Father's Day

Hari ini, 20 Juni, di Amerika diperingati sebagai Father's Day atau Hari Ayah. Sayangnya, di Indonesia kita tidak punya hari spesial untuk para ayah. Kita hanya punya Hari Ibu dan Hari Kartini, keduanya khusus untuk kaum wanita. Apakah ini karena kita kurang menghargai jasa seorang ayah?

Saya tidak tahu jawabannya. Dan bukan itu yang mau saya bahas di sini. Kali ini, saya mau bercerita tentang ayah. Kalau anda pembaca setia blog ini, tentunya tidak pernah menemukan bahasan tentang ayah saya di sini.

Kehilangan kontak dengan ayah kandung sejak orangtua saya bercerai dan ibu memutuskan untuk pindah ke luar pulau dengan membawa anak-anaknya, membuat ingatan saya tentang sosok ayah, sangat samar. Dulu waktu kecil, saya sering menangis diam-diam setiap melihat ada teman yang dijemput ayahnya di sekolah atau saat mendengar lagu "Ayah".

Kemudian ibu menikah lagi, dan suaminya yang sekarang ini, bagi saya he's more father to me than my biological father. Bagaimana tidak? Hanya 5 tahun saya sempat kenal ayah kandung saya. Tapi saya mengenal papa tiri saya sudah lebih dari 25 tahun.

Bagi saya, Papa itu seperti Mc Gyver. Terampil membuat dan membetulkan bermacam-macam barang. Barang yang paling sering dibikinkan buat saya adalah radio dalam kotak sabun. Hobinya naik moge dan mengkoleksi kendaraan tua sejenis Land Rover dan jip tua jaman perang. Senang sekali kalau saya diajak naik mobil jip perangnya yang tanpa atap itu. Walaupun resikonya masuk angin :D

Karena sesuatu alasan, hubungan kami tidak pernah bisa terlalu dekat. Mungkin karena saya kenal beliau saat sudah mulai besar. Jadi ada sedikit rasa canggung kalau ingin bermanja-manja layaknya seperti anak dengan ayahnya. Tapi tidak dapat dipungkiri, sebagian besar hidup saya diisi dengan kehadirannya. Dari SD sampai saya menikah dan sekarang punya 3 anak pun, selalu ada papa di setiap tahapan kehidupan saya.

Ada satu hal yang paling saya ingat dari papa. Kalau ibu sedang mengomeli saya dalam perjalanan di mobil, papa sering membuat mimik lucu dari kaca spion untuk menghibur saya. Biasanya cara itu berhasil membuat saya menghapus air mata dan tersenyum lagi.

You may not be my biological father,
you may not be the reason why I was born,
but for over 25 years I have known you,
you have become a more father to me than my real father.
Happy Father's Day, Pa
Wish you always be happy and healthy,
and blessed by Allah SWT
for the rest of your life.

Be Realistic!

Beberapa hari lagi waktunya pembagian SPR (Student Progress Report) si abang. Kalau orangtua lain merasa deg-degan, takut nilai anak-anaknya mengecewakan, alhamdulillah, saya dan ayahnya selalu santai menghadapinya. Bukan karena yakin nilai-nilainya pasti bagus, tapi karena kami meyakini, nilai itu bukan tujuan akhir yang kami harap anak kami dapatkan dari sekolah. Proses pembelajarannya dan kemampuannya mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya di sekolah ke dalam kehidupan sehari-hari, itu yang kami jadikan sebagai tolak ukur keberhasilannya.

Bangga tentu saja kami rasakan bila anak berhasil mendapatkan nilai straight A untuk semua mata pelajaran. Tapi apa artinya nilai yang bagus, bisa hafal al Quran, sementara di rumah anak misalnya, tidak bisa makan sendiri, suka memukul dan berkata kasar, atau masih suka ngompol saat tidur?

Selain itu, saya kan juga pernah mengalami masa-masa nakalnya anak-anak. Dulu, saya suka bolos sekolah kalau merasa bosan. Biasanya kalau bolos, saya akan di rumah seharian untuk tidur-tiduran sambil membaca novel. Jadi kalau sekarang anak-anak ingin take a day off from school, I wouldn't mind. Really. Selama waktunya dihabiskan untuk hal-hal yang positif.

