Mencari Sekolah Berasrama (1)

Cepatnya waktu berlalu. Sekarang si abang sudah kelas IX. Sebentar lagi masuk SMA. Rasanya baru kemarin saya menemani zi ke pre-school di sebuah mal. Tau-tau sekarang sudah mau SMA. Ini artinya bundanya juga semakin tuwir... Huihihi.

Berbeda saat SD dan SMP, zi sekarang tidak lagi alergi dengan sekolah negeri. Dia bahkan sangat ingin masuk SMA negeri favorit dekat rumah. Katanya, supaya kesempatan masuk PTN lebih besar. Waaah, sudah punya rencana sendiri rupanya. Semoga cita-citanya tercapai ya, bang. Aamiin YRA.

Selain sekolah negeri, zi juga ingin di sekolah berasrama (boarding school) untuk Plan B-nya. Saya dan ayahnya memang sudah sepakat, SMA zi harus masuk boarding school kalau tidak jadi masuk SMA Negeri. Alhamdulillah, anaknya pun mau.

Kami melihat, sekolah berasrama insyaa Allah akan membawa banyak kebaikan bagi zi. Dia kan pendiam dan kurang bergaul. Kalau di sekolah berasrama, akan bersama teman-temannya hampir 24 jam sehari. Semoga akan membuat zi lebih luwes dalam bersosialisasi nantinya.

Selain itu, sekolah berasrama akan mengajarkan zi untuk disiplin dalam belajar dan kehidupan sehariannya. Karena disana ada aturan tertulis yang harus dipatuhi semua penghuninya. Dan ada guru yang membimbing dan mengawasi terus-menerus.

Kalau di rumah sih memang ada saya yang selalu mendampingi. Tetapi namanya anak, biasanya lebih patuh pada guru daripada sama orangtuanya sendiri. Belum lagi kalau di rumah ada adik-adiknya. Duo ceriwis itu sering mengganggu abangnya dengan cekikikan mereka yang tiada henti kalau sedang bercanda. Kata zi, sekolah dimana aja bun, yang penting jauh dari itu (menunjuk 2 adiknya) x_x

Tapi biasanya sekolah swasta sudah membuka pendaftaran dari bulan Desember. Sedangkan sekarang sudah bulan Maret. Sulit mencari sekolah yang masih menerima pendaftaran. Tanya-tanya om gugel, akhirnya ketemulah sebuah sekolah 'bernafaskan' Islam di daerah Bogor.

Sekolah mahal nih, pikir saya. Bayangkan, uang pangkal, buku dan seragam, SPP sebulan pertama serta uang kegiatan setahunnya saja lebih dari Rp.50juta. Langsung nyesek. Tapi gapapa deh, yang penting sekolah berasrama ini masih buka pendaftaran. Ayahnya langsung mengontak staf marketing sekolah tersebut melalui WA (WhatsApp).

Setelah membayar uang pendaftaran sebesar Rp.500ribu melalui bank transfer, barulah muncul hal-hal yang membuat saya merasa tidak sreg menyekolahkan zi disitu.

Pertama, soal peraturan berpakaian siswinya. Mungkin karena keburu senang ada sekolah berasrama yang masih menerima pendaftaran, kami luput memperhatikan hal ini. Tapi saat saya sedang browsing gambar-gambar siswa-siswinya.... Jreeeng! Sekolah tidak mewajibkan jilbab. Langsung lemes, deh.

Menurut kami, sekolah Islam ya artinya harus mewajibkan jilbab. Karena menutup aurat itu wajib hukumnya. Kalau kebijakan sekolah saja tidak menjalankan Islam yang kaffah, bagaimana nanti murid-muridnya bisa tahu mana yang wajib, sunnah, dan haram? Islam memang toleran, tapi bukan berarti boleh memilih mana yang wajib mana yang tidak, kan? Semua hal yang sudah diatur di Al Qur'an dan hadist harusnya tidak tebang pilih dalam pelaksanaannya.

Tapi, ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Tidak banyak, bahkan nyaris tidak ada pilihan saat ini. Akhirnya saya dan hubby memutuskan untuk meneruskan proses pendaftaran.

Lalu masalah kedua muncul, yaitu sikap staf marketing-nya yang tidak sopan. Hubby sudah menjelaskan saat ini sedang tidak berada di Indonesia, jadi untuk selanjutnya bisa menghubungi saya, istrinya.

