Serba Salah

Langit yang gelap sejak sore mulai menumpahkan air dengan derasnya. Saat itu saya masih duduk di atas motor menuju tempat les si sulung.

Walau sudah memakai jas hujan tapi karena panjangnya hanya sampai lutut, saya tetap kebasahan dari paha sampai ujung kaki. Rasanya sengsaraaaaa banget #lebaymodeon

Dalam hati saya mengeluh, seandainya tadi bawa mobil, pasti tidak basah dan kedinginan begini. Saya pun memandang iri pada mobil-mobil yang memadati jalanan dan sesekali merasa jengkel karena cipratan air yang terlibas oleh rodanya.

Dasar tidak punya perasaan, mentang-mentang naik mobil, berasa jalanan dia yang punya, gerutu saya. Padahal, tidak ada hubungannya antara tidak punya perasaan dengan naik mobil kan? Saya cuma mencari pembenaran saja.

Padahal kalau saat itu saya bawa mobil, pasti saya akan mengeluh juga. Macetnya jalanan di saat hujan akan membuat kaki saya pegal berjam-jam menginjak pedal gas dan rem.

Maunya apa sih Din??? Naik motor, pengen naik mobil. Naik mobil, pengen naik motor. Serba salah.

Begitulah manusia eh salah, begitulah saya. Kurang bisa mensyukuri apa yang ada. Selalu menginginkan yang tidak ada.

Naik motor, walau hujan harus kebasahan dan hati-hati karena jalanan licin, tapi waktu tempuh lebih pendek. Motor kan bisa nyalip, motong jalan dan nyempil di tengah kemacetan 😁

Sementara kalau naik mobil, walau kaki jadi pegal dan waktu tempuh jadi panjang karena macet, tapi tidak kebasahan dan kedinginan. Benar tidak?

Mau naik motor ataupun mobil, sejujurnya saya merasa sangat lega kalau sudah sampai di tujuan dan pulang kembali ke rumah dengan selamat. Itu saja. Jadi seharusnya saya tidak perlu mengeluh ya? *jitakkepalasendiri*

Kenapa sih hal sepele ini saya tulis di blog? Karena saya pelupa. Tulisan ini sebagai pengingat, supaya saya jangan gampang mengeluh. Terutama untuk pilihan yang sudah diambil sendiri. Di luar sana banyak yang kondisinya lebih sengsara dari keadaan saya.

Banyak yang kalau hujan, berarti siap-siap kebanjiran. Ada yang rumahnya digusur, jadi harus tinggal di tenda darurat. Itu baru ngeliat di sekitar Tebet. Bayangkan kalau melihat yang di Garut, yang di Aleppo. Apa masih pantas saya mengeluh?

Fa bi ayyi ālā'i Rabbikumā tukażżibān

Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?

Bully Berjamaah

Memantau medsos (media sosial) seperti facebook, twitter dan instagram sepertinya sudah menjadi kebutuhan dalam keseharian kita. Rasanya kudet (kurang up to date) banget kalau tidak melakukannya sehari saja. Kurang kekinian gituh 😝

Yang ekstrim malah menganggap, lebih baik ketinggalan dompet daripada ketinggalan hp (handphone). Ketinggalan dompet, asal tidak kena razia, uang bisa pinjam teman.

Tapi ketinggalan hp (baca: smartphone) berarti seharian bisa kudet, tidak bisa komunikasi (nomor kontak lupa semua, tersimpan di hp) dan tidak bisa main game untuk pengisi waktu di saat menunggu. Benar gak? 😉

Ada dampak positif mau pun negatif dari penggunaan medsos ini. Dampak positif medsos banyak, diantaranya adalah mempermudah terjalinnya suatu pertemanan baru dan jaringan bisnis. Bisa juga menyambung kembali tali silaturahim yang sempat terputus (contohnya penggunaan linkedin dan facebook).

Untuk mendapatkan informasi terkini juga jadi lebih mudah dan cepat (contohnya penggunaan twitter). Selain itu dapat beriklan dengan mudah dan gratis melalui sharing foto produk (contohnya penggunaan instagram).

Namun tidak dapat diingkari, dampak negatifnya juga tidak kalah banyak. Salah satunya yang banyak terjadi belakangan ini adalah bully berjamaah.

Seseorang, terutama public figure, bila melakukan satu kesalahan atau dianggap salah, maka beramai-ramailah orang menghakiminya.

Dan hal ini semakin menjadi-jadi ketika si public figure bereaksi negatif. Tidak mengakui kesalahan, berbohong, emosi saat menanggapi komentar orang-orang di medsosnya atau malah membawa masalah ini ke ranah hukum.

Bayangkan, bila orang yang tidak anda kenal secara pribadi tiba-tiba komen di laman fb atau lini masa anda dan mengkritik atau bahkan menghujat. Bagaimana perasaan anda?

Dikritik atau dinasehati orang yang kita kenal saja belum tentu bisa menerima dengan lapang dada. Apalagi orang yang tidak kenal?

Sekarang bully berjamaah ini bahkan tidak hanya terjadi pada public figure. Pada orang biasa, seperti saya ini pun mungkin saja terjadi. Bahkan di luar negeri sudah banyak anak-anak yang bunuh diri karena menerima bully di medsos.

Kenapa sih gampang mem-bully di medsos? Apakah karena jempol lebih cepat daripada otak? Apakah kita sudah lebih baik dari orang yang kita bully? *ngaca*

Jangan lupa, kita masih bisa tegak berdiri di muka bumi ini karena Allah menutupi aib kita. Kebayang gak, kalau aib kita dibuka Allah dan menjadi konsumsi umum? Apa masih berani kita keluar rumah?

Sebaliknya, seorang public figure juga harus berhati-hati dalam bersikap, karena hidupnya selalu dalam sorotan. Mengumbar emosi bukan cara yang bijak, walau sedang dalam keadaan terdesak. Pepatah silent is gold lebih pas untuk diterapkan.

Memang dibutuhkan jiwa yang besar untuk berani mengakui kesalahan dan meminta maaf. Kalau public figure itu belum mampu memilikinya, ya sudah tidak usah dijadikan idola dan panutan lagi.

Kalau tidak suka pada seseorang, public figure atau pun orang awam, saya lebih memilih untuk #nomention alias tidak men-tag atau me-mention yang bersangkutan di cuitan saya. Bukan karena takut atau ingin menyindir. Tapi cuitan saya (di twitter) adalah apa yang saya rasakan, tanpa ingin menghakimi.

Kalau kemudian yang baca ada yang baper (bawa perasaan) lalu merasa tersindir, ya maaf. Sungguh bukan itu maksudnya.

Hanya ingin mengeluarkan apa yang ada di hati dan kepala saja. Terkadang juga hanya sebagai pengingat bagi diri sendiri atau berbagi pengalaman dengan siapa pun yang bersedia mampir (di lini masa maupun blog).

Buat orang introvert seperti saya, mengungkapkan perasaan melalui tulisan lebih mudah daripada berinteraksi langsung. Twitter dan juga blog saya pilih untuk tempat penyalurannya. Yang tidak setuju dengan jalan pikiran saya, ya sudah tidak usah dibaca. Gampang kan?

Sudahlah, jangan buang waktu untuk hal-hal yang mengotori hati. Cukup SR (silent reading) kalau penasaran, supaya tidak tergoda untuk nimbrung.

Lebih baik mengambil hikmah dari kejadian yang menimpa orang lain agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kan orang pintar belajar dari kesalahannya sendiri, orang bijak belajar dari kesalahan orang lain.