H U T A N G



"Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (khianat), dan [3] hutang, maka dia akan masuk surga".


(HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)




Berita terbaru mengenai seorang istri yang menjadi otak pembunuhan suami dan anak tirinya karena terlilit hutang milyaran di bank, ramai di media masa. Karena hutang, seseorang bisa berbuat demikian nekat.

Hutang adalah pemutus tali silaturahim yang paling tajam. Hutang yang tidak terbayar atau yang ditunda pelunasannya bisa membuat hubungan pertemanan atau persaudaraan menjadi renggang.

Apalagi kalau yang meminjam memang berniat untuk tidak melunasinya. Suaranya pun lebih keras daripada yang memberi pinjaman. 

Bahkan ada hadis yang mengatakan bahwa siapa yang berhutang dan berniat untuk tidak melunasinya maka di akhirat nanti disamakan dengan pencuri.

Jadi kita tidak boleh berhutang? Berhutang adalah jalan terakhir yang boleh diambil saat kita sangat membutuhkan. Tetapi sebaiknya, dahulukan ikhtiar (usaha) dan doa dalam mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada.

Kalau sudah berusaha dan berdoa, tetapi masih belum ada jalan keluarnya, barulah berhutang. Itupun, usahakan dulu mencari pinjaman tanpa riba dari orang-orang terdekat.

Setelah berhutang, segera lunasi saat mampu. Dahulukan melunasi hutang sebelum kebutuhan lainnya. 

Bila belum mampu, jangan segan untuk meminta pengertian pada yang meminjamkan. Hal ini lebih baik daripada pura-pura lupa.

Dalam Islam, dosa hutang tidak akan terampuni walau pun mati syahid. Bahkan ada cerita, Rasulullah enggan menyolati jenazah yang berhutang dan tidak meninggalkan apapun.

Di akhirat nanti, bila kita wafat dalam keadaan berhutang, maka kita harus melunasinya dengan amal kebaikan yang  kita lakukan selama di dunia, karena diakhirat tidak ada mata uang. Jadi amal kita akan menambah timbangan amal di pemberi hutang, sementara timbangan amal kita akan berkurang. Wallahu'alam.

Demikian berat hutang itu menurut Islam, maka janganlah gampang berhutang. Kalau pun harus berhutang, segera lunasi walau dengan mencicil.

Sementara bagi yang memberikan pinjaman, hendaklah mengingatkan dan menagih dengan cara yang baik.

Jangan pernah malu untuk menagih hutang. Justru kalau kita sayang kepada orang yang berhutang maka hendaknya kita menagih hutang tersebut darinya. Karena kalau kita malu menagih hutang bisa menimbulkan kemudhorotan bagi kita dan juga baginya.






Bacaan:

https://rumaysho.com/187-bahaya-orang-yang-enggan-melunasi-hutangnya.html


Belajar Menerima Takdir



Saat sesuatu mengecewakan terjadi, sering kita merasa marah bahkan terkadang menyalahkan Allah. Apalagi bila dalam hal ini merasa yakin berada di pihak yang benar.

Mengapa yang curang bisa dimenangkan? Mengapa yang salah tidak dihukum?

Mengapa korban justru yang disuruh bersabar dan memaafkan sementara pelaku tidak ditegur, tidak disuruh meminta maaf atau setidaknya diminta menghentikan perbuatannya?

RIP (Rest In Peace) Juctice! Keadilan sudah mati! Allah tidak adil!

Astaghfirullahaladzim. Kemarahan sering membuat kita lupa bahwa apapun yang terjadi, pastilah dengan ijin Allah. Bahkan tidak selembar daun pun jatuh ke bumi tanpa ijin-Nya.


وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ ۚ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ


Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 

(QS. Yunus : 107)


Lalu bagaimana pencuri yang berhasil mencuri di sebuah rumah, apakah itu atas ijin Allah? Ya, tapi Allah tidak ridha atas perbuatannya maka si pencuri akan mendapatkan dosa. Bila Allah ridha akan apa yang kita lakukan, maka kita akan mendapatkan pahala.

Walau pengadilan dunia mengalahkan pihak yang benar dan memenangkan pihak yang salah, masih ada pengadilan akhirat yang Hakim-nya tidak dapat di intimidasi atau disuap.

Kalau Allah tidak ridha, kenapa si salah dibiarkan semakin berjaya di dunia? Kenapa mereka tidak mendapatkan azab?

Itulah Istidraj. Semua kemewahan, kekuasaan dan kenikmatan duniawi yang diperoleh melalui berbagai jalan yang buruk seperti korupsi, suap, merampas hak orang lain dan sebagainya.

Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan Uqbah bin 'Aamir RA mengatakan, "Apabila engkau melihat Allah memberi seorang hamba kelimpahan dunia atas maksiat-maksiatnya, apa yang ia suka, maka ingatlah, sesungguhnya hal itu adalah istidraj."

Kemudian, Rasulullah membacakan ayat 44 dari surah al-An'aam. Artinya,

"Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa."

Maka redakanlah amarahmu. Bersabarlah dan belajar untuk menerima takdirmu. Pada akhirnya kita semua akan mendapatkan balasan sesuai amal ibadah selama hidup di dunia.

Setelah Sidang MK



Sidang MK tinggal menunggu pengumuman. Di twitland, para netizen 01 atau pun 02 banyak yang menyatakan akan golput di Pemilu berikutnya bila jagoan mereka dinyatakan kalah.

Beberapa tahun lalu, mungkin saya pun akan melakukan hal yang sama. Kekecewaan pada sistem yang tidak transparan dan jujur memang sering membuat gundah.

Untuk apa ikut Pemilu kalau yang curang bisa menang? Buang-buang uang negara saja. Mending dipakai buat lunasin hutang BPJS atau membantu korban bencana di daerah.

Setiap suara yang memilih dalam Pemilu itu berharga. Mau pilih si A atau si B, ya jangan diubah seenaknya.

Menang atau kalah itu hal biasa dalam sebuah kompetisi. Tapi penyelenggara dan pesertanya harus jujur dan pengawasnya harus adil. Tidak boleh ada kecurangan. Harus ada sanksi bagi pihak yang curang.

Karena merasa dicurangi, orang pun jadi bersikap apatis. Buat apa ikut Pemilu lagi? Nanti dicurangi lagi. Satu hari mendingan buat liburan atau istirahat di rumah. Siapa pun yang menang, kan tidak ada pengaruh langsung ke hidup gue?

Mungkin begitu isi pikiran mereka yang memilih untuk golput itu.

Tapi bagi saya, Pemilu berikutnya PANTANG GOLPUT. Kenapa? Karena memberikan suara saya adalah hal terkecil dan termudah yang bisa saya lakukan untuk perubahan yang lebih baik di negara tercinta ini.

Bagaimana kalau dicurangi lagi? Ya berjuang lagi. Tidak capek? Pastilah. Tapi niatkan karena Allah. Insya Allah menjalaninya lebih ringan kalau niatnya mencari ridho Allah.

Menang atau kalah itu bukan tujuan. Tujuannya adalah memperjuangkan suara yang sudah diberikan saat Pemilu.

Jadi mau menang atau pun kalah hasil sidang MK nanti, teruslah berusaha dan berjuang demi Indonesia yang lebih baik. Berpengaruh atau pun tidak antara yang diusahakan dengan hasil yang diharapkan, tidak masalah. Malaikat sudah mencatatnya.


Sang Pembela Itu Sudah Pergi



Memandangi wajahnya yang sudah dingin memucat, rasanya masih tidak percaya beliau sudah tidak ada. 

Baru 4 hari yang lalu saya mengunjunginya. Sore itu, walau lebih diam dari biasanya, suara beliau masih terdengar keras dan jelas saat meminta saya memindahkan pijatan dari kaki ke kepalanya. "Kepala!" katanya sambil mengusap kepalanya.

Sambil memijiti beliau, saya mengobrol dengan asisten rumah tangganya, Mbak Nah. Si mbak mengadu, "Bapak bilang, bapak bentar lagi mau mati, mbak".

"Papa sok tahu, nih. Ajal itu kan rahasia Allah," omel saya. Walau dalam hati saya resah. How if...

Kamis siang, saat mendapat kabar dari kakak perempuan saya, rasaya seperti melihat beliau di depan saya sambil tersenyum mengejek bilang, "Apa Papa bilang? Gak percaya sih, lu"

Walau sejak usia 5 tahun kami sudah hampir tidak pernah bertemu sampai menjelang pernikahan saya, tapi sosoknya selalu saya rindukan dan seringkali mendatangi saya lewat mimpi.

Saat-saat beliau mencuri kesempatan menjemput saya dan abang saya di sekolah setelah perceraian orangtua kami adalah kenangan terindah bersamanya.

Biasanya, saat dijemput itu, saya akan digendongnya di pundak dan abang saya digandengnya. Lalu saya akan meledek abang saya, "Tuh kan, dini anak kesayangan Papa. Buktinya dini yang digendong." Saya bahagia luar biasa kalau sudah begitu.

Kalimat beliau yang selalu saya ingat adalah, "Kalau ada yang berani mukul lu, bilang Papa ya Din. Papa akan hantam orang itu! Tidak ada yang boleh memukul anak Papa!"

Semalam, sewaktu pulang dari rumah Opanya, za bilang, "Opa gak ada, sekarang siapa yang belain bunda lagi?"

Saya terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Karena memang faktanya, beliau lah satu-satunya orang yang mau membela saya.

Terima kasih ya Pa, selalu jadi pembela dini.

Maafkan dini yang belum bisa membahagiakan Papa.

Maafkan dini yang tidak pernah bisa bikin Papa bangga punya anak dini.

I will always love you, Pa.

Pilih Yang Mana?




Beberapa hari lagi Indonesia akan memilih Presiden-nya, nih. Hanya ada 2 calon. Harusnya sih, tidak akan sulit untuk menjatuhkan pilihan.

Kenapa saya katakan tidak sulit? Karena yang satu sudah menjabat selama 4,5 dan yang satunya lagi belum pernah terpilih sebagai Presiden. Tinggal di bandingkan saja kan?

Sudah menjabat belum tentu menjadi poin lebih. Tergantung apa yang dialami rakyat selama dia menjabat. Bukan begitu? Apakah rakyat semakin makmur? Apakah hukum ditegakkan dengan adil? Apakah kebijakan pemerintah berpihak pada rakyat atau lebih kepada pengusaha?

Sebaliknya, belum pernah menjabat, bukan berarti belum pernah berjasa pada bangsa ini. Kalau dia menawarkan perubahan ke arah yang lebih baik, kira-kira nanti setelah terpilih akan amanah apa tidak? Bila ternyata setelah terpilih dia tidak menepati janji-janjinya, 5 tahun kemudian ya #GantiPresiden lagi.

Tapi kalau buat saya pribadi, memilih pemimpin itu tidak cukup dari kepribadiannya saja. Partai pendukungnya atau koalisi yang berada di belakangnya lah yang harus dicermati.

Kalau pendukungnya adalah partai-partai yang menentang ajaran Islam, sudah pasti tidak akan saya pilih. Apalagi yang mendukung penista agama. Sorry, Dori, Strawberry.

Lalu bagaimana dengan katanya "Jangan pilih kubu yang didukung oleh organisasi-organisasi 'itu' "?

Kalau yang dimaksud adalah organisasi PKI, LGBT, syiah, JIL dan kawan-kawannya, pastinya saya pun tidak akan mau berada satu kubu dengan mereka. Mereka adalah organisasi yang jelas-jelas menentang ajaran Islam.

Tapi kalau yang dimaksud adalah FPI, HTI dan kawan-kawannya, ya tidak masalah. Mereka belum pernah bertentangan dengan ajaran Islam kan? Apalagi mereka sudah berpuluh tahun ada di Indonesia dan tidak pernah mengangkat senjata melawan pemerintah. Jadi salahnya dimana?

Segala fitnah yang selalu muncul tiap lima tahun sekali tanpa pernah sekali pun terbukti, ya jangan dipercaya. Jangan mau dibodohi dan ditakut-takuti. Kalau memang itu fakta bukan fitnah, pasti para pelakunya sudah sejak dulu diseret ke meja hijau.

Kalau milih Petahana, malas. Sedangkan untuk memilih oposisi, tidak punya alasan, seperti kata Pandji. Jadi mendingan golput nih?

Dulu saya pernah golput. Jamannya Mega, Sby dan Jokowi jadi capres. Tapi sejak 2014 saya tidak golput lagi. Walau saya bukan kader salah satu parpol atau simpatisan salah satu capres, saya akan memberikan suara untuk memilih capres dan cawapres yang paling sedikit mudharat-nya.

Saya ingin merasa tenang dalam beribadah. Saya capek dikotak-kotakkan. Banyak hubungan pertemanan yang renggang bahkan terputus sejak pilkada DKI lalu, hanya karena berbeda pilihan.

Cukup sudah cap-cap seperti anti NKRI, anti Pancasila, intoleransi, Islam radikal atau anti kebhinekaan. Sebelum pilkada DKI yang lalu, masyarakat Indonesia itu walau berbeda-beda (suku, agama, bahasa bahkan pilihan politiknya) tapi tidak terjadi perpecahan seperti sekarang.

Jangan salah kan rakyatnya yang selalu ribut, bila para pemimpin negeri ini pun tidak bisa bijak dalam bernarasi di hadapan publik. Lupa pada sumpah jabatannya, mereka menjadi berpihak pada satu golongan, tidak lagi netral. Malah memprovokasi perpecahan, bukannya menentramkan.

Jangan biarkan kerusakan di negri kita tercinta ini berlarut-larut. Berikan suaramu pada calon-calon pemimpin yang akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Menjadi golput hanya akan membiarkan mereka yang jahat (perusak NKRI) menjadi menang.

Kalau mau Indonesia kembali seperti dulu, dimana rakyatnya hidup nyaman dalam kebhinekaan, tanggal 17 April 2019 nanti JANGAN GOLPUT.

Kurang (Di) Ajar




Ada dengan tata krama anak muda sekarang? Apakah mereka kurang diajar oleh orangtuanya? Atau memang tata krama tidak lagi menjadi hal penting untuk diajarkan kepada anak?

Dalam perjalanan saya naik kereta saat mudifah si kakak, beberapa kali saya temui kejadian anak-anak muda yang tidak merasa sungkan mengangkat kakinya ke kursi.

Walau pun ada orang yang jauh lebih tua darinya sedang duduk di bangku tersebut atau setidaknya duduk di dekatnya, mereka santai saja mengangkat kakinya. Lengkap dengan sepatunya! x_x

Terus terang, saya risih melihatnya. Mungkin karena sedari kecil sudah diajarkan orangtua bahwa hal semacam itu ora ilok (tidak bagus/tidak pantas). Bila saya tetap melakukannya, kaki saya akan ditepuk atau paling parah di cubit.

Parahnya lagi, mereka yang melakukannya adalah anak-anak yang memiliki latar belakang pengetahuan agama. Ada yang lulusan pondok, ada yang kuliah di universitas Islam.

Darimana saya tahu? Ya dari percakapan dan obrolan yang saya lakukan langsung maupun yang tidak sengaja terdengar.

Miris sekali kan? Pengetahuan agamanya cukup luas, tapi tidak tercermin pada perilakunya.

Duh kok saya jadi rese begini ya? Biarin aja sih, toh dosa masing-masing ini. Dosa memang ditanggung sendiri. Tetapi mendiamkan sesuatu kedzaliman yang terjadi di depan kita, sama artinya kita juga berbuat dzalim. Bukankah sesama muslim wajib saling mengingatkan?

Dari ilmu agama yang sangat sedikit ini, setahu saya menghormati yang lebih tua juga termasuk dalam ajaran agama juga.

Seseorang (saya lupa namanya) pernah mengatakan, bila seseorang semakin mempelajari agama maka dia akan semakin sunguh-sungguh belajar, semakin menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda.

Di rumah saya menerapkan ajaran yang sama pada anak-anak. Kalau 3pzh terlihat mengangkat kakinya saat saya atau ayahnya ada di sekitarnya, pasti akan saya ingatkan bahwa perilakunya itu tidak sopan.

Jadi wajar kan kalau saya merasa anak muda sekarang, khususnya yang saya temui di kereta itu, kurang diajarkan mengenai sopan santun atau tata krama.

Apa iya sih orangtuanya tidak mengajarkan? Padahal kalau dari bahasanya, mereka dari etnis yang tutur bahasanya halus loh.

Sampai disini saya bisa dituduh rasis nih. Padahal kita pasti tahu, di Indonesia selain ada etnis yang tutur bahasanya halus, juga ada yang kalau berbicara seperti orang berantem 😋 Jadi itu bukan rasis ya, tapi realita perbedaan kultur budaya.

Tidak hanya mengangkat kaki, tapi juga tidak melakukan beberapa kebiasaan Islami. Contohnya makan minum dengan tangan kiri atau beberapa kebiasaan lainnya yang saya lihat dalam hampir 12 jam perjalanan.

Mereka kan punya latar belakang agama yang cukup kuat, kok tidak ada bedanya dengan mereka yang tidak? Apa saya berharap terlalu tinggi?

Jangan dikira saya hanya berani menulis di blog sementara saat terjadi di depan mata, saya diam saja. Tegas tapi tetap sopan saya ingatkan, kok.

