[Sharing] Belajar RUM


Sebelum mulai cerita, saya mau menjelaskan dulu apa yang dimaksud dengan RUM atau Rational Use of Medicine. RUM pengertiannya bukan anti obat loh ya. Tapi menggunakan obat pada situasi, kondisi dan dosis yang tepat. Jadi bukan dikala sakit, menolak obat lalu beralih ke pengobatan alternatif. Sama sekali bukan. Untuk lebih jelasnya bisa jalan-jalan ke web-nya milis sehat dkk.

Yuuuk kita mulai ngedongengnya ;)

Sewaktu kecil, kata ibu, kalau sakit saya jarang diberi obat. Demam tinggi, dibawa ke dokter naik becak, eeeh baru sampai depan pagar rumah dokternya, panas saya sudah turun :D Sementara abang saya yang beda umurnya 11 bulan 2 minggu, selalu kena batpil (batuk pilek) bergantian atau bersamaan dengan saya (mungkin virusnya ping-pong) biasanya baru sembuh setelah minum obat dari dokter.

Sebagai single parent, dan juga karena kurang pengetahuan, ibu selalu gampang panik kalau anaknya sakit. Apalagi abang saya selalu kejang demam. Ditengah malam bila abang kejang, ibu akan menggedor pintu tetangga sambil berteriak minta tolong (kalau yang ini, masih lekat diingatan saya kejadiannya). Jadi harap maklum kalau anaknya sakit, pasti ibu segera membawanya berobat ke dokter (kecuali saya, tentunya).

Karena tidak terbiasa minum obat, sampai sekarang pun saya paling malas minum obat dan ke dokter. Alhamdulillah, belum pernah sakit parah sampai harus dirawat di rumah sakit, kecuali saat melahirkan :D

Sampai anak ketiga lahir pun, saya belum tahu apa itu RUM. Tidak punya akses ke internet, kurang gaul karena masih sibuk dengan keluarga dan baby baru, diperparah dengan dikelilingi oleh orang-orang non RUM yang super panik kalau melihat Zi sakit. Pokoknya masih jaman jahiliyah banget lah waktu itu :(

Ketiga anak saya terlahir dengan jaundice yang angka bilirubin-nya cukup tinggi dan semakin tinggi di anak ketiga. Zi bili-nya sampai 12. Saat akan periksa darah, saya nangis bombay di ruang tunggu lab sambil melukin Zi. Waktu itu ada seorang ibu yang menanyakan kenapa saya nangis. Kepadanya saya ceritakan tentang Zi yang harus dirawat inap bila bili-nya dianggap terlalu tinggi.

Ibu itu bilang, dulu waktu anak pertamanya lahir, dia pun mengalami hal yang sama. Awalnya dia merasa senang anaknya anteng, tidur terus. Tapi setelah kontrol ke dokter dan dibilang jaundice, akhirnya bayinya dibangunkan "paksa" tiap satu jam agar menyusu. Setelah beberapa hari, alhamdulillah bili-nya normal. Intinya, harus sering disusui dan dijemur, nasehatnya lagi. Merasa lega ada alternatif untuk Zi tidak dirawat, saya langsung bertekad akan mencoba tips yang diberikan ibu tadi sepulangnya dari RS.

Setelah membujuk dokter agar merelakan Zi dirawat di rumah, sampai di rumah pun saya mulai jadi "raja tega". Tiap sejam, Zi yang lagi nyenyak tidur saya bangunin dengan cara dikelitikin kakinya, diusap pakai wash lap mukanya supaya segar bahkan yang terekstrim pipinya saya usapin es batu x_x

Hasilnya? Saya kewalahan menyusui Zi. Sudah disusui sepanjang malam, PD kanan kiri sudah kosong, Zi nangis menjerit-jerit kelaparan. Dan dengan tololnya, saya pun menambahkan sufor karena takut ASI saya gak cukup :'( Waktu itu belum ngerti soal ASIP (ASI peras). Saya pikir, ASI yang diperas itu hanya untuk ibu yang bekerja. Setiap malam, Zi menyusu 10 botol ukuran 120ml plus ASI, barulah dia bisa tidur nyenyak sampai pagi. Walau ASI saya kemudian membanjir, tetapi setelah 10 bulan saya mulai melepaskan Zi dari ketergantungan ASI karena berencana ingin bekerja. Setelah Zi lepas ASI, saya malah urung bekerja karena Zi ngambek di sekolah setelah tahu saya kerja. Di tengah ruangan kelas Zi berbaring di lantai tidak mau melakukan apapun selama 45 menit sampai habis waktu pelajarannya :(

Itu baru cerita Zi. Cerita Zu lain lagi. Zu lahir dengan bili sampai 15. Tidak mau menyusu, kalau pun mau hanya sebentar. Hiks. ASI saya banyak sampai menetes-netes. Sama sekali tidak terpikir bahwa mungkin saja derasnya ASI saya lah yang tidak disukai Zu. Seharusnya saya peras dan suapin dengan sendok agar Zu tidak gampang tersedak. Lagi-lagi karena ketololan saya, akhirnya Zu pun menyerah pada sufor diusianya 4 bulan :'(

