Parenting

Di milis lagi ramai dibahas masalah parenting terutama pada anak usia sekolah. Sebagian ada yang selalu siap sedia membantu anaknya (dalam hal pelajaran, ujian maupun tugas sekolah), sebagian lagi bersikap "memberi saja, percaya saja". Yang terakhir ini, maksudnya ya terima saja anaknya bagaimana (apakah rajin, malas atau biasa saja), tanpa target, tanpa ekspektasi apa-apa.

Menurut saya, yang tidak punya ilmu psikologi, ilmu parenting itu tidak bisa dikatakan harus A atau B. Salah atau benar. Karena apapun yang berhubungan dengan anak, ada 1 hal yang harus diingat: setiap anak itu unik. Jadi, penanganan tiap anak pasti berbeda. Begitu pula latar belakang orangtuanya, ikut berperan.

Tapi mengajarkan anak mandiri itu wajib menurut saya. Orangtua yang selalu bersikap melindungi dan menolong, sama saja dengan menjerumuskan anaknya sendiri. Kedua belah pihak harus menyadari, orangtua tidak bisa mendampingi si anak selamanya. Ada kalanya anak harus bertindak atas inisiatif sendiri, mengambil keputusan sendiri tanpa campur tangan orangtua.

Contoh paling gampang, belajar. Siapa yang masih mendampingi anaknya belajar? Anaknya sekarang umur berapa? Kalau PR/tugas sekolah ketinggalan di rumah, apakah anda yang mengantarkan ke sekolah?

Ada loh, ibu yang masih mendampingi belajar anaknya yang sudah duduk di bangku SMA. Alasan anaknya, tidak bisa belajar kalau tidak sama ibunya. Alasan ibunya, gak apa-apa deh, daripada gak belajar sama sekali.

Mengajarkan mandiri itu bukan berarti membiarkan anak begitu saja, loh. Bagaimana pun, anak dititipkan kepada orangtuanya oleh Tuhan untuk dirawat, dibimbing dan disayang. Sebelum melepasnya mandiri, beri tahu anak dulu tentang konsekuensinya. Hidup itu kan pilihan, dan di setiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Anak baru dapat memahami itu bila diperbolehkan mempraktekkan teorinya dan merasakan konsekuensi dari pilihannya.

Misalnya, saat ujian. Pilihannya adalah belajar atau tidak belajar. Belajar, konsekuensinya nilai yang maksimal (tidak harus bagus, sesuai kemampuannya saja). Atau tidak belajar, konsekuensinya nilai yang tidak maksimal. Tanyakan ke anak, apa perasaannya bila mendapat nilai bagus? Apakah senang atau biasa-biasa saja. Tanyakan juga apa yang dirasakannya bila sebaliknya yang terjadi.

Lalu lanjutkan dengan memberitahukan konsekuensi dari nilai yang maksimal/tidak. Nilai yang maksimal, konsekuensinya naik kelas, sebaliknya nilai yang tidak maksimal memiliki konsekuensi tidak naik kelas. Kemudian tanyakan lagi perasaannya bagaimana bila dia naik/tidak naik kelas. Begitu seterusnya.

Mengajarkan anak bukan proses komunikasi 1 arah dan cukup 1-2 kali saja disampaikan. Perlu disampaikan berulang-ulang (setiap penyampaian sebaiknya tidak lebih dari 5 menit) dan harus ada interaksi. Menanyakan perasaannya akan sesuatu hal, dapat membuat anak merasa dihargai, sekaligus membiasakannya untuk berpikir dan mengambil keputusan sendiri.

Banyak orang dewasa yang cara berpikirnya masih kekanakan dan tidak bertanggung jawab. Jadi jangan mengharapkan anak untuk belajar bertanggung jawab seiring bertambahnya umur. Tapi orangtua juga harus belajar untuk memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada anaknya. Tentunya bukan proses mudah. Saya yakin itu.

Melihat anak tidak belajar saat sedang ujian semester, tentu geregetan. Kalau saya, daripada capek ngomel, cukup mengucapkan mantra ini: "Ini masa depan kamu. Masa depan kamu, kamu yang tentukan sendiri mau bagaimana. Orangtua hanya dapat memfasilitasi dan mendoakan." Mengcapkannya dengan nada datar tanpa amarah. Selebihnya, gigit lidah dan tutup mata *sambilgarukgarukaspal*

Tentunya tidak bisa secara instan untuk menerapkan cara ini. Perlu waktu untuk berproses. Sikap orangtua yang tegas dan konsisten biasanya dapat mempercepat prosesnya.


Disclaimer:
Sekali lagi, saya tidak punya ilmu psikologi, khususnya psikologi anak. Semua yang ditulis disini berdasarkan pengalaman saja. Jadi mohon maaf bila ada yang tidak berkenan :)



Powered by Telkomsel BlackBerry®