Pilih-Pilih Sekolah

Seorang teman menulis di status fb (facebook)-nya, 'aduuuhh, masukin anakku ke sekolah yang mana yaaa? yang swasta atau negeri?' Dari beberapa orang yang memberikan komentar, saya menyimpulkan dari sekitar 10-15 orang tersebut tidak satu pun yang mempertimbangkan pendapat si anak (yang mau disekolahkan) itu sendiri. Rata-rata membahas mengenai perbandingan mutu sekolahnya saja.
Dari pengalaman pribadi, 2 dari 3 anak saya sudah bersekolah, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan saya dan suami dalam menentukan ke mana anak-anak kami akan di sekolahkan. Beberapa faktor itu adalah mutu, lokasi, lingkungan, harga dan yang terpenting, pendapat si anak mengenai sekolah tersebut.
Mutu atau Kualitas
Faktor yang satu ini tentu sangat penting dipertimbangkan. Kita tentunya tidak mau menyekolahkan buah hati kita di tempat yang tidak baik mutunya. Sekolah adalah tempat mereka untuk belajar dan bersosialisasi. Membiarkan mereka berada di lingkungan yang memberikan pengaruh yang tidak baik akan berpengaruh pada kehidupan mereka seterusnya.
Sekolah yang bermutu baik, menurut kami bukanlah sekolah yang membebankan murid-muridnya pekerjaan rumah dan tugas-tugas yang seabrek-abrek. Melainkan yang mengajarkan kedisiplinan, norma-norma dan budi pekerti. Hal ini bisa diukur dari para guru dan staf yang ada di sekolah tersebut. Dari cara mereka menyapa, berbincang-bincang, sampai cara berpakaian. Soal apakah sekolah itu memiliki prestasi atau tidak, tentunya juga bisa menjadi tolak ukur dalam mengukur mutu akademisnya.
Lokasi
Lokasi sekolah juga harus menjadi bahan pertimbangan. Sekolah yang letaknya terlampau jauh dari rumah dapat mengakibatkan si anak harus berangkat pagi-pagi sekali ke sekolah. Sampai di sekolah, si anak sudah kecapekan atau malah masih mengantuk. Bayangkan, dalam keadaan mengantuk, si anak harus mandi dan siap-siap ke sekolah, lalu sarapan di mobil... duh, kok rasanya tidak tega ya melihatnya?
Karena kami tinggal di Tebet, jadi lokasi yang dicari ya harus di Tebet. Pancoran pun, tidak masuk dalam kategori. Soalnya sudah bukan Tebet. Jadi lokasinya harus dekat dan bebas macet (walaupun tetap padat merayap di jalan Tebet Raya, tapi mendingan lah...). Si abang biasanya dibangunkan jam 5 untuk shalat subuh. Setelah itu dia bisa sarapan sambil mengobrol dengan ayahnya. Coba kalau sekolahnya jauh... mana sempat mereka mengobrol seperti itu?
Lingkungan
Bila suatu sekolah sudah baik mutunya, dekat lokasinya.... tapi berada di dekat pasar, misalnya. Tentu saja sekolah seperti ini tidak menjadi pilihan kami. Berada dekat pasar, pabrik atau jalan besar, pastinya lingkungan sekolah menjadi tidak nyaman, bahkan cenderung berbahaya.
Sekolah sebaiknya berada di lingkungan perumahan. Lingkungan seperti ini biasanya bersih, tidak ramai dan aman saat kita menurunkan dan menaikkan anak dari/ke mobil saat mengantar dan menjemputnya.
Harga
Dalam mencari sekolah, kemampuan kantong juga harus dipertimbangkan. Kalau memang tidak mampu, jangan dipaksakan. Tetapi kalau mampu, dan memang kriteria sekolah tersebut sesuai dengan yang diinginkan, ya jangan sayang uang. Hari gini, mana ada sih, biaya pendidikan yang murah tapi kualitasnya bagus? Jadi, kalau bisa, biaya pendidikan itu direncanakan jauh-jauh hari. Kalau perlu, disiapkan sejak si kecil belum lahir.
