Romantis di PMI

Romantis kok di PMI? Begitu mungkin kira-kira yang ada dibenak anda saat membaca judul tulisan ini. Tunggu dulu. Yang saya maksud dengan romantis adalah kependekan dari ROkok MAkaN graTIS. Sedangkan PMI disini bukanlah singkatan dari Palang Merah Indonesia, melainkan Pondok Mertua Indah. Numpang hidup gratis di rumah mertua, begitulah singkatnya.
Topik ini sengaja saya bahas, karena seorang teman baru saja curhat mengenai iparnya yang punya hobi romantis di PMI. Begini curhatannya. Iparnya, sebut saja X, belum setahun ini menikah dengan wanita yang tidak disukai oleh orangtuanya. Tetapi dia memaksa. Katanya, walaupun anak bungsu, dia tidak mau diperlakukan seperti anak kecil lagi (saat itu usianya 29th) dan diatur-atur. Malah dia dan pasangannya juga sesumbar akan merawat ibunya yang sudah tua. Mungkin karena terlalu memikirkan putra kesayangannya itu, si ibu sampai dirawat di rumah sakit lebih dari dua kali dalam setahun dan kehilangan bobot tubuhnya sampai 20 kg!
Akhirnya, orangtuanya dengan berat hati menikahkan mereka. Alasan ibunya sungguh mulia, kalau ditentang terus, takut anaknya jadi anak durhaka. Padahal, seorang anak sudah durhaka begitu dia tidak mematuhi orangtuanya, bukan begitu? Ingat kisah Nabi Nuh dan putranya? Walaupun putranya sudah menolak perintahnya untuk naik ke atas kapal, Nabi Nuh tetap mendoakan putranya tersebut. Tapi Allah tetap menghukum dan menenggelamkan putranya, bukan? Ternyata, doa ayah yang seorang Nabi pun tidak dapat menyelamatkan anaknya yang durhaka dari hukuman Allah. Dibilang berat hati, karena ibunya saat sedang sendiri, masih sering menangis memikirkan putra bungsunya tersebut (kata teman saya itu, ini kesaksian dari pembantu yang bekerja dirumah mertuanya itu).\
Saat X mengatakan niatnya untuk tinggal bersama orangtuanya setelah menikah, ibunya menolak dengan halus. Mungkin hati kecilnya masih belum bisa menerima wanita itu. Akhirnya mereka tinggal tidak jauh dari situ di sebuah tempat yang sudah disiapkan oleh mertua teman saya itu. Disinilah drama dimulai.
Mungkin memang insting seorang ibu itu tidak bisa dianggap remeh. Hari demi hari, sifat asli dari istri iparnya teman saya itu, mulai kelihatan. Kalau saat masih pacaran wanita itu rajin sekali mencuci piring di rumah itu (maksudnya mau cari muka kali yaaaa???), setelah menikah malah tidak mau lagi repot-repot di dapur. Kalau dulu rajin mengantar makanan, sekarang selalu datang mendekati jam makan untuk numpang makan! Parahnya lagi, mereka yang katanya mau mengurus orangtua setelah menikah, setiap datang cuma membawa setumpuk baju kotor untuk diicucikan pembantu yang bekerja dirumah itu (weleh.... weleh...., kepala saya tak henti menggeleng-geleng mendengarnya).
Bukan itu saja. Saat ayahnya sakit dan harus dirawat di rumah sakit, si ipar ini langsung bilang tidak punya uang untuk ikut patungan melunasi biayanya bersama kakak-kakaknya. Adanya uang untuk umrah dan melunasi rumah (whaaaaaaaaattt??? jadi lebih penting umrah dan melunasi rumah daripada orangtua yang sakit?!). Tidak lama kemudian, terdengar kabar dari suaminya teman saya ini, yang ternyata sekantor dengan X, bahwa X baru patungan dengan seorang temannya (yang berulang tahun di bulan yang sama) untuk mentraktir satu divisi tempatnya bekerja, dalam rangka merayakan ulang tahun mereka (dagu saya hampir menyentuh meja karena terlalu lebar mulut saya ternganga mendengarnya).
Pernah sekali kakaknya meminta dia membantu melunasi biaya maintenance (PAM, PLN, Telkom dll) rumah orangtuanya. Mau tahu jawabannya? Saya tidak pegang uang, semua uang dipegang istri saya. Gubrakk!! Oooooo, ternyata anggota ISTI (Ikatan Suami Takut Istri) toooohh??
Akhirnya curhatan teman saya itu ditutup dengan pertanyaan: jadi apa yang dapat saya lakukan? Saya merasa kasihan dengan mertua saya yang semakin sering sakit-sakitan karena memikirkan si bungsu yang semakin tidak tahu diri ini. Saran saya kepadanya hanya satu. Bersabar. Tuhan tidak pernah tidur. Biarkan waktu yang akan menjawab.

No comments: