubungan dengan petroleum atau minyak. Kita juga bisa mengetahui bagaimana rasanya berada di oil rig atau tempat pengeboran minyak. Anak saya yang sulung kebetulan sangat menyukai sains. Di tempat ini, dua jam belum cukup buatnya bereksplorasi.
Belum puas di Petrosains (kami tidak sempat mencoba Dino Trek), kami harus segera mencari tempat makan siang. Sudah jam 1-an. Harus buru-buru, karena suami masih harus mengejar pesawat yang ke Labuan sore itu. Selesai makan siang dan sekalian membeli makanan buat malamnya (rasanya saya tidak akan kuat keluar hotel lagi mencari makan malam kalau suami tidak ada), kami langsung ke hotel untuk check in.
Hari Kedua
Keesokan harinya, semua bangun kesiangan. Kami sarapan di hotel karena sudah termasuk harga kamar. Setelah sarapan dan mandi, saya dan anak-anak jalan kaki kembali ke Suria KLCC mall. Tujuan hari ini adalah Aquaria dan Suria KLCC Park. Tanpa suami yang mendampingi, saya tidak berani membawa baby trolley. Susah membawanya melewati tangga jalan. Jadi si bungsu harus saya gendong sepanjang perjalanan hari itu.
Tadinya saya malas ke Aquaria, karena beranggapan bahwa tempatnya akan sama saja dengan Sea World. Tapi si abang memaksa. Dia memang hobi sekali mengamati hal-hal semacam ini. Demi anak, akhirnya saya turuti juga. Ternyata, saya tidak menyesal sama sekali! Tempatnya jauh lebih bagus dari Sea World! Terdiri dari 2 lantai, koleksi hewan lautnya banyak dan bervariasi. Disini ada satu kejadian yang cukup memalukan sekaligus mengesalkan. Sewaktu di bagian Education, saya dengan semangat menunjuk ke arah tulisan tentang sea horse (kuda laut) jantan yang hamil. Lihat, bang! Ternyata kuda laut itu yang hamil justru yang jantan! kata saya dengan takjub. Mau tahu apa jawaban si abang? Lho, bunda baru tahu? Abang sudah lama tahu, bun. Makanya baca ensiklopedia, dong.... Gubrak!!!
Dari Aquaria, kami makan siang di food court. Sudah jam 2 lebih, tapi mungkin karena tadi sarapan juga terlambat, anak-anak belum begitu lapar. Sambil makan, saya menyuapi si kakak dan menyusui si adik. Untung si abang sudah bisa makan sendiri. kalau tidak, pusiiiiiiingg!!
Selesai makan, kami keluar gedung mencari taman yang terletak di bagian belakang Suria KLCC mall tadi. Ternyata tamannya luas sekali. Dari melihat peta yang ada di taman, kami tahu ada children playground di situ. Setelah sedikit tersasar (ada perbaikan, jadi beberapa area ditutup, sehingga harus jalan sedikit memutar), akhirnya ketemu juga yang dicari. Ternyata yang namanya children playground itu adalah sejumlah permainan little tikes (ayunan, perosotan, dll) dalam satu area yang luas. Wah.... anak-anak saya langsung kegirangan. Mereka main tanpa mempedulikan panas matahari yang menyengat. Sekitar satu jam disitu, terpaksa saya ajak mereka pulang. Takut sakit. Di antara rengekan si kakak yang belum mau pulang, kami pun masuk kembali ke dalam mal untuk memotong jalan menuju ke hotel.
Sampai di hotel, setelah anak-anak mandi dan minum susu, kami semua pun tertidur kelelahan. Sehabis maghrib, saya siap-siap lagi untuk membeli makan malam. Si abang tidak mau ikut karena merasa kurang enak badan. Pusing, katanya. Akhirnya saya kembali ke mal tadi bersama kakak dan adik. Setelah membeli makan malam dan air mineral di supermarket di dalam mal, kami pun pulang. Kali ini, pulang pergi kami melewati jembatan penyeberangan. Kebayangkan rasanya menggendong bayi, membawa belanjaan sambil menuntun anak kecil? Wuiiiiihhh...... mantaff!!