Pendapat Anak
Sudah menjadi tradisi kami bila anak kami ingin masuk ke sekolah yang baru, biasanya selama beberapa minggu sebelumnya kami akan mengajaknya melewati 'calon sekolah'-nya tersebut, berkali-kali. Kalau ada beberapa alternatif, ya semuanya kami lewati beberapa kali sambil diberi penjelasan mengenai sekolah tersebut.
Kemudian, sebelum memutuskan sekolah yang mana yang akan dituju, kami akan menanyakan pendapatnya. Berdasarkan pengalaman kami, cara ini sangat cocok diterapkan ke anak-anak. Untuk yang pre-school, kunjungan sebelum mendaftar, memberikan kesempatan mereka untuk lebih mengenal sekolah tersebut. Jadi mereka lebih pe-de (percaya diri) saat masuk sekolah hari pertama.
Si kakak, di hari pertama sekolah cukup 10 menit saja ditemani bundanya di dalam kelas. Setelah itu, bundanya langsung 'diusir' deh... :) Lain dengan si abang yang malah sama sekali tidak mau ditemani bunda di hari pertamanya masuk sekolah.... mungkin laki-laki lebih pemberani, ya? Padahal sih, bundanya sudah siap-siap mau terharu tuh, berharap anak-anaknya minta ditemani.... ternyata.... hiks ;'(
Saat mau masuk SD (Sekolah Dasar), si abang memilih sendiri sekolahnya yang sekarang. Ada 5 sekolah yang menjadi pilihan waktu itu, 3 swasta dan 2 negeri. Alasannya memilih sekolah tersebut adalah karena tidak ada PR, dekat rumah dan bisa berlama-lama di sekolah (jam sekolahnya dari 7.30-14.30).
Terus terang, waktu tahu jumlah uang pangkal, SPP, dll. di sekolah itu, kami tidak langsung mengiyakan pilihannya. Kami berikan penjelasan pada si abang, bahwa sekolah pilihannya tersebut sekolah mahal. Saat itu, kami belum tahu darimana uang untuk membayarnya. Tapi kami katakan pada si abang, kalau dia sudah mantap memilih sekolah itu, kami akan usahakan. Ikuti saja semua tesnya, kalau memang rezekinya, insya Allah dia bisa sekolah di situ.
Ternyata, setelah ikut (kalau tidak salah) 2 kali tes dan trial class sebanyak 3 kali (anak yang lainnya cuma 2 kali), alhamdulillah, si abang di terima, bahkan salah satu dari yang terbaik. Karena merasa tidak mampu harus membayar sejumlah itu, kami pun mengajukan permohonan untuk mencicil. Alhamdulillah, disetujui oleh pihak yayasan. Alhamdulillah wa syukurillah, bersamaan dengan itu, hubby mendapat promosi di kantornya. Jadi semakin mantaplah kami memilih sekolah itu. Tapi kami selalu mengingatkan si abang, karena ini merupakan pilihannya sendiri, dia harus konsekuen. Bila suatu saat dia nilai-nilainya jelek, kami tidak segan-segan untuk memindahkannya ke sekolah lain. Cara ini kami harap dapat mengajarkannya untuk mengerti bahwa setiap keputusan atau perbuatan ada konsekuensinya.
Jadi, dalam memilih sekolah yang cocok bagi anak kita, sebaiknya orangtua tidak egois. Tanyakan pendapat mereka. Libatkan mereka dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan diri mereka. Ajak mereka berdiskusi. Jangan kaget kalau ternyata, anak anda lebih cerdas dari yang anda kira selama ini!

Manohara oh Manohara

Belakangan ini, berita tentang model cantik Manohara menghiasi hampir semua media. Pengakuannya sebagai korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang dilakukan oleh suaminya, Pangeran dari salah satu kerajaan di Malaysia, benar-benar dramatis. Sebagian ada yang mencibir Manohara dan ibunya karena hal ini dianggap sebagai sensasi murahan. Tapi dukungan yang datang juga tidak sedikit.
