No ART No Problem

Sudah masuk bulan Ramadhan lagi. Yang punya ART (Asisten Rumah Tangga), siap-siap ditinggal mudik. Walau ada yang balik, tapi banyak juga yang di PHP (Pemberi Harapan Palsu)-in alias ART-nya tidak balik lagi.

Kasihan dengar keluhan teman-teman yang mengalami ini. Terutama bagi mereka yang bekerja di luar rumah, keberadaan ART memang sangat penting. Kebayang kan repotnya, harus ke kantor, sementara anak di rumah, siapa yang jaga? Siapa yang mengerjakan pekerjaan domestik seperti mencuci, menyetrika, masak dan sebagainya?

Saya termasuk yang beruntung karena tidak pernah bergantung pada keberadaan ART selama 12 tahun terakhir. Bagi saya, ada ART di rumah berarti harus punya stok sabar yang lebih banyak.

Pernah punya ART dulu waktu zi masih umur 2 tahun (sekitar 2003). Kejadian yang paling bikin trauma adalah saat si mba ART meninggalkan zi di lapangan depan rumah. Sementara dia mengambil album foto di kamarnya, zi dititipkan ke teman-temannya sesama ART.

Teman-temannya kan punya anak asuhannya sendiri. Pastinya zi bukan prioritas utama pengawasan mereka. Kalau zi diculik bagaimana? Atau kalau zi lari keluar lapangan terus ada mobil... iiih naudzubillah, ngeri ngebayanginnya.

Dan kejadian seperti itu tidak hanya terjadi sekali. ART lainnya juga pernah membiarkan pintu pagar dan garasi tidak terkunci sementara dia mengobrol di lapangan. Saat itu saya sedang menemani zi yang tidur siang. Bayangkan, apa yang terjadi kalau ada orang bermaksud jahat menyelinap masuk???

Pengalaman di PHP-in yang pertama dan terakhir adalah saat ART yang sudah saya siapkan untuk menemani zi saat saya dan hubby akan berhaji, tidak balik lagi setelah izin pulang kampung selama sebulan.

Sampai saya datangin ke kampungnya di Lampung sana, tetap tidak diijinkan suaminya. Padahal saya hanya minta waktu 1,5 bulan saja untuk menjaga zi. Duh, kalau ingat bagaimana paniknya saat itu, sampai tensi saya yang biasanya tidak pernah diatas 100, jadi mendadak 150.

Itulah sebabnya saya tobat pakai ART. Bahkan saat ART yang menjaga zi kala kami berhaji bilang ingin bekerja lebih lama di tempat kami, saya menolaknya. Tidak, terima kasih. Cukup banyak emosi yang tercurah hanya karena urusan ART ini.

Sampai sekarang, alhamdulillah, saya tidak pernah lagi tergantung pada ART. Dikerjakan saja semuanya sendiri. Tidak masalah capai badan, asal jangan capai hati.

Memang sih ada masanya saya merasa berat melakukannya. Seperti saat sedang sakit seperti sekarang. Tapi alhamdulillah, hubby dan anak-anak siap membantu.

Kalau hubby ada di rumah, mencuci piring, memasak, menyetrika atau menyapu halaman, ringan saja dilakukannya. Alasannya, Rasulullah aja mau membantu istrinya, kenapa dia musti malu?

Anak-anak pun demikian. Kebetulan di rumah kami tidak ada yang namanya pekerjaan perempuan dan pekerjaan laki-laki. Jadi semua memiliki kewajiban yang sama kalau berhubungan dengan hal domestik. Kalaupun ada batasan, itu karena umur bukan gender. Bagi yang belum SMP, belum boleh masak dan mencuci piring.

Zi walau laki-laki, sudah bisa masak nasi, nasi goreng atau sekedar masak mi instan. Zu dan za yang senang bersih-bersih lebih memilih untuk menyapu, mengepel dan merapikan kamar.

Seperti saat bundanya terbaring di tempat tidur selama 3 hari ini, 3pzh yang mengerjakan semuanya. Bahkan mencuci dengan mesin cuci pun, sudah saya ajarkan caranya kepada mereka. Bukan saya yang super tega, tapi keahlian dasar seperti ini harus dikuasai karena akan sangat berguna bagi mereka nantinya.

Saya dan ayahnya memiliki harapan suatu saat mereka akan sekolah jauh dari rumah. Di negara-negara yang belum pernah mereka kunjungi. Untuk itu mereka harus bisa mandiri. Tidak malu mengerjakan apapun asal halal dan baik. Karena di sana tidak ada ayah dan bundanya yang selalu siap membantu.

Kembali ke topik awal, soal ART. Bagaimana kalau mulai mengurangi perannya sedikit demi sedikit dengan cara mengajarkan anak untuk mandiri? Yang sudah SD, harusnya sudah bisa makan, mandi, BAK/BAB, dan pakai baju sendiri. Merapikan kamar, mainan dan buku-buku juga bisa diajarkan sejak kecil.

Jangan biasakan ya, anak melempar baju, sepatu atau barang lainnya lalu kita atau ART yang membereskannya. Sesayang apapun pada anak, memanjakannya secara berlebihan justru akan merugikannya. Sebaliknya, mengajarkan kemandirian justru merupakan bentuk kasih sayang orangtua terhadap anaknya.

Kalau semua anggota keluarga bisa saling membantu mengerjakan pekerjaan domestik, seharusnya tidak terlalu deg-degan menunggu si mba balik dari kampung. Tentunya kondisi ini hanya berlaku bagi ibu rumah tangga seperti saya.
No ART no problem!