Ketika Anak Bicara Seks



Beberapa hari lalu di bbg sempat heboh. Semuanya berawal dari "girls talk" yang sampai ke telinga para orangtua. Pembicaraan diantara murid-murid perempuan yang bikin geger dunia persilatan itu topiknya seputar seks dan bahasa gaulnya.

Ada orangtua yang menyalahkan sekolah karena dianggap tidak mendidik anak jadi lebih baik, malahan merusak. Ada yang takut anaknya mendapat pengaruh buruk di sekolah. Tapi sebagian malah santai saja, karena memang maklum anak-anak umur segitu (kelas 5-6 SD) sudah waktunya untuk belajar tentang seks. Dan saya adalah salah satu orangtua yang santai itu :D

Umur pra-remaja (10-12 tahun) itu adalah masanya penuh keingintahuan, termasuk tentang seks. Jadi jangan kaget kalau anak bertanya, "Ma, **ent** itu apa sih?" atau "Kok kondom bisa melindungi kita dari HIV/AIDS?" Pertanyaan anak-anak itu mungkin bagi sebagian orangtua, tabu untuk ditanyakan. Risih kuping mendengarnya. Tapi kalau bukan kita, orangtuanya, yang menjawab pertanyaan itu, maka si anak akan mencari tahu ke tempat lain. Bisa teman, internet, atau media lain. Kalau nanti informasi yang di dapatnya benar, ya no prob. Tapi kalau salah?

Saya pernah membaca, sebagian besar remaja putri yang hamil diluar nikah pada usia belasan itu adalah mereka yang tidak tahu bahwa hubungan seks pertama kali itu bisa menyebabkan kehamilan. Jadi pendidikan seks itu penting bu-ibu! Jangan disepelekan. Beri anak-anak kita pendidikan seks yang mereka butuhkan agar nanti tidak terjerumus karena kurangnya pengetahuan.

Tapi saya malu ngebahas seks dengan anak. Risih mendengar istilah-istilah "ajaib" itu. Oh my god! Ini tahun 2012, jeung! Masa ngomongin seks saja risih? Lah, curhat tentang masalah ranjang di bbg kok gak risih?!

Anak saya tidak mungkin bicara dengan bahasa tidak sopan seperti itu. Pasti teman-temannya yang ngajarin! Kita tidak bisa melindungi anak selama 24/7 kan? Yang bisa kita lakukan adalah mempersiapkannya agar saat menghadapi situasi semacam itu, dia tidak ikut terbawa arus.

Dulu waktu SMA, teman dekat saya suka nyimeng (merokok ganja). Perempuan loh, jangan salah. Tapi saya sampai detik ini tidak pernah tergoda untuk mencobanya, alhamdulillah. Begitu juga saat kuliah, ada teman-teman wanita yang kalau kumpul jumat malam selalu minum-minum wine dan miras. Saya juga ogah tuh ikutan minum-minum, tapi saya tetap bergaul dengan mereka. Jauh dari pengawasan orangtua tidak membuat saya jadi liar, karena saya sudah menyadari dampak negatifnya kalau saya melakukan itu.

Menurut saya sih, seburuk apapun lingkungan disekitarnya, anak tidak akan mudah terpengaruh bila memiliki landasan yang kuat. Jangan sampai anak tidak melakukannya hanya karena takut sama orangtua atau pun Tuhan. Orangtua mah gampang dibohongin, dan dosa toh gak berjendol kan? Berbeda bila anak bisa menyadari dampak atau konsekuensi dari perbuatan mereka. Misalnya, mengkonsumsi alkohol dapat mengurangi tingkat kesadaran (mabuk). Orang mabuk tidak akan sadar kalau sedang melakukan kesalahan atau diapa-apain orang. Ceritakan kasus tugu tani yang memakan korban 9 nyawa atau kasus pemerkosaan akibat pengaruh alkohol. Bukti-bukti dan kasus yang nyata terjadi akan lebih mudah diserap oleh nalar anak daripada sekedar kata "dosa".

Saya mengajarkan 3pzh tentang seks sejak mereka lahir. Diawali dengan menyebutkan alat kelamin mereka sesuai namanya: penis atau vagina. Maksudnya supaya mereka nantinya terbiasa mendengar kata-kata ini dan tidak menganggap alat kelamin itu sesuatu yang kotor. Diajarkan juga untuk menutup aurat, sambil bilang,"Nak, pakai bajunya ya, malu kan kalau auratnya keliatan". Umur 3-4tahunan, mulai tuh 3pzh nanya: "aurat itu apa? Kenapa harus ditutup? Kalau tidak ditutup kenapa?" Dosa itu apa? dll.

Sewaktu Zi umur 7 tahun, di dekat kasir supermarket dia melihat kotak kondom warna-warni bergambar buah. Pertanyaannya saat itu,"Itu vitamin ya?" Kelas 4 Zi sudah mulai bertanya,"Kondom itu untuk apa, Bun?" Saya jawab, "Untuk alat kontrasepsi, yang dipakai di penis." Pertanyaan berlanjut. "Kontrasepsi itu apa? Apa gak sakit penisnya ditutup karet ketat gitu?" Saya jawab lagi,"Kontrasepsi itu alat untuk mencegah kehamilan yang bisa dipakai perempuan dan laki-laki. Kondom itu untuk laki-laki. Kalau sakit, gak mungkin dijual kan, Bang?" Tidak puas, pertanyaan akan berlanjut lagi dengan: kenapa kehamilan dicegah? Kan anak itu anugrah?... dan masih banyak lagi pertanyaan berikutnya. Sikap saya tetap sama: menjawab dengan to the point, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan memakai istilah yang benar.

Banyak orangtua yang menyebutkan istilah-istilah seks dengan kata kiasan atau pengganti. Istilah yang tidak ilmiah seperti ti**t untuk penis, atau nunuk untuk payudara, yang ujung-ujungnya akan membuat orangtua dan anak sama-sama kebingungan. Ajarkan juga hal yang sama dengan pengasuhnya, bila anda bekerja. Karena pengasuh yang tidak mendukung pola didik orangtua justru akan "merusak" anak.

Ingat, anak itu kan ibarat kertas putih. Bagaimana dia nantinya, tergantung apa dan siapa yang menulisnya. Jadi jangan biarkan anak anda mendapat informasi seks dan lainnya dari sumber yang tidak dapat dipercaya. Selalu siapkan diri anda dan pasangan sebagai tempat anak bertanya, diskusi dan mendapat kenyamanan.





2 comments:

Anonymous said...

Pembelajaran sejak dini kepada anak jelas diperlukan.

Hari gini, ga bisa lagi kita menghindarkan anak2 dari pengaruh lingkungan. Jadi ya, solusi terbaiknya memberikan perisai terbaik buat mereka dan biarkan mereka yang menentukan sikapnya sendiri.

salut

ije said...

Nice sharing bun, aku pun sdh mendpt pertanyaan2 itu