Si abang ternyata panas suhu badannya. Dia tadinya tidak mau makan, tapi saya paksa. Takutnya tambah parah sakitnya. Beberapa kali muntah, akhirnya saya buatkan minuman sereal agar ada serat yang bisa membuat kenyang. Setelah minum obat demam dan dibaluri minyak kayu putih, dia pun akhirnya tidur. Ayahnya datang saat hampir larut malam. Akhirnya.... bala bantuan datang juga!
Hari Ketiga
Selesai sarapan di hotel, rencananya kami akan istirahat saja di kamar. Si abang masih hangat badannya. Tapi ternyata ada yang protes kalau seharian di kamar terus. Siapa lagi kalau bukan si kakak? Akhirnya, ayahnya menemaninya berenang di kolam renang hotel. Kebetulan kamar kami menghadap ke kolam. Jadi si abang bisa melihat adiknya berenang dari kamar. Maksudnya sih, supaya dia tidak terlalu marah karena tidak dibolehkan berenang.... ternyata malah ngambek! Dasar anak-anak....
Untuk makan siang, hanya suami yang keluar cari makanan di restoran Nasi Kandar di seberang hotel. Nasi kandar itu semacam nasi padang di Indonesia. Hanya saja rasa rempahnya lebih berasa dan bau karinya lebih menyengat. Porsinya pun sama dengan nasi padang. Buanyakk!!!
Malamnya, karena si abang mulai merasa sehat, kami putuskan untuk jalan-jalan ke Bukit Bintang, memanfaatkan free shuttle dari hotel. Ternyata dalam perjalanan, hujan lebat. Kami terpaksa diturunkan di depan Ritz Carlton Hotel. Dari situ, kami naik taksi ke Sungai Wang Mall. Terpaksa naik taksi, karena hujan masih sangat deras. Padahal kalau jalan kaki dari Ritz Carlton tadi cuma 10 menit!
Di Sungai Wang Mall, tujuannya adalah mencari gerai sepatu Vincci yang ngetop itu. Setelah bertanya ke orang-orang akhirnya ketemu, letaknya satu lantai di atas Mc Donalds. Sibuk milih-milih buat oleh-oleh, akhirnya saya memborong 5 pasang sendal..... dan tidak satupun untuk saya! Huaaaaa...... Kenapa ini selalu terjadi sama saya ya? Setiap kali belanja, pasti untuk diri sendiri tidak sempat terbeli! Sudah terlalu malam untuk mencari-cari lagi. Anak-anak belum makan malam. Akhirnya kami makan di Mc D saja, supaya cepat.
Selesai makan, ayahnya anak-anak mau mengajak kami mencoba naik MRT. Akhirnya, kami pun naik MRT ke hotel. Dua kali ganti kereta ditambah jalan kaki beberapa kilometer, akhirnya sampai juga di hotel. Kaki rasanya sudah sebesar kaki Yeti karena capeknya jalan jauh.... Tapi minimal hati sudah tenang, oleh-oleh (sebagian) sudah ditangan.....
Hari Keempat
Hari terakhir. Mulai packing lagi. Pagi-pagi sekali, ayahnya anak-anak sudah ke Petronas untuk antri tiket masuk Skybridge. Tiketnya sih, gratis. Tapi terbatas, jadi harus mengantri dari jam 7.30. Selesai semuanya mandi, kami sarapan di hotel. Ayahnya menyusul. Ternyata dapat tiket yang untuk jam 10.30. Kami putuskan untuk langsung check out dari hotel. Jadi selesai sarapan, kami check out dan menitipkan koper di concierge, lalu langsung berlari-lari ke Twin Towers.
Sampai di sana, ternyata kami sudah terlambat setengah jam. Untung masih dibolehkan masuk. Mungkin mereka kasihan melihat kami yang membawa bayi.... Seperti biasa, yang paling tertarik berada di tempat ini adalah si abang. Berulang kali dia minta difoto sambil memegang brosurnya :) Kekagumannya bertambah saat melihat ada alat yang bisa mengukur tinggi badan secara digital..... Sampai berulang kali dia mencobanya :)
Keluar dari situ, gift shop adalah tujuan berikutnya. Harus mencari oleh-oleh buat teman-teman dan guru kelas si abang, begitu permintaannya. Dari sana, kami langsung ke Suria KLCC mall untuk makan siang dan jalan-jalan menghabiskan waktu sambil menunggu waktu ke bandara jam 5 sorenya.
Jam 4 kurang kami sudah sampai di hotel lagi. Anak-anak berganti baju dan ke kamar kecil dulu sebelum berangkat ke bandara. Taksi yang sudah dipesan lewat concierge menjemput tepat jam 5. Selama satu jam perjalanan menuju bandara, kami semua tertidur di mobil.
Di Bandara sempat makan dan beli oleh-oleh (lagi)..... kali ini coklat buat para keponakan dan kaos buat abang ipar.... tidak lama kemudian, pesawat boarding. Seperti juga perjalanan sewaktu berangkat, kali ini pun anak-anak tidak rewel. Tapi kali ini si adik bangun, jadi sedikit lebih repot. Waktu makan harus gantian memegangnya kalau tidak mau ada yang tumpah. Sementara itu si kakak sibuk ngobrol dengan penumpang yang duduk di belakangnya. Jangan dikira dengan anak seumurannya loh.... Tapi dengan orang dewasa! Sempat terdengar dia menanyakan, om punya pet coiti gak? aku punya... pet ku namanya hula..... Anak zaman sekarang..... obrolannya facebook!!
Sampai di rumah, sudah hampir tengah malam. Anak-anak sudah tertidur di mobil. Tapi tetap semua digantikan bajunya sebelum dinaikkan ke tempat tidur. Bahkan si abang sempat menjamak shalat isya sebelum tidur.
Akhirnya..... home sweet home! Senang rasanya liburan keluarga kali ini sukses. Walaupun harus jadi nanny on duty selama liburan, si abang sempat sakit dan liburan ini merupakan low-cost vacation.... tapi alhamdulillah, kami masih diberi kesempatan liburan bersama. Terima kasih ya, Rabb.... untuk segala nikmat yang Kau berikan.... :)

Hidup Hemat a la Saya :D

Hidup hemat, ngirit, mengencangkan ikat pinggang.... atau apalah namanya, intinya cuma satu: tidak boros! Jangan disamakan hemat dengan pelit. Hemat itu masih bisa menikmati, sedangkan pelit itu sudah menyusahkan. Misalnya, makan di kaki lima itu lebih hemat kalau dibandingkan di kaki lima. Tapi, menahan makan walaupun perut lapar sedangkan dikantong ada uang, itu baru pelit!
Apakah sulit untuk hidup hemat? Sulit mungkin tidak. Tapi memang diperlukan komitmen yang kuat untuk berhasil menjalaninya. Dimulai dari hal-hal kecil, seperti biasakan berbelanja sayuran ke pasar daripada ke hypermart, misalnya. 
Disini saya ingin berbagi perngalaman hidup hemat yang saya jalani selama ini. Sejak kecil saya hidup hemat sudah menjadi my life style. Dulu tujuannya agar celengan ayam-ayaman saya dapat segera penuh. Tidak hanya menghemat uang jajan, saya dan abang saya pun menyewakan buku-buku cerita kami untuk mendapat uang ekstra. Celengan kami biasanya akan dipecahkan pada hari lebaran pertama. Jadi uang dari celengan tersebut ditambah dengan 'salam tempel' dapat dibelanjakan untuk barang-barang idaman yang lumayan mahal, seperti sepeda dan sepatu roda.
