Ketika Hidayah Itu Datang

Entah sudah berapa kali saya mengalami bertemu teman lama, tetapi teman saya itu tidak mengenali saya. Alasannya sederhana saja, saya jauh berbeda dengan saya yang dulu mereka kenal. Kalau anda mengikuti blog saya, sedikit banyak anda pasti mendapat gambaran bagaimana saya yang 'dulu'.
Ok, untuk yang baru kali ini baca blog saya, sebaiknya saya memberi sedikit gambaran. Dulu, saya itu lagaknya persis seperti preman. Sering berantem, terutama dengan kakak kelas. Sering bolos saat pelajaran yang tidak saya sukai. Sering melawan guru yang sok galak. Dalam berteman, saya lebih memilih berteman dengan laki-laki daripada perempuan. Bukannya kecentilan, tapi karena saya merasa lebih nyambung berteman dengan laki-laki daripada dengan perempuan, yang menurut saya lebih suka ngegosip dan mengomentari orang.
Untuk penampilan, cuma rambut yang sedikit 'normal'. Walaupun rambut pernah panjang, tetapi selalu dikuncir satu. Kalaupun pendek, tidak pernah bergaya seperti rambut lelaki. Paling banter bob atau pendek sekerah dan berponi. Bertolak belakang dengan rambut, gaya saya berbusana sangat tomboy. Sehari-hari saya jarang memakai rok, sukanya pakai celana panjang atau celana pendek dengan kaos. Datang ke sekolah, sering terlambat, terutama kalau pelajaran pertama pelajaran yang tidak saya sukai. Dari SD sampai SMA saya selalu termasuk dalam daftar black list para guru. Pokoknya, saya yang dulu benar-benar beda dengan saya yang sekarang.
Jadi, rasanya wajar saja kalau banyak teman saya tidak mengenali saya, yang katanya sekarang terlihat sangat feminin dengan jilbab :) Banyak teman bertanya, kok bisa dari yang dulu gahar, sekarang berjilbab? Masih sering buka-tutup jilbab? Apa yang menjadi inspirasi? Bahkan ada yang bertanya, kalau clubbing, jilbabnya dibuka, dong?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itulah, di sini saya ingin berbagi pengalaman tentang awalnya saya memutuskan untuk berjilbab. Mudah-mudahan bermanfaat sharing saya kali ini, ya?
Waktu itu, saya sudah selesai kuliah S1 dan akan melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Karena kursus persiapan kuliah sudah selesai dan masih ada jarak 5 bulan sebelum perkuliahan dimulai, saya memutuskan untuk pulang dulu ke Jakarta. Selama 4 bulan di negara orang itu, saya melihat teman-teman yang dari Indonesia banyak yang bertingkah laku cukup 'ajaib' di mata saya. Setiap weekends, mereka biasa berkumpul di flat seorang teman untuk minum-minum wine atau minuman alkohol lainnya. Beberapa kali diajak, saya selalu menghindar. Akibatnya, saya malah dijauhi karena dianggap sombong. Saat itu saya berpikir, apa yang harus saya lakukan agar bisa menolak ajakan-ajakan itu tanpa menyakiti hati mereka ya?
Ternyata pertanyaan saya itu, langsung dijawab oleh Allah SWT. Kebetulan di bulan Juni/Juli 2008, orangtua kami ingin memasukkankan si bungsu ke sebuah pesantren di Bogor untuk mengikuti sanlat (pesantren kilat) Ramadhan. Adik saya mengajukan syarat ke ortu. Dia mau ikut sanlat, asal kedua kakak perempuannya ikut! Dengan terpaksa, akhirnya kami (saya dan adik perempuan saya) ikut juga program tersebut.
Mengikuti kegiatan di pesantren, terus terang saat itu saya tidak dapat menikmatinya. Bagaimana tidak? Terbiasa bangun siang di rumah saat libur, di pesantren saya merasa kurang cukup tidur karena harus shalat subuh, dhuha dan tahajjud setiap hari. Tapi ada satu kegiatan di malam terakhir sanlat yang benar-benar membekas di hati saya.
Malam itu, kami dibangunkan tengah malam untuk melakukan shalat tahajjud. Setelah shalat, kami melakukan dzikir. Saat dzikir itulah, saya ikut menangis tersedu-sedu bersama santri yang lain, saat Abi (panggilan pemimpin pesantren di situ) membacakan doa dan mengingatkan kami pada dosa-dosa yang selama ini telah kami perbuat. Di akhir dzikir, Abi memberikan nasihat dan pesan kepada para santri. Salah satunya pesan beliau adalah agar para santri wanita tetap menjaga auratnya dengan memakai hijaab sepulangnya dari pesantren. Entah kenapa, saat itu juga saya bertekad untuk seterusnya memakai jilbab.
Ternyata, tekad saya itu kurang mendapat dukungan dari orangtua. Mereka menganggap saya masih terlalu muda untuk berjilbab. Nanti susah cari kerja, kata mereka. Bahkan ayah saya sering menggoda saya dengan menanyakan, dari kloter berapa? Tapi semua itu tidak menggoyahkan tekad saya. Alhamdulillah, saat saya kuliah lagi, walaupun di negeri orang, saya tidak mendapatkan perlakuan rasis karena jilbab yang saya kenakan. Saya bahkan dipercaya memimpin sebuah organisasi mahasiswa di sana yang diperuntukkan bagi mahasiswa post graduate dan mature students (PGMSS = Post Graduate & Mature Students Society) yang beranggotakan mahasiswa dari berbagai negara.
Setelah memakai jilbab, alhamdulillah lebih banyak kebaikan dan kemudahan yang saya rasakan. Mungkin karena keputusan memakai hijaab ini datang dari diri sendiri, jadi tidak berat menjalaninya. Saya juga pernah melakukan buka-tutup jilbab. Waktu kerja dulu. Dari rumah berjilbab, sampai parkiran kantor baru dibuka. Saat pulang kantor, begitu sampai mobil, jilbab dipakai lagi. Begitu terus selama 8 bulan saya bekerja. Akhirnya tidak betah dan saya pun mengundurkan diri dari pekerjaan.
Kalau ada teman yang bertanya, kalau clubbing jilbabnya dibuka dulu, dong? Wah, alhamdulillah, sebadung-badungnya saya, dugem tidak pernah saya lakukan. Selain karena di rumah orangtua peraturannya jam malamnya adalah jam 21, saya juga kurang senang dengan dunia hingar bingar seperti itu. Di waktu senggang, saya lebih senang membaca novel di rumah.
Begitulah, ketika hidayah itu datang, tak seorang pun dapat menolaknya. Bahkan 'mantan preman' seperti saya sekali pun :P Tidak terasa, sudah lebih dari 10 tahun saya hijrah dari masa jahiliyah menuju ke hari-hari yang insya Allah akan lebih baik lagi dari sebelum ber-hijaab. Doakan ya, agar saya tetap teguh ber-hijaab selamanya :)