Sebagai orang yang pernah mengalami hubungan possesive agressive yang cenderung abusive seperti ini, saya dapat memakluminya. Terlepas dari benar atau tidaknya kasus Manohara tersebut, tetapi memang benar, umumnya korban KDRT tidak dipercaya pengakuannya. Hal ini dikarenakan pelaku KDRT biasanya dikenal sebagai orang yang 'normal' oleh orang-orang di sekitarnya.
Dulu waktu saya masih SMA, saya pernah menjalin hubungan dengan seseorang yang sifatnya seperti saya sebutkan di atas. Di sekolah, dia dikenal sebagai orang yang ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja. Tetapi belum ada sebulan pacaran, dia sudah berani menampar saya di hadapan beberapa teman. Anehnya, sehabis melakukannya, dia malah menangis minta maaf. Saya yang sudah terlanjur marah, waktu itu langsung memutuskan hubungan. Tapi dia tidak terima. Saya langsung lari masuk ke dalam rumah, sementara teman-teman saya menahannya di luar pagar, agar tidak bisa menyusul saya. Benar-benar seperti di sinetron! Karena dia yang terus menangis sambil teriak-teriak di luar rumah, akhirnya saya menemuinya. Setelah dia (tetap sambil menangis) minta maaf berulang-ulang dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi, akhirnya saya menerima dia kembali.
Saat itu, saya berpikir, dia hanya khilaf. Tapi ternyata, selama 8 tahun menjalin hubungan dengannya, sifat abusive-nya semakin menjadi-jadi. Salah satu bukti kegilaannya adalah dia pernah merobek-robek ijazah SMA-nya saat kami bertengkar hebat. Bodoh, pasti begitu anda mengganggap saya yang masih tetap mau mempertahankan hubungan itu selama 8 tahun. Tapi, seperti pada tulisan yang pernah saya posting sebelumnya, situasi dan kondisi saya saat itu membutuhkan seseorang untuk dijadikan pegangan. Perasaan tidak disayang dan diperdulikan oleh keluargalah yang membuat saya seperti itu. Jadi dia hanyalah orang yang salah di waktu yang tepat :'(
Ternyata, pasangan yang abusive tidak hanya merusak fisik, tapi juga mental. Dia membuat saya percaya, no one loves me like he did. Saya jadi sangat tergantung padanya. Apalagi sifatnya yang possesive agressive itu membuatnya ingin selalu mengawal saya ke mana pun saya pergi. Diperlakukan secara kasar terus-menerus, baik secara tindakan maupun ucapan, saat itu saya hanya berpikir, anything has a price. Mungkin inilah harga yang harus saya bayar untuk mendapatkan cinta dari seseorang. Kok nelangsa sekali ya, kedengarannya? Lha, bagaimana tidak? Terbiasa dibanding-bandingkan dengan saudara-saudara saya yang lain, membuat saya tumbuh menjadi anak yang minder.
Hubungan kami tidak disetujui oleh ibu saya. Tetapi semakin ditentang, justru saya semakin keukeuh untuk mempertahankannya. Walaupun setiap kali dia berbuat kasar pasti saya putuskan, tapi nantinya pasti saya terima lagi karena tidak tega melihatnya menangis menghiba-hiba minta maaf. Putus nyambung, putus nyambung... seperti lagunya BBB ;-P
Selesai kuliah, ibu cepat-cepat mengirim saya untuk melanjutkan kuliah lagi, dengan harapan agar saya putus dengan pacar saya itu. Singkat cerita, hubungan itu akhirnya kandas sesuai harapan ibu saya. Bukan karena long distance relationship, tapi karena dia melanggar janji yang dibuatnya sendiri sebelum saya berangkat. Waktu itu dia berjanji untuk tidak akan berbuat dan berkata kasar lagi. Berbulan-bulan dia berusaha menghubungi saya lewat surat maupun telpon. Tapi karena jarak yang sangat jauh, dengan mudah saya menghindar. Mungkin karena tidak langsung bertatap muka, saya tidak mudah jatuh kasihan padanya. Apalagi saat itu, teman yang menjadi tempat curhat saya disana, berhasil meyakinkan saya bahwa he's not worth it! Kalau masih pacaran saja sudah berani memukul, apalagi kalau sudah menikah?
