Musibah Membawa Ghibah

Musibah menimpa keluarga seorang artis dangdut yang rajin nongol di infotainment. Anaknya diculiknya dari sekolah! Duh, ngeri ngebayangin nasib anak itu di tangan si penculik x_x

Bukannya mendapat empati dan simpati dari orang-orang, si artis dan keluarganya malah dicerca dan jadi bahan rumpian. Mayoritas masyarakat memberikan reaksi dan komentar negatif atas musibah tersebut. Ada yang menyalahkan gaya hidupnya yang glamor, banyak juga yang bilang ini akibat hobinya pamer kekayaan.

Astaghfirullah. Kenapa kita bisa menghakimi orang sedemikian rupa, sampai menafikkan musibah yang tengah menimpanya? Sudah demikian suci kah kita sebagai manusia?

Bagaimana perasaan anda bila mengalami musibah, lalu ada orang yang komentar, "Tuh kan, gue bilang juga apa!" Memang enak?! Pasti rasanya mau nampol bolak-balik orang yang ngomong gitu.

Pertama kali membaca beritanya di twitter, yang terbayang oleh saya adalah kesedihan dan kepanikan sang bunda. Kehilangan buah hati adalah mimpi terburuk seorang ibu. Kesalahan sebesar apa yang dilakukannya sehingga si ibu pantas menerima cibiran? Kemana hati nurani kita?

Musibah bisa datang pada siapa saja. Sebagai ujian kesabaran bagi yang menerimanya dan juga sebagai ujian bagi yang mengetahuinya untuk tidak bergunjing (ghibah). Daripada menambah dosa dengan komentar-komentar yang sama sekali tidak membantu si penerima musibah, lebih baik mendoakannya agar diberikan Allah kekuatan dan kesabaran menghadapi ujian tersebut. Dalam hidup ini perbanyak saja beramal dan beribadah, jangan dosa terus yang dikoleksi!


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kepo atau Care?

Sekarang ini orang sudah tidak malu-malu lagi bikin status di socmed (social media). Isinya mulai dari curcol (curhat colongan), iklan, pamer sampai menyindir. Biasanya status seseorang di socmed mengundang komentar dari pembacanya. Ada yang sekedar kepo, tapi banyak juga yang memang benar-benar care (perhatian).

Beda tipis antara kepo dan care. Kalau kepo (mau tahu saja), si penanya penasaran dengan status/foto yang terpampang di socmed. Ciri-ciri dari si kepo adalah bertanya dengan mencecar, mengorek info sampai terpuaskan rasa ingin tahunya.

Sementara kalau care atau perhatian, si penanya benar-benar kuatir dengan status yang dibacanya sehingga ia akhirnya bertanya. Ciri-ciri dari si care adalah bertanya "Kamu baik-baik saja? atau "Ada yang bisa saya bantu?" Tidak bertanya mendetail, tapi bila si penulis status menjelaskan, dia siap mendengarkan dan memberi saran bila ditanya.

Terus terang, saya tipe orang yang susah banget untuk curhat. Kalau ada masalah, lebih senang menyimpannya dan baru berbagi pengalaman setelah berhasil melewatinya. Buat sebagian orang, itu namanya jaim alias jaga image a.k.a pencitraan. Tapi sweaaar, sama sekali tidak ada niat untuk jaim. Hanya sekedar rasa sungkan merepotkan orang lain.

Sebaliknya, saya juga tidak suka bertanya-tanya bila ada orang yang sedang bermasalah. Kalau dia bersedia berbagi cerita, saya siap mendengarkan. Tapi kalau belum, itu hak dia. Saya menghormati pilihannya. Resikonya, sering dituduh tidak perhatian, tidak setia kawan dan lain-lain. I don't care. Allah yang tahu isi hati saya.

Sekarang sudah tahu kan bedanya kepo dan care? Nah, anda termasuk yang mana?


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Mencari Sekolah Ideal

Sebentar lagi tahun ajaran baru dimulai. Sudah dapat calon sekolah idaman belum? Saya masih pusing nih, mencari sekolah untuk Zi yang mau masuk SMP dan Za yang mau masuk TK A. Sebenarnya kalau berdasarkan plan, calon sekolah idaman mereka sudah dapat sejak tahun lalu. Tapi karena anaknya berubah pikiran dan ada situasi yang berubah, rencana yang sudah dibuat pun berantakan.

Seperti biasa ada beberapa kriteria yang menjadi standar dalam pemilihan sekolah 3pzh. Mungkin ada yang berbeda dengan standar kami beberapa tahun lalu dengan yang sekarang. Ini dikarenakan situasi dan kondisi yang juga sudah berubah. Kriterianya sekarang adalah:
1. Sekolah tersebut merupakan pilihan si anak,
2. Lingkungan sekolahnya aman. Khusus untuk TK, kami lebih suka yang berada di lingkungan perumahan bukan di pinggir jalan besar,
3. Jarak tempuh ke sekolah yang masuk akal,
4. Kurikulum yang tidak menekankan pada akademis dan disiplin semata, tapi juga pada perilaku anak,
5. Biaya sekolah yang sesuai dengan fasilitas dimiliki dan sesuai juga dengan kantong kami :D

Karena Zu sudah bersekolah di daerah Menteng, maka pilihan untuk sekolah Za dialihkan ke area yang sama. Setelah hunting, tersisa 3 pilihan. Masing-masing dengan kekurangan dan kelebihannya sendiri. Kesamaannya adalah ketiganya berada di kompleks perumahan.