Uang saku diberikan orangtua secara mingguan. Walaupun  sangat sedikit (Rp.50,-/minggu waktu SD dan Rp.400,-/minggu waktu SMP), tetapi saya tetap bisa menabung. Berbeda dengan abang saya yang selalu meminjam uang saya, karena sering kehabisan uang sebelum waktunya :) 
Sewaktu saya SMP, orangtua dipindahtugaskan ke luar kota. Saya dan abang tetap tinggal di Jakarta ditemani pembantu, sementara orangtua pulang seminggu sekali. Mungkin karena melihat cara saya dalam mengelola uang saku inilah, orangtua kemudian mempercayakan saya untuk memegang uang belanja mingguan rumah tangga. Karena senang dengan angka dan membuat budget, semua pengeluaran saya buatkan catatannya dengan sangat rinci. Kebiasaan membuat catatan dan rencana keuangan ini masih saya teruskan sampaikan sekarang :D 
Sejak kelas 1 SMA, saya sudah tidak menerima uang saku lagi dari orangtua. Bukan karena mereka tidak mampu memberikannya, tetapi karena ada perbedaan pendapat antara saya dengan orangtua, teItalicrutama ibu. Ibu saya menginginkan anak-anaknya meminta kepadanya kalau mau uang saku. Sedangkan menurut saya, kalau memang mau memberi, ya tidak perlu diminta... (saya dan ibu kebetulan sangat stubborn, jadi ya tidak ada yang mau mengalah). Akhirnya, untuk tetap bisa jajan ataupun jalan-jalan dengan teman, saya berusaha mencari penghasilan dari mengikuti kuis-kuis di radio.
Alhamdulillah, sepertinya keberuntungan sering berada di pihak saya. Setiap minggu, minimal Rp. 25.000,- masuk kantong saya dari kuis-kuis tersebut. Karena bukan orang yang konsumtif, sebagian besar uangnya saya tabung di bank. SMA kelas 2, saya mulai menyimpan dalam US Dollar. Saat itu, kursnya masih 1US$=Rp.2.000-an kalau tidak salah. Tabungan dollar saya pun semakin banyak setelah kuliah saya mulai bekerja paruh waktu. Dari mulai bekerja sebagai guru les, SPG (Sales Promotion Girl) pameran, sampai menjadi usher di seminar-seminar pernah saya jalani. Ternyata, beberapa bulan sebelum saya menikah, uang hasil penjualan dollar inilah yang kemudian menjadi sebagian dari uang DP (down payment) untuk membeli rumah kami yang di Tangerang. Lumayan kan?
Terbiasa hidup hemat dan mencari uang saku sendiri, membuat saya lebih bisa menghargai uang, bila dibandingkan saudara-saudara saya lainnya. Saya lebih memilih berbelanja fashion di Pasar Baru daripada di mal-mal mahal. Dulu saat lebaran biasanya kami diberikan oleh orangtua uang untuk membeli baju baru. Dengan jumlah uang yang sama, adik saya hanya mendapatkan 1 celana jins dan rompi dari merek ternama, sedangkan saya bisa membeli beberapa baju dan kaos, 1 jins, 1 rok, 1 tas dan sepasang sepatu, tetapi bukan barang bermerek. Bagi saya, barang itu tidak harus mahal, yang penting nyaman dipakai. 
Tidak hanya saat membeli barang, saat membelanjakan uang untuk keperluan lainnya pun saya sangat hati-hati. Seperti saat  ke salon. Salon langganan saya masih sama dari jamannya saya kuliah dulu. Lha, buat apa ke salon mahal? Wong model rambut saya begitu-begitu saja dari dulu. Oval, Bob, atau Shaggy oval. Modelnya tidak rumit, rasanya semua hairstylist pasti bisa. Apalagi saya pakai jilbab, jadi ya tidak perlu aneh-aneh modelnya. Asal pendek dan rapih saja, sudah cukup kan? 
Tapi ternyata, tidak semua orang cocok dengan kebiasaan hemat saya ini. Saya pernah ditegur mertua gara-gara saya mengembalikan uang beserta rincian pengeluarannya. Uang itu diberikan beliau sebagai uang saku untuk perjalanan kami ke luar kota, mewakili beliau yang tidak bisa datang ke acara kawinan keponakannya. Kenapa tidak dihabiskan? tanya beliau. Sudah dipakai, tapi masih ada sisa, jawab saya. Beliau cuma geleng-geleng kepala.... :) Yah.... namanya juga kebiasaan, mau bagaimana lagi?
