Pengalaman Saat Berhaji (1)

Sebentar lagi, umat Islam merayakan Iedul Adha, alias Ied Mubarak alias Hari Raya Kurban atau juga banyak yang menyebutnya dengan Hari Raya Haji. Sebutan yang terakhir ini mungkin karena hari raya ini erat kaitannya dengan ritual berhaji (lazim disebut "naik haji"). Rukun Islam yang kelima ini (pergi haji bila mampu), umumnya yang paling berat dilaksanakan umat Islam. Berat di sini, bisa karena merasa belum mampu secara finansial, anak-anak masih terlalu kecil untuk ditinggal, atau bahkan karena merasa belum mendapat 'panggilan' dari Allah (memang panggilan-Nya itu seperti apa sih?)
Walaupun badan sehat, uang ada, kesempatan ada, kalau belum dapat panggilan itu, belum bisa ke sana (katanyaaaaaaaa). Kalau menurut saya, mungkin kata yang tepat bukan panggilan, tapi rezeki. Rezeki kan bisa berupa sehat, harta bahkan kesempatan. Kalau badan sehat, uang ada, tapi terlambat mendaftar (sehingga kesempatan tidak ada), ya tetap saja tidak bisa berangkat berhaji.
Memang berhaji adalah rukun Islam kelima yang hanya diwajibkan bila kita mampu. Tetapi banyak juga yang menundanya karena merasa belum siap. Belum siap untuk berubah setelah pulang dari tanah suci, alasannya. Lha, bagaimana mau berubah, belum berangkat saja sudah takut untuk berubah?
Kebetulan, seorang teman wanita saya, usianya masih 31 tahun saat itu, telah melaksanakan ibadah ini. Karena penasaran, saya pun minta diceritakan pengalamannya berhaji. Ternyata seru juga. Dimulai dari sebelum mendaftar hingga pulang kembali ke tanah air, saya bagi dengan anda di sini, komplit, plit, plit! Semoga bermanfaat.
Cobaan Datang Silih Berganti
Kesempatan berhaji bagi teman saya itu datang ketika sang suami mendapat rezeki berupa sejumlah uang dari orangtuanya, untuk dibelikan rumah. Karena merasa sudah memiliki rumah pribadi walaupun hanya tipe RS7 (Rumah Sangat Sederhana Sampai-Sampai Selonjor Saja Susah), tapi dia dan suaminya tidak merasa perlu membeli rumah lagi. Setelah dipikirkan bersama-sama, mereka sepakat untuk menggunakan uang tersebut untuk berhaji. Mumpung masih muda, insya Allah badan masih kuat dan sehat untuk menjalankan ibadah yang katanya cukup berat ini, begitu pikir mereka.
Setelah dihitung-hitung, ternyata uang tersebut masih banyak lebihnya jika dipakai untuk berhaji berdua. Terutama bila mereka tidak mengambil paket ONH plus. Kalau mengikuti yang reguler (40 hari), uangnya masih cukup untuk mengajak 2 orang lagi. Setelah berunding, mereka memutuskan untuk mengajak ibu mereka masing-masing. Bila karena sesuatu hal yang diajak tidak bisa ikut, maka diputuskan untuk dialihkan kesempatan ini ke urutan sebagai berikut: ibu, ayah, saudara laki-laki, tante yang tidak berkeluarga/janda, dan paman. Asalkan, masing-masing 1 orang dari pihak istri dan pihak suami. Biar adil, katanya. Setelah ditanya ke keluarga masing-masing, akhirnya yang ikut adalah ibu dari pihak suami dan tante dari pihak istri.
Tahap satu, sukses. Sekarang mendaftar. Saat itu, masih 11 bulan lagi pendaftaran untuk berhaji tahun depan, ditutup. Takut kecewa, mereka mewanti-wanti ibu dan tante agar tidak terlalu berharap. Karena belum tentu kebagian kuota. Alhamdulillah, tahap ini pun, sukses. Mereka berempat termasuk dalam daftar peserta haji tahun 2004.
Sekarang giliran yang akan ditinggalkan, yang harus dipersiapkan. Anak mereka saat itu masih satu, gadis kecil berusia 2,5 tahun. Mereka terbiasa tidak menggunakan pembantu di rumah, jadi si anak sangat dekat dengan ibunya. Tentu saja ini menimbulkan kekuatiran pada teman saya dan suaminya itu. Siapa yang akan mengasuh si kecil selama 40 hari itu? Bagaimana kalau dia sampai sakit karena jauh dari ibunya?
Maka direkrutlah seorang pengasuh. Saat itu, masih sekitar 11 bulan sebelum keberangkatan ke tanah suci. Rencananya, selama 11 bulan itulah si mbak akan di training oleh teman saya agar mengetahui kebiasaan-kebiasaan si kecil sehingga diharapkan dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi selama 40 hari itu.
Cobaan pertama, datang. Teman saya dan suaminya harus dirawat di rumah sakit selama seminggu karena demam berdarah. Sekamar pula! Dulu waktu saya di rumah sakit, saya cemas sekali memikirkan si kecil yang harus ditinggal seminggu di rumah neneknya (bersama si mbak tentunya), kata teman saya. Tapi sekarang setelah semuanya lewat, dia berpikir, mungkin ini cara Allah untuk menunjukkan kepada dia dan suami bahwa anak mereka akan baik-baik saja bila ditinggal ke tanah suci nanti. Terbukti selama seminggu itu si kecil tidak rewel mencari orangtuanya.
Cobaan kedua. Suaminya yang sebelumnya baik-baik saja, tiba-tiba kaki kirinya bengkak. Setelah ke dokter dan cek darah, ternyata terkena asam urat! Padahal usianya baru 30 tahun. Alhamdulillah, setelah diobati, berangsur-angsur kaki sang suami membaik.
Belum lama bisa menarik napas lega, cobaan ketiga pun datang. Setelah lebaran, si mbak yang sudah berjanji akan kembali, ternyata tidak bisa menepati janjinya karena suami dan anak-anaknya melarang. Panik. Itu yang dirasakan teman saya. Dia bahkan menelpon ke kampung si mbak itu berkali-kali, tapi tetap tidak ada hasilnya. Padahal nelponnya sudah sambil nangis bombay, lho! Tapi suami si mbak tetap pada pendiriannya.
Terus, bagaimana dengan si kecil? Siapa yang akhirnya akan mengasuhnya selama orangtuanya berhaji? Apakah masih ada cobaan-cobaan lainnya yang akan dialami suami istri itu sebelum dan selama berhaji?
Tahan rasa penasaran anda. Ikuti kisah teman saya itu di Pengalaman Saat Berhaji (2)........... :)

2 comments:

Anonymous said...

Dejavu. Kayaknya pernah denger cerita ini....Inspiratif.

Tapi masih penasaran nunggu lanjutan kisahnya. Sama ga ya?

Idenya Dini said...

Just wait and see :)