Rasanya tidak adil kalau kita sebagai orangtua mengharapkan anak-anak kita menjadi anak super. Dimasukkan ke sekolah bilingual dan berharapkan bisa casciscus bahasa Inggris, tetapi ibunya sendiri tidak lancar berbahasa Inggris. Saya tidak menyalahkan orangtua yang punya cita-cita setinggi langit untuk anaknya. Tapi jangan sampai obsesi orangtua membuat anak merasa tertekan atau bahkan depresi.

Seseorang yang saya kenal, selalu mendampingi anaknya belajar. Setiap kali anaknya melakukan kesalahan saat membuat PR atau terlihat malas-malasan, maka cubitan dan teriakan sudah menjadi hal lumrah dirasakan oleh si anak. "Dulu waktu kecil, kamu pasti juara kelas ya?" tanya saya pada si ibu. "Tidak. Justru itulah, saya ingin anak saya lebih berhasil dari saya" jawabnya.

Apakah tidak sebaiknya si ibu itu realistis dengan kemampuan anaknya, tetapi tetap memotivasi sambil terus mencari potensi bakat dan kemampuannya? Maksud saya dengan realistis di sini adalah, menerima bila si anak tidak berprestasi pada satu bidang tertentu. Sekarang ini, sepertinya orangtua cenderung berpikir bahwa pintar di pelajaran matematika is a must! Begitu juga dengan lancar berbahasa asing. Bagaimana kalau ternyata si anak lebih tertarik di bidang seni? Pintar membuat puisi dan mengarang cerita? Apakah itu bukan suatu prestasi juga?

Saya 100% setuju dengan sekolah yang tidak menerapkan sistem ranking dan tidak memberikan PR pada muridnya. Tanpa adanya ranking, membuat anak dapat berkata, temanku si A pintar science, si B jagonya math, dan aku paling suka pelajaran art! Tidak adil mengharapkan anak kita menguasai segala bidang kan? Be realistic!

Pelajaran di sekolah sekarang bukan main susahnya. Si abang kelas 3 SD sudah belajar membanding sistem pencernaan ayam dengan ular di mata pelajaran science (in english!). Sementara saya mendapat pelajaran tersebut, kalau tidak salah ingat, saat saya SMP. Jadi dengan kurikulum yang semakin tidak masuk akal, ditambah lagi sekolah yang trilingual (bahasa-english-arabic), dan jam sekolah yang sampai sore (jam 1430), saya sungguh tidak tega membebaninya lebih berat lagi.

School time should be fun! Who's with me? ;)

A I B

Sudah seminggu ini berita koleksi video mesum (vidsum) seorang artis, ramai menjadi bahan pembicaraan. Terus terang, saya juga penasaran. Tapi bukannya sok suci kalau saya bilang, saya menolak memberikan link ke vidsum-vidsum tersebut ke orang lain.

Bagi saya, apapun yang dilakukan artis itu, semua orang sudah tahu, pastilah dosa. Jadi itu urusan dia dengan Tuhan. Tapi orang yang menyebarkan vidsum itu pertama kali dan mereka yang membantu menyebarluaskannya juga sama salahnya.

Membicarakannya dalam forum tertutup seperti grup bbm, mungkin (ini mungkin loh ya) masih bisa ditolerir. Tapi kan kita tidak tahu, apakah setelah di grup, orang dalam grup itu menyimpan informasi tersebut untuk dirinya sendiri atau malah menyebarluaskan ke teman-temannya.

Merekam sesuatu yang sangat pribadi sifatnya sehingga beresiko dikonsumsi orang lain, itu adalah suatu ketololan. Tetapi menurut saya, menyebarluaskannya, adalah suatu kejahatan.

Bagi yang menyebarluaskannya, pernahkah terlintas di benak anda, kalau anda menjadi si artis itu, atau pasangannya dalam vidsum tersebut, bagaimana perasaan anda? Loh, itu kan salahnya sendiri, kenapa direkam?! Begitu anda berdalih mencari pembenaran. Tapi bagaimana dengan perasaan istri, suami, anak, saudara atau bahkan orangtua mereka, melihat vidsum tersebut tersebarluas di masyarakat? Mereka kan tidak tahu menahu, tapi harus ikut menanggung malu akibat ulah anda yang menyebarluaskannya.