Revenge Is (NOT) Sweet

Beberapa minggu belakangan ini saya sering berkeluh kesah ke hubby. Permasalahannya timbul dari keinginan diri yang ingin berhenti pasrah. Selama ini saya merasa, sering diperlakukan tidak adil. Orang sering salah menilai saya karena penampilan luar saya. Orang sering mengkambing-hitamkan saya untuk kesalahan yang diperbuatnya. Orang sering memperlakukan saya seenaknya, karena saya tidak pernah protes. Saya bertanya pada hubby, apa saya harus berubah menjadi lebih berani menggugat?
Dalam keadaan marah itulah, kemarin saya mengalami suatu kejadian yang menurut saya menjadisalah satu turning point dalam hidup saya. Saya tidak bisa menjelaskan kejadiannya, tapi intinya begini: seseorang berbuat kesalahan kepada saya, lalu saya membalasnya. Ini benar-benar diluar kebiasaan saya. Biasanya, diperlakukan seperti ini, paling banter saya mengomel atau cerita ke hubby. Tapi kali ini beda. Mungkin kemarahan yang terpendam beberapa minggu belakangan inilah yang jadi biang keladinya.
Anehnya, setelah melihat orang itu mengalami hal yang sama dengan yang dia lakukan ke saya, kok saya malah jadi tidak tega? Saya malah mau membantunya. Saya mengharapkan akan merasa, lega, senang, puas atau semacam itulah. Tapi ini tidak. Saya justru merasa kasihan dan menyesal telah membalasnya.
Dari sini saya berkesimpulan, revenge is NOT sweet. Balas dendam itu tidak menyenangkan. Mungkin sudah menjadi takdir saya, dilahirkan untuk selalu jadi kambing hitam bagi orang lain. Mungkin memang saya dilahirkan untuk selalu pasrah bila diperlakukan tidak adil. Mungkin. Yang pasti, sejak saat itu, saya berjanji untuk tidak akan pernah lagi membalas perlakuan tidak adil yang saya terima. Semoga saya bisa terus memegang janji saya ini. Bagaimana pun, Allah tidak tidur. Dia yang Maha Adil, pasti tidak mungkin salah menilai hamba-Nya. Setuju?