Anakmu, Bukan Anakmu

Menurut Islam, anak itu bukan milik orangtuanya. Melainkan milik Allah SWT, yang diamanahkan kepada orangtuanya untuk diasuh, dididik dan dibesarkan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa orangtua tidak boleh memaksakan kehendaknya, karena anak berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Orangtua hanya dapat membimbing dan mengarahkan. Tapi pada prakteknya, keinginan orangtua seringkali bertentangan dengan keinginan anak. Walaupun dengan maksud baik, belum tentu anak dapat menerima begitu saja saran-saran dari orangtuanya.

Sebagai orangtua, alhamdulillah kami belum pernah mengalami pertentangan (yang serius) dengan anak dalam hal menentukan pilihan. Karena pada dasarnya kami selalu mendukung apapun yang menjadi pilihan mereka selama itu membawa kebaikan. Kalaupun tidak, saya dan hubby cenderung membiarkan mereka merasakan konsekuensi dari pilihan mereka. Maksudnya agar mereka dapat belajar bahwa setiap pilihan pasti ada konsekuensinya.

Contohnya saat Z lebih memilih untuk tinggal di rumah (karena mau main komputer) saat kami mau pergi makan di luar rumah. Belum ada setengah jam, Z sudah menelpon bertanya kapan kami pulang. Untung perginya tidak jauh, jadi tidak lama kami sudah sampai di rumah kembali. Dari kejadian itu, Z belajar bahwa ikut pergi bersama kami lebih menyenangkan daripada tinggal sendirian di rumah untuk main komputer sekalipun.

Itu untuk menentukan pilihan. Tapi untuk melepas anak mandiri, jauh dari kami, kok saya belum bisa ikhlas ya? Akhir pekan kemarin, kami berjalan-jalan ke sebuah ponpes (pondok pesantren) di Jakarta Selatan. Setelah bertanya-tanya di bagian administrasi, kami melihat-lihat ke asramanya, tempat para santri mukim (menginap) selama masa pendidikan. Disitu, mulai kelas 3 SD santri/santriwati sudah dibolehkan mukim. Dan bila mukim, hanya boleh pulang ke rumah saat liburan sekolah (kecuali tanggal merah dan Sabtu-Minggu harus tetap di ponpes). Tapi kalau dikunjungi keluarga, boleh. Masuk pesantren/boarding school memang sudah menjadi program pendidikan Z mulai SMP nanti. Itu diputuskan setelah didiskusikan jauh-jauh hari. Tujuannya agar Z bisa belajar mandiri dan bisa lebih fokus belajarnya. Z tentu dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan dirinya.

Sementara Z dan ayahnya melihat-lihat kamar asrama, saya duduk di taman sambil menjaga Zu dan Za. Ternyata di taman itu banyak orangtua yang sedang mengunjungi anaknya. Melihat mereka, mata saya langsung basah membayangkan perasaan rindu yang akan saya rasakan bila datang menjenguk Z nanti (bahkan saat menulis ini pun lagi-lagi saya menangis #bundayangcengeng).

Dalam perjalanan pulang, saya tanyakan kesan-kesan Z terhadap ponpes tersebut. "Apakah abang mau mukim disitu?" Jawaban Z, "Mau. Kan nanti dapat banyak teman baru." "Memang abang tidak mikirin bunda? Mikirin dong, jadi bunda gak repot lagi, kan abang udah jauh tinggalnya." Huaaaa jadi tambah mewek deh bundanya :'( Deja vu. Jadi teringat kejadian 6 tahunan lalu, saat diusianya yang masih 2,5 tahun kami akan meninggalkannya selama 40 hari. Bukannya menangis, Z malah melambaikan tangannya dengan riang sementara saya sudah nangis bombay :(

Duh, susah sekali ikhlas untuk berpisah dengan orang yang kita cintai, terutama anak. Mau rasanya anak-anak selalu bersama saya, selamanya. Tapi orangtua kan tidak boleh egois. Apalagi kalau ini untuk kebaikan mereka. Melepaskannya, tinggal jauh darinya... mampukah saya melakukannya? Semoga Allah SWT memberikan saya kekuatan dan ketabahan untuk menjalaninya.

Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life's longing for itself
(Kahlil Gibran).

M A N D I R I

Mandiri yang akan saya bahas berikut ini sama sekali bukan tentang bank milik pemerintah itu. Tapi mungkin ada hubungannya dengan mandi sendiri :p

Sebagai orangtua, biasanya kita karena terlalu sayang sama anak, jadi sering merasa kuatir. Kuatir gizinya tidak cukup, maka anak disuapi. Kuatir mandinya tidak bersih, maka dimandikan. Ujung-ujungnya, si anak jadi tidak bisa mandiri. Tidak bisa melakukan segala sesuatunya sendiri, selalu mengandalkan bantuan orang lain.

Di rumah, 3pzh saya ajarkan untuk mandiri sejak mereka masih bayi. Bayi kok mandiri? Begitu pasti anda bertanya tidak percaya. Beneran loh, bayi juga sudah bisa diajarkan mandiri. Tentu bukan diajarkan mencuci baju sendiri yaaaa... (Plis, dweeh!) Tapi diajarkan untuk tidak selalu harus digendong. Karena saya memilih hidup tanpa asisten rumah tangga, otomatis waktu saya harus dibagi antara mengurus anak dan rumah. Hal ini susah dijalani kalau anak-anak saya termasuk tipe yang harus selalu nempel ke bundanya.

Biasanya, saya letakkan anak di baby trolley (kalau belum bisa berdiri) atau di baby's crib (kalau sudah bisa merangkak/berdiri) dan saya mengerjakan semua pekerjaan di dekatnya. Jadi komunikasi tetap terjalin, tanpa mereka harus saya gendong seharian. Sambil mencuci piring, kaki saya menggoyang-goyangkan trolley. Atau sambil menyetrika, saya bernyanyi untuk si kecil. Tentu sesekali saya menghentikan kegiatan kalau harus menyusui atau menggantikan diaper mereka. Tapi dengan cara ini, semua pekerjaan rumah beres dan anak pun terurus dengan baik.

Kemampuan memakai baju dan sepatu sendiri seharusnya sudah mulai dipelajari anak saat dia sudah bisa berjalan. Tidak apa-apa kalau masih terbalik memakainya. Yang penting dia sudah belajar untuk mandiri. Itu awal yang bagus. Daripada mengeritik kesalahannya, lebih baik berikan pujian atas usahanya. Pasti anak jadi lebih semangat untuk belajar lebih banyak lagi.

Dulu pun, saya selalu diajarkan ibu saya untuk mengerjakan pekerjaan rumah, walaupun di rumah kami memiliki setidaknya dua orang asisten rumah tangga. Membersihkan kamar dan menyiram tanaman harus saya dan saudara-saudara saya kerjakan secara bergiliran. Dikasih fasilitas mobil untuk kuliah, berarti juga berkewajiban mencucinya setiap dua hari sekali. Demikian juga memasak, mencuci dan menyetrika. Semua diajarkan ibu pada anak-anaknya. Sekarang, saya merasakan manfaatnya. Tidak terlalu tergantung pada orang lain. Thank you, Ma *hugs*

Coba lihat ke sekeliling anda, pasti ada saudara atau tetangga yang sudah menikah dan bahkan memiliki anak, tetapi masih menggantungkan hidupnya pada orangtua/mertua. Umumnya, itu tidak melulu salah si anak. Tapi juga orangtua ikut berperan membuat anaknya tidak bisa mandiri di usia segitu. Lagi-lagi rasa sayang pada anaklah yang mendorong orangtua untuk terus-menerus 'menyuapi'-nya. Tapi mau sampai kapan?

Ilmu, bukan hanya yang diperoleh dari bangku sekolah, tapi juga ilmu kehidupan yang dapat dipelajarinya dari anda, orangtuanya. Jadi, kalau anda sayang anak, jangan dimanja terus. Sebaliknya, bekali dia dengan ilmu yang akan berguna bagi kehidupannya kelak. Maka dia, suatu saat akan sangat berterima kasih pada anda, walaupun bukan tidak mungkin sekarang dia akan mengecap anda kejam atau tidak sayang padanya.