Hidup Hemat a la Saya :D

Hidup hemat, ngirit, mengencangkan ikat pinggang.... atau apalah namanya, intinya cuma satu: tidak boros! Jangan disamakan hemat dengan pelit. Hemat itu masih bisa menikmati, sedangkan pelit itu sudah menyusahkan. Misalnya, makan di kaki lima itu lebih hemat kalau dibandingkan di kaki lima. Tapi, menahan makan walaupun perut lapar sedangkan dikantong ada uang, itu baru pelit!
Apakah sulit untuk hidup hemat? Sulit mungkin tidak. Tapi memang diperlukan komitmen yang kuat untuk berhasil menjalaninya. Dimulai dari hal-hal kecil, seperti biasakan berbelanja sayuran ke pasar daripada ke hypermart, misalnya. 
Disini saya ingin berbagi perngalaman hidup hemat yang saya jalani selama ini. Sejak kecil saya hidup hemat sudah menjadi my life style. Dulu tujuannya agar celengan ayam-ayaman saya dapat segera penuh. Tidak hanya menghemat uang jajan, saya dan abang saya pun menyewakan buku-buku cerita kami untuk mendapat uang ekstra. Celengan kami biasanya akan dipecahkan pada hari lebaran pertama. Jadi uang dari celengan tersebut ditambah dengan 'salam tempel' dapat dibelanjakan untuk barang-barang idaman yang lumayan mahal, seperti sepeda dan sepatu roda.
Uang saku diberikan orangtua secara mingguan. Walaupun  sangat sedikit (Rp.50,-/minggu waktu SD dan Rp.400,-/minggu waktu SMP), tetapi saya tetap bisa menabung. Berbeda dengan abang saya yang selalu meminjam uang saya, karena sering kehabisan uang sebelum waktunya :) 
Sewaktu saya SMP, orangtua dipindahtugaskan ke luar kota. Saya dan abang tetap tinggal di Jakarta ditemani pembantu, sementara orangtua pulang seminggu sekali. Mungkin karena melihat cara saya dalam mengelola uang saku inilah, orangtua kemudian mempercayakan saya untuk memegang uang belanja mingguan rumah tangga. Karena senang dengan angka dan membuat budget, semua pengeluaran saya buatkan catatannya dengan sangat rinci. Kebiasaan membuat catatan dan rencana keuangan ini masih saya teruskan sampaikan sekarang :D 
Sejak kelas 1 SMA, saya sudah tidak menerima uang saku lagi dari orangtua. Bukan karena mereka tidak mampu memberikannya, tetapi karena ada perbedaan pendapat antara saya dengan orangtua, teItalicrutama ibu. Ibu saya menginginkan anak-anaknya meminta kepadanya kalau mau uang saku. Sedangkan menurut saya, kalau memang mau memberi, ya tidak perlu diminta... (saya dan ibu kebetulan sangat stubborn, jadi ya tidak ada yang mau mengalah). Akhirnya, untuk tetap bisa jajan ataupun jalan-jalan dengan teman, saya berusaha mencari penghasilan dari mengikuti kuis-kuis di radio.
Alhamdulillah, sepertinya keberuntungan sering berada di pihak saya. Setiap minggu, minimal Rp. 25.000,- masuk kantong saya dari kuis-kuis tersebut. Karena bukan orang yang konsumtif, sebagian besar uangnya saya tabung di bank. SMA kelas 2, saya mulai menyimpan dalam US Dollar. Saat itu, kursnya masih 1US$=Rp.2.000-an kalau tidak salah. Tabungan dollar saya pun semakin banyak setelah kuliah saya mulai bekerja paruh waktu. Dari mulai bekerja sebagai guru les, SPG (Sales Promotion Girl) pameran, sampai menjadi usher di seminar-seminar pernah saya jalani. Ternyata, beberapa bulan sebelum saya menikah, uang hasil penjualan dollar inilah yang kemudian menjadi sebagian dari uang DP (down payment) untuk membeli rumah kami yang di Tangerang. Lumayan kan?
Terbiasa hidup hemat dan mencari uang saku sendiri, membuat saya lebih bisa menghargai uang, bila dibandingkan saudara-saudara saya lainnya. Saya lebih memilih berbelanja fashion di Pasar Baru daripada di mal-mal mahal. Dulu saat lebaran biasanya kami diberikan oleh orangtua uang untuk membeli baju baru. Dengan jumlah uang yang sama, adik saya hanya mendapatkan 1 celana jins dan rompi dari merek ternama, sedangkan saya bisa membeli beberapa baju dan kaos, 1 jins, 1 rok, 1 tas dan sepasang sepatu, tetapi bukan barang bermerek. Bagi saya, barang itu tidak harus mahal, yang penting nyaman dipakai. 
Tidak hanya saat membeli barang, saat membelanjakan uang untuk keperluan lainnya pun saya sangat hati-hati. Seperti saat  ke salon. Salon langganan saya masih sama dari jamannya saya kuliah dulu. Lha, buat apa ke salon mahal? Wong model rambut saya begitu-begitu saja dari dulu. Oval, Bob, atau Shaggy oval. Modelnya tidak rumit, rasanya semua hairstylist pasti bisa. Apalagi saya pakai jilbab, jadi ya tidak perlu aneh-aneh modelnya. Asal pendek dan rapih saja, sudah cukup kan? 
Tapi ternyata, tidak semua orang cocok dengan kebiasaan hemat saya ini. Saya pernah ditegur mertua gara-gara saya mengembalikan uang beserta rincian pengeluarannya. Uang itu diberikan beliau sebagai uang saku untuk perjalanan kami ke luar kota, mewakili beliau yang tidak bisa datang ke acara kawinan keponakannya. Kenapa tidak dihabiskan? tanya beliau. Sudah dipakai, tapi masih ada sisa, jawab saya. Beliau cuma geleng-geleng kepala.... :) Yah.... namanya juga kebiasaan, mau bagaimana lagi?
Bagi saya, hemat itu sudah mendarah daging :D Tapi kalau untuk kebutuhan primer, seperti susu, obat dan pendidikan buat anak, ya saya 'tutup mata' saja. Hal-hal semacam itu tidak bisa ditawar lagi. Merek susu boleh diganti dengan yang lebih murah, asal kandungan di dalamnya sama. Anak sakit, ya harus ke dokter kalau sudah lebih dari 2 hari. Masak dibawa ke dukun?! Soal pendidikan, sekolah mahal, kalau memang tidak ada yang lebih murah dengan mutu yang sama, mau bagaimana lagi? Lebih baik saya masukkan anak saya ke sekolah mahal bermutu bagus daripada ke sekolah murah tapi bermutu rendah. Betul tidak?
Anak-anak pun saya ajarkan cara menghargai uang. Salah satunya dengan tidak selalu memenuhi permintaan mereka membeli mainan. Jatah mereka membeli mainan dan buku adalah satu bulan sekali. Itu pun ada batasan harganya. Di luar itu, maaf saja, bukan maksud hati menjadi bunda yang kejam.... tapi saya ingin mengajarkan kepada mereka bahwa dalam hidup ini kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. 
Saya dan hubby selalu mengatakan 'nanti kalau ada rezekinya, ya...' setiap kali mereka meminta sesuatu. Jadi tidak langsung dikasih begitu mereka minta (seperti moto tukang jahit, dong... pagi pesan, sore selesai ;P ). Besok atau beberapa hari kemudian, barulah dipenuhi. Ini berlaku buat apa saja, seperti makan di restoran atau beli mainan dan buku.
Begitulah cara hidup hemat a la saya :) Di saat krisis ekonomi seperti sekarang ini, alhamdulillah saya tidak terlalu panik. Dijalani saja. Asalkan membuang jauh-jauh gengsi dan kebiasaan hidup konsumtif, insya  Allah tidak akan sulit kok, untuk mulai hidup hemat. Selamat mencoba!

No comments: