Pilih Yang Mana?




Beberapa hari lagi Indonesia akan memilih Presiden-nya, nih. Hanya ada 2 calon. Harusnya sih, tidak akan sulit untuk menjatuhkan pilihan.

Kenapa saya katakan tidak sulit? Karena yang satu sudah menjabat selama 4,5 dan yang satunya lagi belum pernah terpilih sebagai Presiden. Tinggal di bandingkan saja kan?

Sudah menjabat belum tentu menjadi poin lebih. Tergantung apa yang dialami rakyat selama dia menjabat. Bukan begitu? Apakah rakyat semakin makmur? Apakah hukum ditegakkan dengan adil? Apakah kebijakan pemerintah berpihak pada rakyat atau lebih kepada pengusaha?

Sebaliknya, belum pernah menjabat, bukan berarti belum pernah berjasa pada bangsa ini. Kalau dia menawarkan perubahan ke arah yang lebih baik, kira-kira nanti setelah terpilih akan amanah apa tidak? Bila ternyata setelah terpilih dia tidak menepati janji-janjinya, 5 tahun kemudian ya #GantiPresiden lagi.

Tapi kalau buat saya pribadi, memilih pemimpin itu tidak cukup dari kepribadiannya saja. Partai pendukungnya atau koalisi yang berada di belakangnya lah yang harus dicermati.

Kalau pendukungnya adalah partai-partai yang menentang ajaran Islam, sudah pasti tidak akan saya pilih. Apalagi yang mendukung penista agama. Sorry, Dori, Strawberry.

Lalu bagaimana dengan katanya "Jangan pilih kubu yang didukung oleh organisasi-organisasi 'itu' "?

Kalau yang dimaksud adalah organisasi PKI, LGBT, syiah, JIL dan kawan-kawannya, pastinya saya pun tidak akan mau berada satu kubu dengan mereka. Mereka adalah organisasi yang jelas-jelas menentang ajaran Islam.

Tapi kalau yang dimaksud adalah FPI, HTI dan kawan-kawannya, ya tidak masalah. Mereka belum pernah bertentangan dengan ajaran Islam kan? Apalagi mereka sudah berpuluh tahun ada di Indonesia dan tidak pernah mengangkat senjata melawan pemerintah. Jadi salahnya dimana?

Segala fitnah yang selalu muncul tiap lima tahun sekali tanpa pernah sekali pun terbukti, ya jangan dipercaya. Jangan mau dibodohi dan ditakut-takuti. Kalau memang itu fakta bukan fitnah, pasti para pelakunya sudah sejak dulu diseret ke meja hijau.

Kalau milih Petahana, malas. Sedangkan untuk memilih oposisi, tidak punya alasan, seperti kata Pandji. Jadi mendingan golput nih?

Dulu saya pernah golput. Jamannya Mega, Sby dan Jokowi jadi capres. Tapi sejak 2014 saya tidak golput lagi. Walau saya bukan kader salah satu parpol atau simpatisan salah satu capres, saya akan memberikan suara untuk memilih capres dan cawapres yang paling sedikit mudharat-nya.

Saya ingin merasa tenang dalam beribadah. Saya capek dikotak-kotakkan. Banyak hubungan pertemanan yang renggang bahkan terputus sejak pilkada DKI lalu, hanya karena berbeda pilihan.

Cukup sudah cap-cap seperti anti NKRI, anti Pancasila, intoleransi, Islam radikal atau anti kebhinekaan. Sebelum pilkada DKI yang lalu, masyarakat Indonesia itu walau berbeda-beda (suku, agama, bahasa bahkan pilihan politiknya) tapi tidak terjadi perpecahan seperti sekarang.

Jangan salah kan rakyatnya yang selalu ribut, bila para pemimpin negeri ini pun tidak bisa bijak dalam bernarasi di hadapan publik. Lupa pada sumpah jabatannya, mereka menjadi berpihak pada satu golongan, tidak lagi netral. Malah memprovokasi perpecahan, bukannya menentramkan.

Jangan biarkan kerusakan di negri kita tercinta ini berlarut-larut. Berikan suaramu pada calon-calon pemimpin yang akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Menjadi golput hanya akan membiarkan mereka yang jahat (perusak NKRI) menjadi menang.

Kalau mau Indonesia kembali seperti dulu, dimana rakyatnya hidup nyaman dalam kebhinekaan, tanggal 17 April 2019 nanti JANGAN GOLPUT.

1 comment:

Idenya Dini said...

Ralat. Kelupaan.

Saya golput saat Mega dan Sby jadi capres dan Jokowi jadi cagub. Tapi sejak Jokowi nyapres di 2014 saya tidak golput lagi.