Bagi saya, hemat itu sudah mendarah daging :D Tapi kalau untuk kebutuhan primer, seperti susu, obat dan pendidikan buat anak, ya saya 'tutup mata' saja. Hal-hal semacam itu tidak bisa ditawar lagi. Merek susu boleh diganti dengan yang lebih murah, asal kandungan di dalamnya sama. Anak sakit, ya harus ke dokter kalau sudah lebih dari 2 hari. Masak dibawa ke dukun?! Soal pendidikan, sekolah mahal, kalau memang tidak ada yang lebih murah dengan mutu yang sama, mau bagaimana lagi? Lebih baik saya masukkan anak saya ke sekolah mahal bermutu bagus daripada ke sekolah murah tapi bermutu rendah. Betul tidak?
Anak-anak pun saya ajarkan cara menghargai uang. Salah satunya dengan tidak selalu memenuhi permintaan mereka membeli mainan. Jatah mereka membeli mainan dan buku adalah satu bulan sekali. Itu pun ada batasan harganya. Di luar itu, maaf saja, bukan maksud hati menjadi bunda yang kejam.... tapi saya ingin mengajarkan kepada mereka bahwa dalam hidup ini kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. 
Saya dan hubby selalu mengatakan 'nanti kalau ada rezekinya, ya...' setiap kali mereka meminta sesuatu. Jadi tidak langsung dikasih begitu mereka minta (seperti moto tukang jahit, dong... pagi pesan, sore selesai ;P ). Besok atau beberapa hari kemudian, barulah dipenuhi. Ini berlaku buat apa saja, seperti makan di restoran atau beli mainan dan buku.
Begitulah cara hidup hemat a la saya :) Di saat krisis ekonomi seperti sekarang ini, alhamdulillah saya tidak terlalu panik. Dijalani saja. Asalkan membuang jauh-jauh gengsi dan kebiasaan hidup konsumtif, insya  Allah tidak akan sulit kok, untuk mulai hidup hemat. Selamat mencoba!

Romantis di PMI

Romantis kok di PMI? Begitu mungkin kira-kira yang ada dibenak anda saat membaca judul tulisan ini. Tunggu dulu. Yang saya maksud dengan romantis adalah kependekan dari ROkok MAkaN graTIS. Sedangkan PMI disini bukanlah singkatan dari Palang Merah Indonesia, melainkan Pondok Mertua Indah. Numpang hidup gratis di rumah mertua, begitulah singkatnya.
Topik ini sengaja saya bahas, karena seorang teman baru saja curhat mengenai iparnya yang punya hobi romantis di PMI. Begini curhatannya. Iparnya, sebut saja X, belum setahun ini menikah dengan wanita yang tidak disukai oleh orangtuanya. Tetapi dia memaksa. Katanya, walaupun anak bungsu, dia tidak mau diperlakukan seperti anak kecil lagi (saat itu usianya 29th) dan diatur-atur. Malah dia dan pasangannya juga sesumbar akan merawat ibunya yang sudah tua. Mungkin karena terlalu memikirkan putra kesayangannya itu, si ibu sampai dirawat di rumah sakit lebih dari dua kali dalam setahun dan kehilangan bobot tubuhnya sampai 20 kg!
Akhirnya, orangtuanya dengan berat hati menikahkan mereka. Alasan ibunya sungguh mulia, kalau ditentang terus, takut anaknya jadi anak durhaka. Padahal, seorang anak sudah durhaka begitu dia tidak mematuhi orangtuanya, bukan begitu? Ingat kisah Nabi Nuh dan putranya? Walaupun putranya sudah menolak perintahnya untuk naik ke atas kapal, Nabi Nuh tetap mendoakan putranya tersebut. Tapi Allah tetap menghukum dan menenggelamkan putranya, bukan? Ternyata, doa ayah yang seorang Nabi pun tidak dapat menyelamatkan anaknya yang durhaka dari hukuman Allah. Dibilang berat hati, karena ibunya saat sedang sendiri, masih sering menangis memikirkan putra bungsunya tersebut (kata teman saya itu, ini kesaksian dari pembantu yang bekerja dirumah mertuanya itu).\
Saat X mengatakan niatnya untuk tinggal bersama orangtuanya setelah menikah, ibunya menolak dengan halus. Mungkin hati kecilnya masih belum bisa menerima wanita itu. Akhirnya mereka tinggal tidak jauh dari situ di sebuah tempat yang sudah disiapkan oleh mertua teman saya itu. Disinilah drama dimulai.
Mungkin memang insting seorang ibu itu tidak bisa dianggap remeh. Hari demi hari, sifat asli dari istri iparnya teman saya itu, mulai kelihatan. Kalau saat masih pacaran wanita itu rajin sekali mencuci piring di rumah itu (maksudnya mau cari muka kali yaaaa???), setelah menikah malah tidak mau lagi repot-repot di dapur. Kalau dulu rajin mengantar makanan, sekarang selalu datang mendekati jam makan untuk numpang makan! Parahnya lagi, mereka yang katanya mau mengurus orangtua setelah menikah, setiap datang cuma membawa setumpuk baju kotor untuk diicucikan pembantu yang bekerja dirumah itu (weleh.... weleh...., kepala saya tak henti menggeleng-geleng mendengarnya).
Bukan itu saja. Saat ayahnya sakit dan harus dirawat di rumah sakit, si ipar ini langsung bilang tidak punya uang untuk ikut patungan melunasi biayanya bersama kakak-kakaknya. Adanya uang untuk umrah dan melunasi rumah (whaaaaaaaaattt??? jadi lebih penting umrah dan melunasi rumah daripada orangtua yang sakit?!). Tidak lama kemudian, terdengar kabar dari suaminya teman saya ini, yang ternyata sekantor dengan X, bahwa X baru patungan dengan seorang temannya (yang berulang tahun di bulan yang sama) untuk mentraktir satu divisi tempatnya bekerja, dalam rangka merayakan ulang tahun mereka (dagu saya hampir menyentuh meja karena terlalu lebar mulut saya ternganga mendengarnya).
Pernah sekali kakaknya meminta dia membantu melunasi biaya maintenance (PAM, PLN, Telkom dll) rumah orangtuanya. Mau tahu jawabannya? Saya tidak pegang uang, semua uang dipegang istri saya. Gubrakk!! Oooooo, ternyata anggota ISTI (Ikatan Suami Takut Istri) toooohh??
Akhirnya curhatan teman saya itu ditutup dengan pertanyaan: jadi apa yang dapat saya lakukan? Saya merasa kasihan dengan mertua saya yang semakin sering sakit-sakitan karena memikirkan si bungsu yang semakin tidak tahu diri ini. Saran saya kepadanya hanya satu. Bersabar. Tuhan tidak pernah tidur. Biarkan waktu yang akan menjawab.

Cara (saya) Meredam Sakit Hati

Dalam hidup ini pastilah kita pernah mengalami rasa sakit hati. Sakit hati ini dapat berupa rasa marah, iri, kecewa, sedih, dan sebagainya. Seperti juga jenisnya, cara penanggulangannya juga macam-macam. Mereka yang cenderung memiliki temperamen tinggi biasanya mengatasinya dengan melakukan balas dendam, pelampiasan atau bahkan pelarian ke hal-hal yang negatif. Mereka yang penyabar dan memiliki pemahaman agama biasanya mengatasi sakit hati dengan berwudhu, kemudian shalat atau berdoa.
Saya, walaupun termasuk orang yang emosional, tetapi mempunyai cara tersendiri dalam menghadapi penyakit kronis ini. Berikut ini cara-cara yang biasa saya lakukan dalam mengatasinya.
Marah
Orang yang mempunyai sifat emosional seperti saya, kalau sudah merasa tersinggung, cepat sekali naik darah. Untungnya, saya juga termasuk orang yang pemaaf dan gampang iba. Dulu waktu masih SMP, kalau ada teman yang saya rasa perlu diajak berantem, saya tidak langsung mengajaknya ribut. Saya tanya dulu, berani gak lawan saya? Kalau dia bilang tidak, ya sudah.... masalah saya anggap selesai (preman nanggung.... rambo berhati rinto, maklum lah.... :P ).
