Don't Judge A Book By Its Cover

Kalimat di atas artinya bukan 'beli buku berhadiah koper' melainkan 'jangan menilai sesuatu dari luarnya saja. Dalam beberapa hal memang kita perlu menilai sesuatu dari luarnya saja. Seperti memilih buah atau baju. Tidak mungkin kan, kita memilih buah yang kulitnya sudah menghitam tanda mulai busuk?
Kalimat ini mungkin lebih mengena bila diterapkan pada saat kita menilai seseorang. Seorang yang terlihat pendiam dan bermuka jutek, belum tentu bukan sahabat yang baik. Sebaliknya, seorang yang terlihat ramah dan banyak bicara (= lip service), belum tentu seorang yang berhati mulia.
Dalam menilai seseorang, sebaiknya kita telah mengenalnya dengan baik terlebih dahulu. Itu teorinya. Tetapi saya juga selalu mengandalkan insting (baca: naluri atau hati kecil) untuk menyukai atau tidak menyukai seseorang. Alhamdulillah, insting saya belum pernah salah kecuali sekali. Itu pun karena orang itu sudah menjadi teman dekat saya. Mungkin karena dia teman dekat saya, insting saya menjadi kurang peka.
Ceritanya begini. Saya punya 2 teman dekat waktu SMA. Sebut saja si A dan B. Mereka juga saling berteman. Saat si A menceritakan rahasianya ke saya dan meminta agar tidak membocorkannya ke siapa pun termasuk kepada si B, saya tentu saja menyanggupi. Ternyata rahasia itu kemudian menjadi gosip di sekolah. Si B pun menanyakan ke saya, apakah saya pernah mendengar si A bercerita tentang hal ini ke saya? Karena tidak biasa berbohong, spontan saya jawab iya. Tapi saya meminta pengertian B bahwa saya tidak dapat mengkonfirmasi pertanyaannya berdasarkan info yang saya dapat dari si A, karena saya sudah berjanji. B pun mau mengerti.
Singkat cerita, ternyata di kemudian hari, gosip itu menjadi kenyataan dan teman saya si A ternyata telah berbohong pada saya. Rahasia yang diceritakannya pada saya hanyalah skenario palsunya untuk menutupi kesalahannya sendiri. Sungguh saya merasa kecewa. Sejak saat itu saya memutuskan tali persahabatan dengannya.
Beberapa bulan yang lalu, dia mengirimkan friend request di facebook, yang kemudian saya confirmed, dengan harapan dia telah menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Tetapi sampai berbulan-bulan dia ada di friend list saya, tidak sekali pun dia 'menegur' saya di wall ataupun mengomentari foto, status atau apa pun itu. Tadinya saya berbaik sangka, mungkin dia sedang sibuk sehingga tidak sempat facebooking. Tetapi membaca wall-nya, saya tahu dia aktif mengomentari dan menyapa mutual friends kami. Akhirnya, saya remove dia dari friend list agar penantian saya tidak berakhir sia-sia dan saya tidak dikecewakannya lagi.
Beda halnya dengan salah menilai orang yang baru terjadi sekali (semoga tidak pernah lagi), saya sering salah dinilai orang..... hiks :( Terlahir dengan muka galak dan tidak perduli pendapat orang tentang penampilan saya, akhirnya banyak orang salah menilai saya. Seorang teman kuliah saya mengatakan, dulu sebelum mengenal saya, dia malas menegur saya karena saat orientasi kampus saya selalu menyendiri di pojok ruangan atau di barisan paling belakang dengan pasang muka galak dan tidak pernah senyum. Dia akhirnya terpaksa menegur saya karena tidak ada pilihan. Kami duduk bersebelahan, dan temannya belum datang sehingga dia bete bengong sendirian. Setelah percakapan yang seru, dia baru tahu kalau saya orangnya juga suka bercanda dan cukup menyenangkan dijadikan teman. Walau sudah sangat jarang bertemu, kami tetap berteman baik dan saling menelpon hingga kini.
Berdasarkan dua pengalaman di atas, saya menyimpulkan: insting dan pdkt (baca: pedekate = pendekatan) itu sama pentingnya. Insting bisa saja menjadi bias saat kita telah mendengar info yang salah tentang orang itu sebelum mengenalnya. Atau bila kita merasa telah sangat mengenal orang itu, kita cenderung kurang peka terhadap 'perubahan' yang terjadi padanya. Perubahan di sini bisa diartikan sebagai perubahan pada sifat seseorang. Waktu dapat merubah seseorang, kan?
Sementara pdkt tanpa memperdulikan apa yang dikatakan insting kita, juga dapat berakhir dengan kekecewaan. Seperti yang saya alami. Jadi, dengan mengandalkan insting dan pdkt sebelum memutuskan untuk menyukai seseorang atau tidak, akan menghindarkan kita dalam mengambil keputusan yang salah.
That's just a thought :)

Bohong Putih (Memang Ada?)

Setiap manusia biasa (bukan nabi yaaa...), pastilah pernah berbohong. Ingat semasa kecil kita suka bohong? Mandi adalah salah satu aktifitas yang paling saya hindari dulu waktu masih kanak-kanak. Jadi saya selalu mengaku sudah mandi kalau ditanya. Padahal di kamar mandi saya hanya membaca buku lima sekawan sambil nyiram-nyiram kaki :D
Berkali-kali berhasil membohongi ibu, akhirnya ketahuan juga. Setiap keluar kamar mandi, ibu memeriksa perut saya, kalau masih terasa panas, disuruh masuk kembali untuk mandi. Kesal rasanya merasakan air yang dingin itu harus membasahi tubuh saya. Tidak kekurangan akal, saya kemudian hanya membasahi perut setiap waktunya mandi :P
Semua orang, saya yakin tahu kalau berbohong itu berdosa. Tapi, banyak yang meyakini, kalau bohong putih itu tidak berdosa, atau minimal dosanya lebih sedikit. Memang dosa itu ada warnanya, ya? Bohong putih disini maksudnya berbohong untuk kebaikan, katanya. Misalnya, saya punya teman si A dan si B, tapi mereka saling bermusuhan. Agar si A tidak marah, saat saya pergi dengan si B, saya mengatakan pada A kalau saya harus mengantar ibu saya berbelanja. Itu contoh bohong putih. Sekali lagi, katanya.
Kenapa saya bilang: KATANYA? Karena saya meyakini, yang judulnya bohong, ya tetap saja dosa. Mau putih, mau hitam, mau ungu, pokoknya bohong itu dosa. Kalau saya pribadi, paling anti berbohong dan dibohongi. Apapun alasannya. Daripada berbohong, saya lebih baik tidak menceritakan yang sebenarnya kalau tidak ditanya. What she doesn't know wouldn't kill her, ya kan? Tapi kalau ditanya, ya saya akan menjawab dengan jujur. Apapun resikonya. Kecuali, kalau saya harus mengungkapkan keburukan seseorang. Lebih baik tanya langsung ke yang bersangkutan, deh.
Kenapa sih, orang lebih memilih bohong daripada berkata jujur? Kalau pun misalnya karena alasan untuk menghindari konflik, apakah yakin konfliknya tidak akan bertambah besar bila nanti akhirnya ketahuan berbohong? Biasanya, suatu kebohongan akan diikuti oleh kebohongan-kebohongan lainnya. Ruginya lagi, anda akan kehilangan kepercayaan dari orang tersebut.
Sudahlah, jujur saja. Mungkin awalnya berat, tetapi hasilnya pasti jauh lebih baik daripada berbohong. Tidak dosa, lagi. Jadi, apa masih mau bohong?