Sang Pembela Itu Sudah Pergi



Memandangi wajahnya yang sudah dingin memucat, rasanya masih tidak percaya beliau sudah tidak ada. 

Baru 4 hari yang lalu saya mengunjunginya. Sore itu, walau lebih diam dari biasanya, suara beliau masih terdengar keras dan jelas saat meminta saya memindahkan pijatan dari kaki ke kepalanya. "Kepala!" katanya sambil mengusap kepalanya.

Sambil memijiti beliau, saya mengobrol dengan asisten rumah tangganya, Mbak Nah. Si mbak mengadu, "Bapak bilang, bapak bentar lagi mau mati, mbak".

"Papa sok tahu, nih. Ajal itu kan rahasia Allah," omel saya. Walau dalam hati saya resah. How if...

Kamis siang, saat mendapat kabar dari kakak perempuan saya, rasaya seperti melihat beliau di depan saya sambil tersenyum mengejek bilang, "Apa Papa bilang? Gak percaya sih, lu"

Walau sejak usia 5 tahun kami sudah hampir tidak pernah bertemu sampai menjelang pernikahan saya, tapi sosoknya selalu saya rindukan dan seringkali mendatangi saya lewat mimpi.

Saat-saat beliau mencuri kesempatan menjemput saya dan abang saya di sekolah setelah perceraian orangtua kami adalah kenangan terindah bersamanya.

Biasanya, saat dijemput itu, saya akan digendongnya di pundak dan abang saya digandengnya. Lalu saya akan meledek abang saya, "Tuh kan, dini anak kesayangan Papa. Buktinya dini yang digendong." Saya bahagia luar biasa kalau sudah begitu.

Kalimat beliau yang selalu saya ingat adalah, "Kalau ada yang berani mukul lu, bilang Papa ya Din. Papa akan hantam orang itu! Tidak ada yang boleh memukul anak Papa!"

Semalam, sewaktu pulang dari rumah Opanya, za bilang, "Opa gak ada, sekarang siapa yang belain bunda lagi?"

Saya terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Karena memang faktanya, beliau lah satu-satunya orang yang mau membela saya.

Terima kasih ya Pa, selalu jadi pembela dini.

Maafkan dini yang belum bisa membahagiakan Papa.

Maafkan dini yang tidak pernah bisa bikin Papa bangga punya anak dini.

I will always love you, Pa.

Pilih Yang Mana?




Beberapa hari lagi Indonesia akan memilih Presiden-nya, nih. Hanya ada 2 calon. Harusnya sih, tidak akan sulit untuk menjatuhkan pilihan.

Kenapa saya katakan tidak sulit? Karena yang satu sudah menjabat selama 4,5 dan yang satunya lagi belum pernah terpilih sebagai Presiden. Tinggal di bandingkan saja kan?

Sudah menjabat belum tentu menjadi poin lebih. Tergantung apa yang dialami rakyat selama dia menjabat. Bukan begitu? Apakah rakyat semakin makmur? Apakah hukum ditegakkan dengan adil? Apakah kebijakan pemerintah berpihak pada rakyat atau lebih kepada pengusaha?

Sebaliknya, belum pernah menjabat, bukan berarti belum pernah berjasa pada bangsa ini. Kalau dia menawarkan perubahan ke arah yang lebih baik, kira-kira nanti setelah terpilih akan amanah apa tidak? Bila ternyata setelah terpilih dia tidak menepati janji-janjinya, 5 tahun kemudian ya #GantiPresiden lagi.

Tapi kalau buat saya pribadi, memilih pemimpin itu tidak cukup dari kepribadiannya saja. Partai pendukungnya atau koalisi yang berada di belakangnya lah yang harus dicermati.

Kalau pendukungnya adalah partai-partai yang menentang ajaran Islam, sudah pasti tidak akan saya pilih. Apalagi yang mendukung penista agama. Sorry, Dori, Strawberry.

Lalu bagaimana dengan katanya "Jangan pilih kubu yang didukung oleh organisasi-organisasi 'itu' "?

Kalau yang dimaksud adalah organisasi PKI, LGBT, syiah, JIL dan kawan-kawannya, pastinya saya pun tidak akan mau berada satu kubu dengan mereka. Mereka adalah organisasi yang jelas-jelas menentang ajaran Islam.

Tapi kalau yang dimaksud adalah FPI, HTI dan kawan-kawannya, ya tidak masalah. Mereka belum pernah bertentangan dengan ajaran Islam kan? Apalagi mereka sudah berpuluh tahun ada di Indonesia dan tidak pernah mengangkat senjata melawan pemerintah. Jadi salahnya dimana?

Segala fitnah yang selalu muncul tiap lima tahun sekali tanpa pernah sekali pun terbukti, ya jangan dipercaya. Jangan mau dibodohi dan ditakut-takuti. Kalau memang itu fakta bukan fitnah, pasti para pelakunya sudah sejak dulu diseret ke meja hijau.

Kalau milih Petahana, malas. Sedangkan untuk memilih oposisi, tidak punya alasan, seperti kata Pandji. Jadi mendingan golput nih?

Dulu saya pernah golput. Jamannya Mega, Sby dan Jokowi jadi capres. Tapi sejak 2014 saya tidak golput lagi. Walau saya bukan kader salah satu parpol atau simpatisan salah satu capres, saya akan memberikan suara untuk memilih capres dan cawapres yang paling sedikit mudharat-nya.

Saya ingin merasa tenang dalam beribadah. Saya capek dikotak-kotakkan. Banyak hubungan pertemanan yang renggang bahkan terputus sejak pilkada DKI lalu, hanya karena berbeda pilihan.

Cukup sudah cap-cap seperti anti NKRI, anti Pancasila, intoleransi, Islam radikal atau anti kebhinekaan. Sebelum pilkada DKI yang lalu, masyarakat Indonesia itu walau berbeda-beda (suku, agama, bahasa bahkan pilihan politiknya) tapi tidak terjadi perpecahan seperti sekarang.

Jangan salah kan rakyatnya yang selalu ribut, bila para pemimpin negeri ini pun tidak bisa bijak dalam bernarasi di hadapan publik. Lupa pada sumpah jabatannya, mereka menjadi berpihak pada satu golongan, tidak lagi netral. Malah memprovokasi perpecahan, bukannya menentramkan.

Jangan biarkan kerusakan di negri kita tercinta ini berlarut-larut. Berikan suaramu pada calon-calon pemimpin yang akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Menjadi golput hanya akan membiarkan mereka yang jahat (perusak NKRI) menjadi menang.

Kalau mau Indonesia kembali seperti dulu, dimana rakyatnya hidup nyaman dalam kebhinekaan, tanggal 17 April 2019 nanti JANGAN GOLPUT.