"Maaf dik, sebaiknya makan minum dengan tangan kanan." Dan dijawabnya dengan sangat sopan, "Nggeh, bu. Suwun."

Kalau dari reaksinya tersebut, saya rasa mereka hanya kurang diajarkan tata krama. Karena tata krama tidak ada mata pelajarannya, tetapi harus diajarkan oleh orangtua di rumah sejak kecil.

Bukan kah kita juga orangtuanya yang malu bila anak kita dinilai orang lain sebagai pribadi yang kurang tata krama? Begitu pula sebaliknya. Kita akan bangga bila anak kita dinilai sangat bertata krama dalam pergaulan.

Apalah artinya anak berprestasi tapi tidak memiliki sopan santun? Malu dong, kalau sampai anak kita di cap orang 'kurang diajar' 😉

Resolusi Tahun Baru


"Malam tahun baru kemana, Din?"

"Ada rencana mau ke Carita...."

Belum selesai saya menjawab, sudah dipotong.

"Waah, apa gak takut tsunami? Atau malah murah ya hotel-hotel di sana karena banyak wisatawan yang batal datang?"

Dengan penuh kesotoyan, teman saya terus saja merocos. Apa dikiranya saya termasuk orang-orang yang datang ke daerah bencana hanya untuk foto-foto tanpa bawa bantuan? Astaghfirullah, jadi suudzon deh x_x 

Maaf ya teman, soalnya saya sangat heran dengan kelakuan sebagian masyarakat kita yang hobinya berburu konten medsos tanpa memakai hati. Cekrak cekrek lalu upload berharap likes dan subscribe. 

Peduli pun tidak dia dengan daerah bencana tempatnya berfoto dan membuat video. Jangan kan membawa bantuan, sekedar menyapa penduduk pun tidak. Hanya pencitraan. 

Akhirnya terpaksa saya jelaskan tujuan ke Carita. Bersama komunitas RMB212, saya dan hubby berencana ke Carita dan sekitarnya untuk menyalurkan bantuan. RMB212 atau Rumah Madani Bersama 212 adalah sebuah komunitas yang beranggotakan para alumni 212.

Sebagian bantuan berupa barang di antaranya: beras, minyak, air mineral botolan 1500 ml, baju anak dan dewasa yang masih baru, selimut, sajadah, mukenah, sarung dan masih banyak lagi lainnya akan disalurkan melalui posko Front Pembela Islam (FPI).

Sedangkan yang berupa roti dan sebagian alat shalat juga langsung dibagikan ke penduduk setempat. Untuk donasi berupa uang tunai, insya Allah akan kami salurkan melalui Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Teman saya mulai salah tingkah. 

"Lo nyumbang, dong. Bantuin saudara-saudara kita yang lagi kena musibah," bujuk saya.

"Nanti deh gue transfer. Minta noreknya, ya?"

Itu pembicaraan seminggu lalu dengan teman saya itu. Dan sampai saya pulang dari Carita, tidak ada lagi kabar darinya x_x

Dengar-dengar dia sedang liburan ke luar kota. Mungkin susah sinyal disana, saya mencoba husnudzon.

Memang diperlukan hati yang peka untuk berempati pada penderitaan orang lain. Walau menyumbang tidak akan pernah membuat kita menjadi miskin, tapi banyak orang tidak cukup peduli untuk membantu.

Padahal, membantu itu tidak sulit loh. Sisihkan saja uang yang seharusnya untuk membeli terompet, petasan, kembang api dan balon-balon yang akan dipakai untuk pesta. Pasti lebih manfaat kalau uangnya dipakai untuk membantu korban bencana kan?

Bisa juga dengan mengajak saweran para tamu atau anggota keluarga yang kamu undang ke rumah untuk merayakan tahun baru. Lalu sumbangkan ke badan-badan resmi yang menyalurkan bantuan untuk kawasan bencana.

Apalagi yang baru dapat bonus tahunan, berbagi rezeki dengan mereka yang membutuhkan insya Allah akan membuat hartamu berkah.

Sudah punya resolusi untuk tahun baru 2019? Bagaimana kalau resolusinya adalah menjadi lebih peka dan berempati pada penderitaan orang lain? Atau menyisihkan uang setidaknya seharga segelas kopi kekinian seminggu sekali untuk disumbangkan?

Tidak harus tertimpa bencana dulu kan baru bisa berempati pada korban bencana?

Atau Allah perlu menjewermu dulu baru kamu bisa merasakan penderitaan saudara-saudaramu yang mengalami kemalangan?