Sampai sekarang, (entah bagaimana dan darimana dia tahu nomor hp saya) dia masih sering mengirimkan sms ke saya. Saat ulang tahun, lebaran, tahun baru, Ramadhan, bahkan 1 Muharram! Padahal, kami sudah sama-sama menikah dan memiliki anak. Tidak satu pun sms-nya yang saya balas, sejak saya tahu itu darinya (awalnya dia tidak penuliskan nama pengirimnya). Terus terang, pengalaman saya bersama dia selama 8 tahun itu meninggalkan trauma mendalam. Benar-benar bikin parno (paranoia)!
Dari pengalaman saya ini, pelajaran moral yang dapat dipetik adalah: pertama, bagi ibu-ibu yang memiliki anak perempuan, jagalah hubungan ibu-anak itu dengan baik, agar si anak selalu merasa keluargalah tempat yang paling aman dan nyaman baginya. Dengan begitu si anak tidak mencarinya ke tempat lain.
Kedua, bagi yang sedang memiliki pasangan yang abusive, jangan berharap terlalu banyak. Karena kemungkinan dia untuk mengulangi kekasarannya, sangat besar. Kalau pasangan anda tidak berubah dalam jangka waktu yang sudah anda tentukan sendiri, sebaiknya tinggalkan saja. He/she doesn't deserve you!
Yang terakhir, kalau ada orang di sekitar anda yang mengalami KDRT, yang terpenting adalah untuk tidak menghakiminya. Jadilah teman yang baik baginya, yang mau mendengarkan segala keluh kesahnya, hingga pada akhirnya teman anda itu cukup punya kekuatan untuk meninggalkan pasangannya yang abusive itu.

C E R A I

Beberapa tahun yang lalu, seorang teman saya curhat tentang masalah dalam perkawinannya. Katanya, dia ingin bercerai. tentu saja saya kaget mendengarnya. Dia belum ada 10 tahun menikah. Anak pun baru satu orang. Selama ini, mereka terlihat sebagai pasangan yang serasi. Teman saya itu cantik dan ramah. Sedangkan suaminya, saya tidak terlalu mengenalnya, orangnya ganteng dan sedikit pendiam.
Dia bilang, dia sudah tidak tahan lagi dengan sikap sang suami, sebut saja B, yang kurang membelanya di depan keluarga besarnya. Pernikahan mereka memang kurang disetujui oleh pihak lelaki, karena alasan bukan dari suku yang sama (hare gene.... masih ada saja yang mempermasalahkan suku?!). Jadi walaupun mereka telah menikah, keluarga besar dari pihak lelaki tetap menjodoh-jodohkan si B dengan wanita-wanita dari sukunya.
Saya sudah tidak kuat.... keluh teman saya itu. Terus terang, saya bingung harus bilang apa. Saya tidak ingin mendorongnya untuk bercerai atau pun tidak bercerai. Dia yang mengalaminya, bukan saya. Pasti dia yang lebih tahu, mana yang terbaik baginya. Saya hanya bisa membagi pengalaman saya pribadi. Pengalaman sebagai anak dari orangtua yang bercerai.
Saya masih berusia 5 tahun waktu orangtua saya bercerai. Tidak ada yang mengajak saya berbicara mengenai hal ini. Mungkin semuanya menganggap saya hanyalah anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Tetapi dampaknya, saya rasakan hingga saat ini.
Sewaktu kecil, saya tidak berhenti menyalahkan diri sendiri atas kepergian ayah saya. Saya selalu bertanya-tanya dalam hati, kesalahan apa yang sudah saya lakukan sehingga ayah saya pergi? Saat remaja, kesalahan itu saya limpahkan pada ibu saya. Saya pun menjadi pembangkang. Hubungan saya dengan ibu tidak pernah akur.