Ada yang dekat sekolah si kakak, tapi jam belajarnya cukup memberatkan anak (dari 7.45-11.00). Satunya lagi sedikit jauh dari sekolah kakak, tapi sekolahnya sudah punya nama, dan jam belajarnya tidak memberatkan murid (cuma 2 jam). Pilihan terakhir, TK negri, letaknya bersebelahan dengan SD negri yang bagus, tapi jaraknya jauh dari sekolah si kakak maupun dari rumah. Dari 3 sekolah tersebut, sepertinya pilihan akan jatuh pada sekolah nomor 2, karena Za juga memilih itu.
Sementara Zi, yang tadinya ngotot mau boarding school, akhirnya berubah pikiran ingin bersekolah yang memiliki program akselerasi. Dia ingin menyelesaikan pendidikannya lebih cepat karena ingin segera kuliah dan bekerja.

Terus terang, kami menentang program akselerasi dulu sewaktu Zi SD. Guru-gurunya menyarankan, tapi kami menolak karena takut secara psikologis Zi tidak siap. Terbukti, sekarang pun perilaku Zi belum seperti teman-teman seusianya. Masih sangat kekanakan pola pikirnya. Ini hasil pengamatan kami, guru dan psikolog. Entah karena usianya yang lebih muda dari teman-temannya atau karena di rumah dia bermain dengan adik-adiknya yang usianya 5-7 tahun lebih muda.

Sedangkan untuk sekolah negri, Zi sama sekali tidak berminat. Katanya boleh saja di sekolah negri, tapi kalau tidak diterima di sekolah idamannya ini. Karena Zi sudah 11 tahun, sudah punya pemikiran sendiri. Selama dia merasa siap dengan segala konsekuensinya, kami sebagai orangtua akan mendukung keputusannya. Mengarahkan boleh, tapi tidak untuk memaksakan kehendak. Dengan adanya tes masuk di bulan Maret nanti, maka belum bisa dipastikan di SMP mana akhirnya Zi akan sekolah. Tergantung usaha Zi dan rezekinya saja.

Banyak yang mempertanyakan keputusan kami menyekolahkan anak tidak di satu sekolah yang sama, minimal berdekatan. Itu nantinya akan merepotkan kami sendiri yang tidak memakai jasa supir maupun ART untuk antar jemput. Betul, repot sudah pasti. Tapi bagi kami, selama anaknya suka dan nyaman dengan sekolahnya, tugas kami untuk mengusahakannya, baik soal antar jemput maupun pembiayaannya. Kan yang sekolah mereka bukan bunda atau ayahnya. Jadi mereka harus suka dulu dengan sekolahnya.

Semoga sekolah-sekolah pilihan 3pzh menjadi tempat yang nyaman untuk mereka menimba ilmu.


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Ikhlas = Tidak Hitung-hitungan

Ibadah yang dilakukan manusia semasa hidupnya, sebenarnya untuk apa? Apakah sebagai tanda ketaatan atau untuk tujuan tertentu seperti ingin kaya, naik pangkat atau yang lainnya?

Bagi yang beribadah karena Allah, semua yang dilakukannya dari shalat, berhijaab sampai sedekah dilakukan karena menjalankan perintah Allah. Bila Allah memerintahkan, maka kita wajib menjalankannya. No question asked. Juga tidak ada tawar-menawar.

Sedangkan bagi yang beribadah karena punya keinginan tertentu, mereka percaya bahwa sah-sah saja hitung-hitungan dengan Allah. Sedekah dan beramal karena ingin jadi kaya atau naik pangkat, kenapa tidak? Masa tidak boleh meminta sama Allah?

Berdoa kepada Allah, ya memang harus. Berdoa kepada siapa lagi dong kalau bukan kepada-Nya? Musryik kalau berdoa kepada selain Allah SWT.

Kapan mulai disebut hitung-hitungan? Saat kita melakukan sesuatu karena berharap sesuatu hal lainnya. Misalnya: bersedekah, lalu berdoa: "Ya Allah, saya sudah sedekah, berikanlah saya kekayaan." Atau "Ya Rabb, saya sudah rajin tahajud dan dhuha, berikanlah saya kenaikan pangkat." Iiissh, pamrih amat sih jadi orang?!

Memangnya Allah memberikan udara yang kita hirup setiap detik dan darah yang mengalir di tubuh kita ini pakai syarat? Tidak pastinya. Shalat dan amalan lainnya itu perintah-Nya, kewajiban yang harus dilaksanakan, bukan syarat. Kalau syarat, bagaimana dengan mereka yang tidak shalat? Apakah langsung dicabut nyawanya?

Bagaimana dengan beribadah hanya berharap ampunan-Nya, mencari ridho-Nya dan selamat dunia akhirat? Itu bukan hitung-hitungan. Itu hanya doa dan pengharapan kepada Allah. Masa tidak bisa membedakannya?

Sebenarnya gampang saja membedakan mana yang ikhlas dan mana yang pamrih (hitung-hitungan). Mereka yang beribadah karena Allah, apapun yang terjadi padanya menganggap itu sebagai bagian dari takdir. Sementara mereka yang pamrih, bila tidak mendapatkan keinginan (doa)-nya, akan timbul rasa kecewa.

Jadi masih mau hitung-hitungan nih? Ya, silakan. Beda kepala kan beda pemikiran ;)

Apakah saya sudah menjadi ahli ikhlas? Belum. Masih jauuuuh. Perlu banyak belajar. Begitu pula ilmu agama saya, masih cetek banget. Semoga suatu saat nanti, kita semua bisa menjadi orang yang ikhlas. Kita sama-sama mendoakan, ya?



Powered by Telkomsel BlackBerry®