Menjelang tes masuk, saya pun menghubungi staf tersebut melalui WA. Beberapa kali chat, ternyata pertanyaan saya terakhir tentang waktu tes diabaikan selama lebih dari 24 jam! Di 'read' tapi tidak di 'reply'. Setelah saya tanyakan ulang, barulah dijawab dan mengatakan, dia pikir tidak perlu menjawab WA saya karena dia sudah menjawabnya ke WA hubby. Bukan main.

Setau saya, etiket dalam berkorespondensi melalui media apapun adalah tidak mengabaikan pertanyaan orang dengan sengaja. Terutama bila komunikasi dilakukan melalui jalur pribadi, one to one. Apa dia tidak tahu tentang hal itu?

Staf marketing itu kan front liner (garis depan) sebuah perusahaan. Perilakunya adalah cerminan perusahaan yang diwakilkannya. Dan saya tidak sedang mendaftarkan anak kami di sekolah gratisan loh. Kok bisa-bisanya diabaikan seperti itu? Saya benar-benar tidak habis pikir.

Tapi lagi-lagi, saya berusaha memaklumi. Mungkin cuma 1 staf yang kelakuannya seperti ini. Mungkin staf pengajarnya nanti baik-baik dan lingkungan sekolahnya menyenangkan. Itu harapan kami sambil berusaha menekan kekecewaan demi kekecewaan yang ditemui sehubungan dengan sekolah ini.

Lalu tibalah saatnya tes masuk. Zi diminta datang hari Sabtu jam 9.00 - 13.00 WIB, karena hari itu mereka hanya masuk setengah hari kerja. Dari Jakarta jam 7-an, kami tiba di sekolah tersebut jam 8.30 tepat. Karena masih ada waktu setengah jam dari waktu yang dijanjikan, kami pun berkeliling lingkungan sekolah untuk melihat-lihat.

Kesan pertama adalah kotor. Ah, mungkin karena baru hujan jadi becek, hibur saya dalam hati. Melewati gedung SD, kami masuk terus ke dalam sampai di gedung SMP. Tidak seorang pun kami temui. Ada sih tulisan yang menerangkan kalau disitu terpasang cctv. Tapi... melihat lingkungannya yang agak kumuh itu, kok saya jadi ragu, beneran ada gak tuh cctv?

Di lapangan SD tadi ada beberapa siswa yang sedang mengikuti ekskul karate dengan orangtua mereka menunggui dipinggir lapangan. Tapi di gedung SMP, tidak ada seorang pun terlihat. Apakah OB (office boy) atau satpam, sama sekali tidak terlihat. Lah, kalau kami ini punya maksud tidak baik, bagaimana? Kok sepertinya pengawasannya kurang sekali?

Padahal di bagian depan ada gedung yang sedang dibangun. Artinya, ada kuli-kuli bangunan, yang merupakan orang luar bagi lingkungan sekolah. Kenapa terlihat kurang sekali pengawasan ya?

Dari awal kedatangan, saya hanya bertemu 2 satpam, 1 di pintu gerbang masuk dan 1 lagi di pintu gerbang keluar. Selain itu ada 1 OB yang sedang membersihkan Ruang Marketing.

Sekolah ini terletak di sebuah lahan yang cukup luas. Di bagian depan, ada pintu gerbang masuk dan keluar. Lalu ada Ruang Administrasi dan Ruang Marketing dekat pintu gerbang. Dipisahkan pelataran parkir yang bisa memuat sekitar 30-35 mobil, barulah kemudian terletak area sekolah. Jadi dari area SD sampai SMP, tidak terlihat ada satpam atau OB selain orang-orang yang berkegiatan ekskul tadi.

Lalu saya perhatikan gedungnya. Pintu kelasnya keropos, seperti pintu di sekolah negeri zu dulu. Dindingnya pun kotor. Cat-cat dinding, jendela dan pintu banyak yang mengelupas. Padahal kalau melihat foto-fotonya di web, sepertinya gedung baru yang bersih. Duh, kemana larinya uang pangkal yang Rp.40juta itu? Apakah hanya dipakai untuk membangun fasilitas baru tapi tidak untuk merawat yang sudah ada?

Jam masih menunjukkan pukul 8.40 saat kami kembali ke parkiran. Masih ada waktu 20 menit lagi. Saya putuskan membawa anak-anak sarapan bubur di depan gang masuk yang kami lewati tadi saat datang. Karena takut kesiangan, tadi kami hanya sempat sarapan agar-agar di mobil :D

Jam 9 pas, kami sudah di sekolah lagi. Kata satpamnya, staf marketing-nya belum datang. Kami akhirnya menunggu di dalam mobil. Saya mulai gelisah, kalau sampai ngaret, berarti semakin yakin saya untuk tidak jadi menyekolahkan zi disini.

Masalahnya, staf marketing yang sedang kami tunggu ini berbeda orangnya dengan yang melakukan komunikasi saat pendaftaran (yang mengabaikan chat saya di WA). Kalau orangnya sama, perilakunya sama mengecewakan, mungkin bisa dimaklumi. Tapi kalau 2 orang yang berbeda, masa dimaklumi juga?

Jam 9.35, saya dan zi turun dari mobil mendatangi satpam. Kami lalu diminta masuk ke ruangan administrasi dan disana ketemu dengan staf yang bertugas. Dia bilang, sudah menelpon staf marketing yang sekarang sedang dalam perjalanan. Lalu kami diminta menunggu di ruang sebelah, Ruang Marketing.

Jam 9.44 barulah si staf marketing itu datang dengan tergopoh-gopoh sambil meributkan anak-anaknya yang masih kecil memaksa ikut sehingga dia terlambat. Alasan macam apa itu? Kalau repot sama anak, ya gausah kerja dong. Di rumah aja jadi ibu yang baik. Anak kok dibawa ke kantor dan membuat orang menunggu 44 menit? Tidak profesional banget.

Saya kembali ke mobil setelah zi masuk ke ruangan untuk mengerjakan soal tes. Dan kami segera pergi dari situ setelah zi selesai dengan tesnya sejam kemudian. Sama sekali tidak berminat untuk bertanya lebih lanjut tentang sekolah itu. Saya sudah kehilangan selera.

Sekolah mahal, bahkan ada kelas Internasional dengan kurikulum Cambridge, kok mutu staf-nya seperti itu? Dua dari 3 staf-nya yang berhubungan dengan kami tidak profesional, gedungnya kotor dan kumuh, pengawasan kurang dan yang terpenting, tidak mewajibkan jilbab. Sekolah Islam yang sama sekali tidak Islami.

Well, saya jadikan ini sebagai pelajaran. Walau tidak banyak pilihan, bukan berarti kita harus kompromi dengan hal yang bertentangan dengan keyakinan kan? Dan pencarian sekolah berasrama untuk zi pun dilanjutkan.... (bersambung)

[Kuliner] Pedas Menggigit Ayam Goreng BBQ

Setiap kali melewati restoran fastfood ini, antrian depan kasirnya selalu panjang. Jadi penasaran. Apa sih istimewanya Richeese Factory ini?

Dengar-dengar, resto ini ngetop karena rasa ayam goreng berbumbu barbeque-nya yang pedas. Cek kehalalannya, no worry, sudah bersertifikat halal MUI. Amaaann.

Akhirnya suatu sore, mampirlah kami ke situ. Ngantri sejam lebih! Hadeeeeh. Apa karena pas wiken awal bulan ya?

Level kepedasan menu fire-nya 0 sampai 5. Yang tidak hobi pedas tapi suka rasa barbeque, mending level 0 deh. Sayangnya, yang Fire Tender (potongan dada dan paha ayam) sudah keburu habis. Jadinya cuma bisa pesan yang Fire Wings (sayap ayam).

Za yang tidak suka pedas, hanya memesan ayam goreng original. Saya yang penasaran, nyobain fire wing level 3 dan zu yang suka pedas pesan level 1. Sedangkan zi yang tidak suka pedas cuma berani level 0 saja :D

Ayamnya disajikan dengan saus keju yang lumayan banyak dan nasi yang porsinya sangat kecil. Gak sabar, saya sobek sedikit daging ayam goreng tepung yang dilumuri saus barbeque itu, dan..... jreeeeeeng......

Ternyata, saya menyesal memilih level 3, saudara-saudara! Pedesnya nampol bingits! Kepala gatal, hidung meler dan mata nyaris berair menghabiskannya. Duh, apa kabar yang level 5???

Saus kejunya sedikit membantu menghilangkan rasa pedas yang nyaris bikin kapok itu. Tapi karena saya bukan penikmat keju, agak aneh saja rasanya makan ayam goreng pakai saus keju.

Pesanan kami masih ditambah 4 nasi, 4 frutarian (teh rasa buah) dan 3 cheese cake untuk peredam rasa pedas, dengan total kerusakan sekitar Rp.135ribuan aja. Gak mahal kan?

Kalau tidak suka ayam bumbu barbeque ini, bisa memilih ayam goreng tepung seperti di fastfood fried chicken lain, nachos, kentang goreng atau pun burger. Lumayan banyak variasi menunya. Jadi dari anak-anak sampai dewasa bisa makan disini tanpa takut kepedasan.