Pengalaman Saat Berhaji (2)

Masih penasaran dengan pengalaman teman saya itu? Silakan baca lanjutannya :)
Menjelang Keberangkatan
Akhirnya diputuskan untuk mengambil pembantu baru. Saat itu, H - 2 minggu.
Datanglah cobaan keempat, baru beberapa hari kerja, ternyata si mbak sakit. Dibawa ke dokter, baru diketahui dia menderita infeksi saluran kemih. Selama seminggu total, si mbak istirahat di tempat tidur sambil minum obat dari dokter, sementara teman saya mengurusnya. H -5 hari, si mbak yang sudah mulai baikan baru mulai di training (kembali) tentang kebiasaan-kebiasaan si kecil.
Merasa tidak mungkin maksimal dengan hasil training-nya, teman saya pun menyiapkan berbagai instruksi dan petunjuk yang dibuatnya di beberapa lembar kertas untuk ditempelkan di sekitar tempat tinggal si kecil nantinya. Rencananya si kecil akan dititipkan di rumah kakeknya. Walaupun sang nenek ikut dengan teman saya ke tanah suci, minimal si kecil berada di lingkungan yang familiar, kata teman saya.
Instruksi yang dibuatnya cukup detil. Dari instruksi pertolongan pertama, alamat dan nomor telpon dokter, nomor-nomor telpon penting lainnya, kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, sampai larangan-larangan yang harus dipatuhi (tidak boleh makan es, tidak boleh makan permen banyak-banyak, dan sebagainya). Sebagian ditempel di dinding kamar bersama foto-foto mereka bertiga (biar si kecil tidak lupa sama orangtuanya, alasan teman saya itu) dan sebagian lagi ditempel di dekat telpon dan di pintu kulkas!!
Persoalan si mbak, untuk sementara dapat ditangani.
Ternyata, maksud hati ingin mempermudah si mbak untuk mengingat semua instruksi darinya dengan menempelkannya di dinding, mendapat penolakan beberapa pihak. Alasannya, mengganggu pemandangan. Akhirnya, semua kertas itu terpaksa dihilangkan dari ruang tamu dan dapur, yang tersisa hanya di kamar tidur. Teman saya semakin kuatir meninggalkan anaknya. Tekanan darahnya saat itu sampai 120/90, jauh dari yang biasanya 90/70.
Tiada hari tanpa nangis sejak si mbak yang dulu itu tidak kembali ke jakarta, kata teman saya. Setiap tidur dipandanginya wajah anaknya sambil meminta maaf karena akan meninggalkannya. Lucunya, si kecil tidak merasa sedih sama sekali. Dia masih tetap ceria seperti anak-anak pada umumnya.
Pada hari keberangkatan, saat di dalam bis yang akan mengangkutnya ke Asrama Haji Pondok Gede, teman saya sudah hampir membatalkan niatnya untuk berangkat kalau saja dia tidak melihat anaknya yang tetap ceria sambil melambaikan tangan berseru, "Da-da bunda.... da-da bunda..." Kata teman saya, yang saya takutkan bukan bagaimana anak saya saat saya pergi nanti. Tetapi kekuatiran akan kemungkinan anak saya bisa menjadi yatim piatu lah yang membuat saya berat meninggalkannya. Untuk itu, dia dan suaminya telah menyiapkan surat wasiat sebelum berangkat. Surat yang ditandatangani masing-masing 2 orang saksi dari keluarga kedua belah pihak.
Malamnya, ternyata Kakak iparnya berbaik hati membawa si kecil ke Asrama Haji saat membawakan obat mertuanya yang tertinggal. Anehnya, kali ini, teman saya sudah ikhlas meninggalkan si kecil. Tidak ada air mata lagi. Hanya doa yang dibisikkannya ke telinga anaknya, semoga Allah selalu melindunginya dan memberikannya yang terbaik.
====== (bersambung) =======

1 comment:

Anonymous said...

sesama bunda dari anak2 yg masih kecil, saya bisa ngebayangin dan ngerasain perasaan2 temennya itu...

berhaji adalah cita2 saya yg belum tercapai.... so ini bisa jadi masukan buat saya.