Sekarang, setelah memiliki suami yang super sabar, saya jadi lebih mellow :) Kalau lagi marah, malah sering nangis! (apa karena faktor usia juga, ya?) Biasanya, setelah ngomel panjang-pendek sambil nangis bombay, hati ini rasanya lega...... hilang semua dendam kesumat itu.... :D
Iri Hati
Sebagai anak tengah (ke2 dari 4 bersaudara), saya sepertinya sudah ditakdirkan untuk selalu dibanding-bandingkan dengan saudara-saudara saya. Hasilnya, tentu saja saya selalu kalah. Kalah pintar, kalah cantik, kalah baik.... dan sebagainya. Nasib.
Memiliki pengalaman selalu dibandingkan inilah yang membuat saya tumbuh menjadi pribadi yang minder dan berusaha menutupinya dengan sifat garang seperti preman tadi. Dulu, karena masih belum begitu paham agama (memangnya sekarang sudah???), saya selalu menyalahkan Tuhan karena nasib jelek saya ini. Tuhan yang tidak adillah.... Tuhan yang pilih kasihlah....
Alhamdulillah, Allah tidak marah sama saya walaupun saya sudah sangat ungrateful begitu. Setelah dewasa, saya justru bisa melihat hikmahnya. Saya jadi lebih bisa 'melihat ke bawah' dan bersyukur. Jadi, disaat hati ini merasa jelous, saya akan berusaha berpikir, pasti ada orang yang lebih susah dari saya. Minimal, saya masih punya suami dan anak-anak yang mencintai saya, atap diatas kepala saya, masih bisa makan tiga kali sehari..... Akhirnya, rasa iri yang tadi menggerogoti hati ini, berganti dengan rasa syukur yang amat sangat.... :)
Sedih dan Kecewa
Rasa sedih dan kecewa biasanya datang saat kita merasa yang kita terima atau miliki saat ini, tidak sesuai dengan standar kita. Sedih karena tidak bisa mengajak anak kita liburan ke luar negeri seperti sepupu-sepupunya.... atau kecewa karena sudah merasa melakukan yang terbaik tetapi tetap tidak dihargai...... :(
Padahal, kalau kita sedikit saja 'menurunkan standar' kita, rasa sedih dan kecewa itu tidak perlu ada. Memangnya liburan harus ke luar negeri? Please, deeehhh! Mimpi boleh, tapi lihat realita juga, dong. Gaji cekak, jangan maksain doooong..... hihihi :) Jangan sampai deh, gara-gara gengsi, sampai harus ngutang! Apa kata dunia???
Merasa sudah maksimal berbuat, tetapi tidak dihargai? Ya ikhlasin aja! Kalau ikhlas, kan gak perlu hitung-hitungan. Memangnya matematika? Toh, malaikat di kiri kanan kita tidak pernah tidur. Mereka selalu mencatat perbuatan baik-buruknya kita kan? (seperti lagunya Dewi Lestari:.... malaikat juga tahu....)
Jadi intinya, semua penyakit kronis hati itu, bisa disembuhin. Yang penting, penyakit ini jangan dibiarkan menggerogoti hati sampai hidup kita jadi tidak nyaman karenanya. Kuncinya, banyak-banyak sabar dan ikhlas. Susah? Tidak juga. Caranya, ya dengan banyak-banyak menghitung berkah yang sudah diberikan Allah sama kita dalam hidup ini. Baik yang diminta, maupun yang tidak kita minta. Pasti banyak sekali.
Bahkan hal-hal yang gratis, seperti bernafas pun merupakan berkah yang tidak ternilai kan? Bandingkan dengan penderita astma yang bernafas saja susah. Anak-anak yang selalu membuat rumah kotor dan berantakan, bukankah itu lebih baik daripada rumah kita bersih steril tetapi tidak ada suara anak-anak di sana? Suami yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya, bukankah lebih baik daripada dia sibuk dengan istri barunya? (iiiihhh, amit-amiiiiiitt!!)
Dari setiap hal, pasti ada sisi baiknya. Percayalah. Kita hanya perlu mengubah sedikit cara pandang dan menurunkan standar kita. Jadi, saat penyakit hati datang menyerang.... tarik nafas dalam-dalam....... lalu mulailah menghitung hal-hal yang dapat disyukuri dalam hidup ini.....