C E R A I

Beberapa tahun yang lalu, seorang teman saya curhat tentang masalah dalam perkawinannya. Katanya, dia ingin bercerai. tentu saja saya kaget mendengarnya. Dia belum ada 10 tahun menikah. Anak pun baru satu orang. Selama ini, mereka terlihat sebagai pasangan yang serasi. Teman saya itu cantik dan ramah. Sedangkan suaminya, saya tidak terlalu mengenalnya, orangnya ganteng dan sedikit pendiam.
Dia bilang, dia sudah tidak tahan lagi dengan sikap sang suami, sebut saja B, yang kurang membelanya di depan keluarga besarnya. Pernikahan mereka memang kurang disetujui oleh pihak lelaki, karena alasan bukan dari suku yang sama (hare gene.... masih ada saja yang mempermasalahkan suku?!). Jadi walaupun mereka telah menikah, keluarga besar dari pihak lelaki tetap menjodoh-jodohkan si B dengan wanita-wanita dari sukunya.
Saya sudah tidak kuat.... keluh teman saya itu. Terus terang, saya bingung harus bilang apa. Saya tidak ingin mendorongnya untuk bercerai atau pun tidak bercerai. Dia yang mengalaminya, bukan saya. Pasti dia yang lebih tahu, mana yang terbaik baginya. Saya hanya bisa membagi pengalaman saya pribadi. Pengalaman sebagai anak dari orangtua yang bercerai.
Saya masih berusia 5 tahun waktu orangtua saya bercerai. Tidak ada yang mengajak saya berbicara mengenai hal ini. Mungkin semuanya menganggap saya hanyalah anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Tetapi dampaknya, saya rasakan hingga saat ini.
Sewaktu kecil, saya tidak berhenti menyalahkan diri sendiri atas kepergian ayah saya. Saya selalu bertanya-tanya dalam hati, kesalahan apa yang sudah saya lakukan sehingga ayah saya pergi? Saat remaja, kesalahan itu saya limpahkan pada ibu saya. Saya pun menjadi pembangkang. Hubungan saya dengan ibu tidak pernah akur.
Rasa kehilangan itu kemudian perlahan mulai tergantikan dengan sosok pria yang saat itu menjadi teman dekat saya. Dengannya, saya merasa berharga dan yakin tidak akan ditinggal lagi. Bahkan perlakuannya yang possesive agressive terhadap saya, yang kemudian meningkat menjadi abusive pun saya tolerir (untuk cerita yang lebih rinci, tunggu posting-an saya berikutnya :D ). Semua itu bukan atas nama cinta. Tapi semata karena (bodohnya) saya merasa, tidak ada seorang pun di dunia ini yang akan mencintai saya, seperti dia. Buktinya, ayah kandung saya saja meninggalkan saya.
Perceraian, kadang-kadang memang membawa kebaikan bagi kedua belah pihak. Tapi mungkin, si anak perlu diajak bicara. Mungkin kalau dulu saya diajak bicara mengenai hal ini oleh kedua orangtua saya, saya tidak akan menghabiskan masa kecil dengan menyalahkan diri terus-menerus. Mungkin juga saya tidak akan melimpahkan semua kemarahan pada ibu saya. Entahlah. Yang jelas, sampai saat ini, bila saya sedang memikirkannya, rasanya seperti ada lubang besar di dada ini. Rasanya kosong. Hampa.
Akhirnya, saran yang dapat saya sampaikan ke teman saya itu adalah, bila ingin bercerai, lakukan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, tanyakan pada diri sendiri, apakah sudah tidak ada jalan keluar? Apakah ini jalan yang terbaik bagi semua, termasuk anak? Kedua, bila memang tetap akan bercerai, ajak pasangan untuk berbicara dengan anak, secara bersama-sama. Anak harus diyakinkan bahwa bukan dia penyebab perceraian ini. Dan walaupun orangtuanya hidup berpisah, bukan berarti orangtua tidak sayang lagi padanya.
Ketiga, setelah perceraian terjadi, binalah hubungan baik dengan mantan. Jangan membuat anak merasa harus memilih salah satu dari orangtuanya. Ini dapat membuatnya bingung. Apalagi kalau kedua orangtuanya saling menjelekkan. Kalau perceraian tidak jadi ditempuh (ini yang saya harapkan), kedua belah pihak harus sama-sama committed untuk saling memaafkan dan memulai lembaran baru bersama.
Kesimpulannya, terjadi/tidaknya suatu perceraian, ada 3 hal penting yang harus dipertimbangkan, yaitu: anak, anak dan anak. Anak kan tidak minta dilahirkan. Kok setelah dilahirkan, mereka harus mengalami kesedihan-kesedihan yang ditimbulkan oleh orangtuanya?
Beberapa bulan kemudian, teman saya mengabarkan, bahwa dia tidak jadi bercerai. Katanya, setelah mendengar cerita saya, dia takut anak semata wayangnya akan tumbuh menjadi pembangkang seperti saya dulu :P. Alhamdulillah, suaminya pun mulai berubah, terutama setelah mereka tidak lagi tinggal di rumah mertuanya. Syukurlah.... cerita ini berakhir dengan happy ending. Semoga tidak ada lagi anak-anak yang mengalami cerita sedih seperti saya, ya?

4 comments:

Anonymous said...

Is that your true story?

Look forward to your next posting.

Anonymous said...

mba, ngga ada niat untuk kerja lagi? pastinya setelah Za besar.... sorry ngga match sama topiknya... kasian kan hubby kerja sendirian...

Idenya Dini said...

Alhamdulillah, keinginan menjadi full-time mother, mendapat dukungan dari suami. Kalaupun saya bekerja, pastinya bukan untuk mengejar materi karena dulu posisi dan gaji saya di kantor yg lama, alhamdulillah, tanpa bermaksud ria, lebih tinggi dari posisi dan gaji suami saat itu :) Terima kasih komennya :)

Idenya Dini said...

Btw, cerita di atas... ya true story.... not mine, but a friend of mine... just like I wrote.