Masuk Pesantren




Masuk pesantren adalah keputusan yang seharusnya saya ambil bertahun-tahun lalu saat masih SMP atau SMA. Sayangnya saya baru dapat merasakan damainya kehidupan di pesantren hanya beberapa bulan sebelum melanjutkan pendidikan S2. 

Di lingkungan pesantren saya merasa aman dan damai. Mungkin karena selama di pesantren jauh dari gadget, koran dan tv. Jadi tidak terpengaruh berita-berita dari luar lingkungan pesantren.

Pengalaman mengikuti sanlat selama bulan Ramadhan di sebuah ponpes di Bogor itu merupakan pengalaman yang sangat berkesan bagi saya. Disanalah saya meneguhkan hati untuk mulai berhijab.

Pengalaman saya selama nyantri inilah yang sering saya ceritakan ke 3pzh. Saya ingin sekali mereka mondok alias masuk pesantren. Tapi saya tidak mau memaksa. Keinginan itu harus datang dari diri mereka sendiri.

Selain berbagi pengalaman, 3pzh juga saya ikutkan sanlat (kecuali za, yang insya Allah tahun ini baru akan ikutan sanlat). Kalau liburan sekolah, zi dan zu sering ikut sanlat di Daruut Tauhiid, Bandung. Bahkan sepulang dari sanlat pertamanya (kelas 3 SD), zu memutuskan berhijab.

Dulu waktu zi mau masuk SMP pun saya sudah siap melepaskannya untuk mondok. Tapi sesaat sebelum pendaftaran zi mengurungkan niatnya karena ingin mengikuti kursus saham.

Walau masih kelas 6 SD, zi sangat meminati saham. Bahkan zi sempat ikut short course pengenalan saham di BEJ. Kata zi, kursus saham hanya ada di hari kerja. Jadi tidak mungkin bisa ikut kursus semacam itu kalau mondok. Karena santri hanya boleh pulang 2x setahun (saat Maulid dan Ramadhan-Syawal).

Tidak ingin memaksa, akhirnya saya turuti kemauannya. Zi kemudian masuk ke SMP umum di Rawamangun.

Tahun ini, zu masuk SMP. Kembali rencana mondok ini saya utarakan padanya. Alhamdulillah, seperti juga zi dulu, zu setuju untuk mondok.

Awalnya zu ingin mondoknya nanti kalau sudah SMA. Tapi karena pesantren tujuannya memakai kurikulum KMI (Kulliyatu-l-Mu'allimin Al-Islamiyah) bukan diknas, menurut saya akan berat bagi zu untuk mengejar ketinggalannya nanti. Apalagi kalau SMP-nya dari sekolah umum yang tidak diajarkan Bahasa Arab dan Imla.

Akhirnya zu setuju untuk mondok setelah kelulusan SD. Bahkan saking semangatnya, zu bilang mungkin kalau libur tidak akan pulang :D

Rencana zu mondok ini, tidak saya ceritakan ke keluarga besar. Bagaimana tidak, baru beberapa orang saja yang tahu, semuanya berkomentar negatif :(

Tega amat sih buang anak jauh-jauh? Gak kangen apa? Anak cewek loh din, nanti nyesel kalau dia jadi gak deket sama elo,  ibunya. Bla bla bla.

Jangan ragukan cinta saya buat 3pzh. Nyawa pun saya pertaruhkan untuk mereka. Tapi sebagai orangtua, saya dan ayahnya ingin anak-anak mendapatkan lingkungan yang baik dan mendalami ilmu agama.

Masuk pesantren akan membuat anak belajar mandiri selain belajar agama. Tidak masalah kalau saya harus menangis setiap hari merindukannya, tapi setidaknya saya tahu zu ada di lingkungan yang baik. Daripada menangis setiap hari karena kuatir dengan pergaulannya di luar rumah?

Kenapa pilih pesantren yang jauh di Ponorogo? Jawabannya adalah karena biaya di sana sesuai dengan kemampuan kami. 

Memang banyak pesantren di Jabodetabek yang bagus. Kami sudah survey ke beberapa tempat, rata-rata di atas Rp.15.000.000 untuk uang pangkal dan Rp.3.000.000 untuk uang bulanannya.

Apakah karena ponpes di Jabodetabek lebih komersil? Belum tentu juga. Biaya hidup di Jabodetabek dengan di Jawa Tengah kan beda jauh. Jadi wajar saja kalau biaya mondok juga lebih mahal di Jabodetabek.

Tidak terasa, sudah hampir sebulan zu mondok. Dalam 2x kesempatan menelpon, saya selalu tanyakan apakah dia senang disana. Alhamdulillah, zu selalu bilang dia betah di sana. Walau pelajarannya banyak dan capek karena banyak kegiatan, tapi teman-temannya seru-seru, katanya. Udara di Ponorogo yang sejuk juga menjadi salah satu alasan yang membuatnya betah.

Semoga zu dan teman-temannya, betah di pondok dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin yaa Rabbal'alamiin 👼