Sama seperti abang dan kakaknya, Za lahir jaundice, dengan bili sampai 17. Dokter tidak membolehkan Za di bawa pulang dari RS. Tapi saya keukeuh ingin membawa Za pulang bersama saya setelah perawatan persalinan selesai. Pemikiran saya saat itu sama sekali bukan karena sudah RUM. Tapi karena pertimbangan, kalau terburuk yang terjadi, saya ingin Za ada di pelukan saya bukannya terkapar sendirian di box-nya yang kecil di RS :'( Selain itu Zu masih 2 tahun. Tanpa pembantu, bila saya harus bolak-balik ke RS pasti jadwal makan-tidur dll-nya akan terganggu. Akhirnya Za berhasil dibawa pulang setelah hubby menandatangani surat pernyataan pulang paksa dari RS.

Za jaundice-nya bertahan sampai sebulan. Selama sebulan itu juga saya galaaauu setiap ada yang komen: "Kok bayinya kuning? Kok kecil banget ya? Gak apa-apa nih gak di rawat? Kuning itu bahaya loh, nanti nyesel!" Astaghfirullah... Rasanya hati ini teriris-iris setiap kali mendengar komen seperti itu :'( Saya takut sekali keputusan saya salah dan Za harus menanggung resikonya.

Untung saya tidak menuruti kata dokter yang bilang Za kuning karena ASI. Malah Za diresepkan vitamin padahal umurnya masih 1 bulan. Walau DSA-nya memaksa saya untuk menghentikan pemberian ASI dan beralih ke sufor, saya bertekad, kali ini saya harus berhasil memberikan ASI eksklusif minimal sampai 6 bulan. Alhamdulillah, 6 bulan terlewati dengan sukses walau saya harus tutup kuping setiap kali kontrol ke DSA.

Umur Za 1 tahunan, saya mulai menggunakan bb dengan semestinya, yaitu untuk mencari info bermanfaat daripada sekedar haha-hihi di bbg. Dimulai saat hubby di screening darahnya di RS Dharmais. Disana hubby menanyakan penyebab kanker anak pada suster yang mengambil darahnya. Kata suster itu, selain keturunan, gaya hidup dan polusi, pemberian obat-obatan over the counter alias obat yang dijual bebas akan membuat imunitas tubuh berkurang. Apalagi pemberian antibitiok yang tidak tepat.

Pulang dari Dharmais itulah, saya mulai googling mencari tahu dampak antibiotik. Lalu saya ketemu artikel "no puyer". Membaca semua artikel itu, rasanya ingin menjedut-jedutkan kepala ke dinding. Selama ini kalau 3pzh sakit, saya bawa ke DSA yang menurut saya waktu itu paling tidak gampang ngasih obat. DSA ini selalu memberikan 2 resep. Resep pertama bila 3 hari tidak menunjukkan tanda-tanda membaik, lanjutkan dengan resep kedua (ada antibiotiknya). Dan semua resepnya itu selalu terdapat puyer! Ya Allah, what have I done to my children? Saya sudah meracuni anak-anak saya selama ini :'(

Sejak itu saya berusaha sebisa mungkin menghindari antibiotik dan puyer. Semua stok obat termasuk paracetamol saya buang dari kulkas dan lemari penyimpanan. Kalau ada yang terkena common colds, saya cuma bikinkan minuman hangat dan perbanyak konsumsi cairan. Berat loh berjuang untuk RUM itu. Apalagi kalau lingkungan tidak mendukung. Harus siap tutup kuping dan stok sabar yang banyak.

Akhirnya saya tahu tentang milis sehat dan langsung join setelah menemukannya secara tidak sengaja di twitter. Disini saya merasa menemukan teman, keluarga, supporting group yang belum pernah saya temui sebelumnya. Walau hanya sebagai anggota pasif, tapi semua info penting selalu saya save di memopad. Begitu juga email-email berisi sharing para smart parents yang bisa menjadi obat galau di kala bimbang. Terima kasih bunda Wati, para dokter dan smart parents yang mau terus berbagi ilmu dan pengalaman untuk mencerdaskan orangtua cupu seperti saya, melalui milis sehat.

Sejak kenal milis sehat itulah saya sering berbagi info kesehatan ke teman-teman yang membutuhkan. Tetapi memang dalam berbagi kita harus ikhlas dan sabar, terutama bila ditolak, bahkan dituduh yang tidak-tidak. Saya menyesal karena anak-anak hampir menjadi korban dari ketidaktahuan saya. Semoga pengalaman dan info yang saya bagikan dapat membuat teman-teman saya belajar tanpa harus mengalaminya lebih dulu.
Ini cerita RUM-ku, apa ceritamu? :)


No comments: