Kelahiran Super Heboh Zu

Huaaaa sibuk banget! Benar-benar tidak sempat posting. Megang bebe aja jarang :( Ini karena minggu kemarin menginap, minggu ini harus maraton mengerjakan pekerjaan domestik yang menumpuk supaya minggu depan bisa liburan :D

Oke, kali ini saya mau menceritakan peristiwa heboh kelahiran my little princess, Zu :)

Lima tahun yang lalu, tanggal 17 Maret 2006 sekitar tengah malam, saya masih menyelesaikan setrikaan yang menumpuk. Bukan karena lagi rajin loh, tapi kandungan yang diperkirakan akan lahir 2 minggu lagi sudah membuat saya tidak bisa tidur. Daripada hanya bolak-balik badan di tempat tidur, saya putuskan untuk menyetrika saja akhirnya.

Jam 1an, keluar flek dan kontraksi mulai terasa menggigit. Pelan-pelan, saya menyiapkan perlengkapan bersalin dan baby trolley Zi untuk dimasukkan ke mobil. Setelah semuanya siap dan daster sudah diganti dengan baju yang lebih pantas untuk keluar rumah, saya pun membangunkan hubby. Lucunya, mungkin karena masih mengantuk ditambah lagi panik karena tahu saya mau melahirkan, setelah mobil jalan 5 meteran dari rumah, hubby baru ingat kalau dompet dan hp-nya tertinggal di rumah. Terpaksa mobil mundur lagi dan parkir di depan rumah untuk mengambil barang yang ketinggalan. Hihihi padahal yang mau melahirkan tenang-tenang saja :p

Sampai di rumah sakit, tanpa menunggu hubby memarkir mobil dan menurunkan barang-barang, saya jalan duluan ke ruang bersalin di lantai 3. Sesudah lapor ke suster jaga, diminta mengganti baju dengan baju rumah sakit. Di kamar mandi, saat sedang membungkuk untuk membuka celana panjang yang sedang dipakai itulah tiba-tiba... air ketuban saya pecah! Sampai di sini saya masih bisa tenang.

Kemudian saya diperintahkan untuk berbaring di tempat tidur sambil ditempelin alat monitor di perut. Hubby sudah mendampingi saya di kamar sementara Zi sudah dijemput Kakek dan Neneknya untuk dibawa ke rumah mereka yang tidak terlalu jauh dari rumah sakit. Saat sedang istighfar menahan kontraksi, tiba-tiba saya merasa ada bergerak-gerak di bagian bawah, di antara paha. Memangnya kalau melahirkan bisa keluar ekor ya? pikir saya sambil berusaha mengingat-ingat mungkin pernah membaca soal ekor ini di suatu media. Karena penasaran, saya minta hubby untuk melihat ke bagian yang bergerak-gerak itu... Dan... Mukanya langsung pucat!

Hubby segera memanggil suster tanpa memberikan penjelasan apapun ke saya. Suster datang dan mengecek, lalu.. "Astaghfirullah!" serunya. "Ada apa sih sus?" tanya saya penasaran. Bukannya menjawab, susternya malah keluar ruangan, beberapa saat kemudian kembali lagi ke ruangan dengan suster lainnya. Dan..."Astaghfirullah!" seru suster yang baru datang. Suster kedua itu keluar ruangan dan kembali lagi dengan membawa suster ketiga, begitu seterusnya sampai ruangan bersalin dipenuhi oleh sekitar 10-an suster.

Antara penasaran dan kesal dijadikan tontonan, saya pelototin hubby, "Ada apa sih?! Ada ekor ya? Kok ada yang gerak-gerak?!" Hubby menggeleng dengan muka yang masih pucat. "Ada tangan bayinya", katanya pelan tapi cukup membuat lutut saya lemas. Dalam pikiran saya saat itu, membayangkan bayinya terjepit, kehabisan oksigen. Disinilah saya mulai ketakutan setengah mati. Air mata membanjiri pipi saya :'(

Cobaan tidak cukup sampai disitu. Kami kemudian mendapat kabar, dr Erdwin yang seharusnya manangani persalinan saya sedang seminar di puncak. Via telpon, dr Erdwin memerintahkan dokter jaga, saat itu dr Hadi, untuk segera melakukan operasi caesar untuk mengeluarkan bayinya karena ditakutkan tidak cukup waktu untuk menunggu dr Erdwin turun dari Puncak.

Perasaan saya tambah tidak karuan sewaktu dr Hadi menjelaskan resiko operasi caesar yang dapat mengakibatkan tangan bayinya patah di bagian bahu. Hal ini dikarenakan tangannya yang sudah keluar hampir sampai siku. Hampir saya marah pada Tuhan yang menguji saya sedemikian berat. Anak yang sudah 5 tahun ini kami nantikan kehadirannya, kenapa saat dia ingin keluar melihat dunia, malah dipersulit? Untung saya ingat untuk istighfar. Walau masih tetap menangis, tapi dihati saya mulai timbul keyakinan, Tuhan tidak akan mencoba hamba-Nya diluar batas kemampuannya.

Di meja operasi, tampak ruangan dipenuhi 4 dokter dan perawat, laki-laki semuanya. Ruangannya tidak terlalu besar, sehingga hubby dilarang masuk untuk menemani saya. Dingin terasa menusuk punggung saya yang tidak tertutup. Jangan ditanya bagaimana malunya saya saat itu, harus membuka aurat di depan 4 laki-laki X_X. Untuk mengurangi rasa malu, saya menutup mata saja, sayangnya tidak bisa pura-pura tidur karena diajak mengobrol terus oleh para dokter dan perawat itu.

Sebelum operasi dimulai, saya harus disuntik bius epidural. Pertama saya diminta untuk duduk sambil memeluk lutut, tarik nafas, lalu suntikkan ditancapkan ke pangkal tulang ekor. Orang-orang bilang, sakitnya naudzubillah. Tapi alhamdulillah, saya sama sekali tidak merasa sakit, hanya seperti digigit semut. Seperti suntikan biasa. Subhanallah!

Setelah itu, dalam hitungan detik, saya tidak bisa menggerakkan tangan dan kaki. Operasi pun dimulai. Selama operasi, mata saya memandangi lampu besar yang menggantung dilangit-langit ruang operasi, yang letaknya pas diatas saya. Karena berwarna chrome, saya bisa melihat pantulan perut saya yang sedang dioperasi. Dan saat perut saya dipotong, saya bisa mendengar bunyi sret, sreet, sreet (seperti suara restleting dibuka). Ternyata bayinya tidak dapat dikeluarkan begitu saja. Bayinya harus didorong. Satu orang dari atas kepala saya, satu dari kanan, satu dari kiri dan satunya lagi yang mengangkat pinggangnya. Dalam hitungan 1, 2, 3... Hup! Terangkatlah bayi mungil berwarna pink dari perut saya. Karena membayangkan bahunya patah, saya tidak berani melihat bayi saya saat dokter menunjukkan gumpalan kecil yang diselimuti lemak putih dan darah itu ke saya. Air mata masih juga mengalir, tapi kali ini air mata bahagia, karena semua sudah terlewati dengan baik. Fiiuuuhh! *lega*

Di ruang pemulihan, sambil menggaruk-garuk (efek obat bius, mungkin saya alergi), saya menanyakan keadaan bayi saya ke suster dan mendapat jawaban sedang diobservasi. Baru setelah bertanya ke hubby, saya yakin, bayi saya baik-baik saja. Tangannya tidak patah, seperti yang dikuatirkan. Alhamdulilah.

Demikianlah proses kelahiran heboh itu. Bayi mungil itu kemudian kami beri nama Pearlazure Zuhra Hanapi yang artinya a shining blue pearl atau mutiara biru yang berkilauan. Mutiara biru, kata orang tidak ada. Tapi kami pernah melihatnya di Amsterdam. Maka mutiara biru itu unik, tidak biasa. Zuhra artinya berkilauan, semoga ia memiliki aura seperti itu. Semoga Zuhra tumbuh menjadi pribadi yang unik dan memiliki aura yang baik. Itu doa kami untuknya.

Sekarang Zu sudah 5 tahun usianya. Seperti juga kelahirannya dulu, ia sekarang selalu menjadi the center of attention dengan sifatnya yang riang dan mulutnya yang tidak bisa berhenti berbicara. Zu bahkan mendapat julukan si cucakrawa dari almarhum kakeknya :D

Selamat ulang tahun putri kecilku, semoga kau tumbuh menjadi pribadi yang secantik namamu, berguna bagi umat dan selalu dalam lindungan Allah SWT.



Powered by Telkomsel BlackBerry®