Rasa kehilangan itu kemudian perlahan mulai tergantikan dengan sosok pria yang saat itu menjadi teman dekat saya. Dengannya, saya merasa berharga dan yakin tidak akan ditinggal lagi. Bahkan perlakuannya yang possesive agressive terhadap saya, yang kemudian meningkat menjadi abusive pun saya tolerir (untuk cerita yang lebih rinci, tunggu posting-an saya berikutnya :D ). Semua itu bukan atas nama cinta. Tapi semata karena (bodohnya) saya merasa, tidak ada seorang pun di dunia ini yang akan mencintai saya, seperti dia. Buktinya, ayah kandung saya saja meninggalkan saya.
Perceraian, kadang-kadang memang membawa kebaikan bagi kedua belah pihak. Tapi mungkin, si anak perlu diajak bicara. Mungkin kalau dulu saya diajak bicara mengenai hal ini oleh kedua orangtua saya, saya tidak akan menghabiskan masa kecil dengan menyalahkan diri terus-menerus. Mungkin juga saya tidak akan melimpahkan semua kemarahan pada ibu saya. Entahlah. Yang jelas, sampai saat ini, bila saya sedang memikirkannya, rasanya seperti ada lubang besar di dada ini. Rasanya kosong. Hampa.
Akhirnya, saran yang dapat saya sampaikan ke teman saya itu adalah, bila ingin bercerai, lakukan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, tanyakan pada diri sendiri, apakah sudah tidak ada jalan keluar? Apakah ini jalan yang terbaik bagi semua, termasuk anak? Kedua, bila memang tetap akan bercerai, ajak pasangan untuk berbicara dengan anak, secara bersama-sama. Anak harus diyakinkan bahwa bukan dia penyebab perceraian ini. Dan walaupun orangtuanya hidup berpisah, bukan berarti orangtua tidak sayang lagi padanya.
Ketiga, setelah perceraian terjadi, binalah hubungan baik dengan mantan. Jangan membuat anak merasa harus memilih salah satu dari orangtuanya. Ini dapat membuatnya bingung. Apalagi kalau kedua orangtuanya saling menjelekkan. Kalau perceraian tidak jadi ditempuh (ini yang saya harapkan), kedua belah pihak harus sama-sama committed untuk saling memaafkan dan memulai lembaran baru bersama.
Kesimpulannya, terjadi/tidaknya suatu perceraian, ada 3 hal penting yang harus dipertimbangkan, yaitu: anak, anak dan anak. Anak kan tidak minta dilahirkan. Kok setelah dilahirkan, mereka harus mengalami kesedihan-kesedihan yang ditimbulkan oleh orangtuanya?
Beberapa bulan kemudian, teman saya mengabarkan, bahwa dia tidak jadi bercerai. Katanya, setelah mendengar cerita saya, dia takut anak semata wayangnya akan tumbuh menjadi pembangkang seperti saya dulu :P. Alhamdulillah, suaminya pun mulai berubah, terutama setelah mereka tidak lagi tinggal di rumah mertuanya. Syukurlah.... cerita ini berakhir dengan happy ending. Semoga tidak ada lagi anak-anak yang mengalami cerita sedih seperti saya, ya?

Super Dad

Beberapa waktu lalu, ada pemilihan Super Dad yang diadakan oleh sebuah produk sabun khusus pria. Kriteria menjadi Super Dad adalah pria yang memiliki keseimbangan antara karir dan keluarga. Terus terang, saat membaca iklannya, saya langsung ingin mendaftarkan suami saya. Sayang, ternyata hari itu adalah hari terakhir pendaftaran, sedangkan saya belum sempat membeli produknya :(
Suami saya, Erwin, menurut saya loh.... sangat sesuai dengan kriteria Super Dad. Dia memiliki keseimbangan dalam dua hal tadi. Selain menjadi karyawan di sebuah perusahaan BUMN, dia juga pengajar di beberapa institusi. Di rumah, dia juga banyak membantu saya dalam menyelesaikan pekerjaan rumah.