Kita bisa saja menghujat mereka para pelaku vidsum tersebut sebagai orang yang tidak bermoral. Tapi sudahkah anda berkaca? Jangan hipokrit. Ingat-ingat masa lalu anda. Amit-amit, saya sih tidak mungkin mau melakukannya! Begitu pasti sebagian dari anda protes. Ok, bagaimana dengan masa depan? Mungkin bukan anda, tetapi orang yang dekat dengan anda, mengalami hal ini. Apakah anda akan ikut menyebarluaskan link ke vidsum tersebut? Saya tidak yakin.

Jadi sebenarnya, selama orang yang kita gunjingkan, kita tertawakan, kita sebarluaskan vidsumnya itu tidak ada hubungannya dengan kita, dan bukan termasuk orang yang kita sayangi, tidak masalah ya? Lalu bagaimana perasaan ibu dari para artis itu? Pasti hancur sekali perasaannya sekarang :'( Semoga keluarga mereka diberikan ketabahan dan kekuatan menghadapi masalah ini.

Saya tidak berharap anda setuju dengan semua yang saya tulis di sini. Sungguh, tidak ada niat saya untuk membela, menghakimi, apalagi menggurui. Saya hanya mengungkapkan apa yang ada di pikiran saya, dan mencoba berempati pada kesusahan orang lain. Itu saja.

Rasulullah s.a.w bersabda, "Barangsiapa yang menutup aib saudara Muslimnya, niscaya Allah s.w.t akan menutup aibnya di akhirat kelak."

What I think About Israel

Tindakan Israel baru-baru ini memicu kemarahan dunia. Dengan alasan membela diri, sekali lagi, Israel menembaki kapal yang mengangkut bantuan untuk Gaza. Kali ini, bahkan ada WNI yang menjadi korbannya. Benar-benar biadab!

Dari berbagai respon yang ada di twitter, banyak yang masih juga menghubungkan masalah ini dengan agama. Memang sih, itu hak pribadi untuk mengeluarkan pendapat. Tapi sungguh, saya kurang setuju.

Seperti juga kasus Aceh dan Papua di tanah air, masalah Gaza saya melihatnya sebagai suatu penindasan atau penjajahan oleh yang kuat kepada yang lebih lemah. Tidak bisa kita over generalised bahwa yahudi itu jahat menindas Islam. Ada juga kan, orang yang mengaku Islam tapi dia jahat? Dan sebaliknya. Pemerintahan Israel itulah yang tidak punya hati nurani, merebut kemerdekaan rakyat Palestina. Itu pendapat saya.

Saya pernah dicap liberal gara-gara di kelas saya menyangkal ucapan seorang pendidik yang mengatakan, "Kerusuhan tahun 98 lalu itu karena orang Cina sering menumpuk sembako lalu menjualnya dengan harga tinggi. Mereka yang menguasai perekonomian Indonesia. Jadi orang 'kita' marah, maka terjadilah penjarahan." Wooott??!!!

Dengan tenang saya menyanggah, "Memangnya Bapak yakin, tidak ada orang pribumi melakukan hal yang sama? Jangan karena segelintir orang dari suatu golongan, maka kita pukul rata semua. Apa bedanya kita dengan orang yang menilai kalau Islam itu agama teroris?"

Kelas langsung hening. Sayangnya tidak lama jam pelajaran berakhir. Kalau tidak, saya sudah siap berdebat lebih jauh lagi. Bikin gemas menghadapi orang-orang yang mempunyai pemikiran sempit semacam itu. Please, deh. Kalau anda mengaku beragama, agama apapun itu, anda pasti tahu kan, semua agama itu pada dasarnya mengajarkan kasih sayang?

Semalam, seseorang (you know who you are) mengirim pesan ini di bbm: "Bisa saja saya musnahkan semua yahudi di dunia ini, tapi saya sisakan sedikit yg hidup, agar kamu dapat mengetahui mengapa saya membunuh mereka." - Adolf Hitler. Dan saya reply dengan: ‎"IMHO, kalau saya setuju dg pembunuhan, lalu apa bedanya saya dg mereka?"

Mohon maaf kalau saya tidak pernah menanggapi semua broadcast tentang hal-hal yang mengandung SARA apalagi yang sifatnya provokasi. Karena dengan ikut menyebarluaskan berita semacam itu, sama saja saya mendukung hal itu kan? Jadi kalau ada yang mencap saya liberal, neolib, whatever,... I DON'T CARE! Untukmu agamamu, untukku agamaku. Perbedaan itu indah. Saling menghormati itu jauh lebih indah. Peace, yo!