Kami tidak memiliki pembantu sejak saya mulai hamil anak kedua. Dengan 3 orang anak, semua pekerjaan rumah kami kerjakan bersama. Bahkan anak-anak pun sudah diberikan tanggung jawab untuk merapikan mainannya sendiri, plus merapikan kamarnya, kalau buat si abang.
Bagian saya adalah mencuci, menyetrika dan memasak. Untuk mencuci saya dibantu mesin cuci dan kami katering 3 hari dalam seminggu, untuk variasi menu. Sementara bagian hubby.... daily routines-nya mencakup membuat sarapan dan bekal ke sekolah, menyapu dan mengepel halaman, dan mengantar si abang ke sekolah. Menyapu dan mengepel seisi rumah dikerjakannya saat weekends atau sesempatnya. Sering terjadi, minggu ini lantai atas dulu yang dikerjakan, minggu depannya baru lantai bawah :D
Itu baru soal pekerjaan rumah. Untuk urusan anak, ayah yang satu ini sangat sabar dan telaten dalam mengurusi anak-anaknya. Dia adalah suami siaga di kala saya hamil dan breast-feeding father kala saya menyusui. Kalau cuma mengganti diaper dan memandikan sih, cuma hal kecil buat dia. Menyuapi dan mengajak main juga dilakoninya. Bahkan beberapa kali hubby mengajak si abang dan si kakak berenang di Eldorado, Cibubur, hanya bertiga saja. Dengan usia anak yang 7 dan 3 tahun, saya tidak yakin ada ayah lain yang sanggup melakukan hal yang sama. Kalau pun ada, pasti jarang sekali kan?
Sebagai istri, memiliki suami sebaik itu membuat saya jadi tahu diri. Tidak berani meminta macam-macam dan tidak mau membebani pikirannya dengan hal-hal yang tidak penting. Saya tidak pernah mengirim sms, apalagi menelponnya saat di jam kantor, kecuali ada hal yang penting untuk disampaikan. Biasanya sih, dia yang rajin sms atau telpon ke rumah. Kalau ada undangan reuni atau diajak main golf atau sekedar hang out dengan teman-temannya, biasanya alih-alih melarangnya pergi, saya justru yang jadi reminder-nya (dia tuh pelupa banget...). Tapi kebanyakan sih, dia menolak untuk datang dengan alasan mau istirahat di rumah sambil main dengan anak-anak. Sampai-sampai ada teman kantornya yang bilang dia kurang bergaul :)
Sebagai pasangan, dia bukan tipe pria romantis yang suka memberikan bunga atau mengucapkan I love you berulang kali. Tapi dia selalu membuat sendiri kartu-kartu ucapan untuk hari-hari penting seperti ultah atau anniversary. Biarpun tulisan tangannya acak-adul, tapi usahanya membuat kartu-kartu itu, sangat saya hargai. Lebih dari itu, saat tahu saya sedang sakit atau capek, dia pasti langsung menawari saya untuk di pijat. What can I complain?
Terkadang, jadwal mengajarnya di hari kerja setelah jam kerja kantor, dan baru sampai rumah diatas jam 9 malam. Biasanya, saya selalu mengusahakan rumah sudah rapi dan bersih kalau hubby pulang. Tapi ada kalanya, saat anak atau saya sendiri sedang sakit, ada saja yang belum sempat saya bereskan, seperti piring kotor bekas makan malam. Walaupun capek habis mengajar, tanpa diminta biasanya dia selalu mencuci piring-piring itu. Kalau dapur sudah bersih, kan besok enak bikin sarapannya tidak harus cuci piring dulu, begitu alasannya.
Apa ada suami sebaik ini? Pasti ada sebagian yang bertanya begitu. Ya ada, he's my hubby, alhamdulillah. Tentu saja manusia tidak ada yang sempurna. Dia juga punya kelemahan dan kekurangan. Tapi sebagai pasangannya, saya akan selalu mengingat kebaikannya dan berusaha mengerti kekurangannya. Buat saya, my hubby is a Super Dad!