J A I M

Are you on facebook? Hare gene gak fesbukan? Rasanya ketinggalan jaman sekali, begitu kira-kira pendapat sebagian dari kita. Situs-situs jejaring sosial semacam facebook dan twitter memang sedang menjadi trend belakangan ini. Dari sebuah majalah wanita yang saya baca, beberapa alasan mereka bergabung di situs-situs semacam itu adalah untuk mencari teman lama, memperluas networking dan promosi.
Lucunya, mungkin karena alasan seperti disebut di atas itulah makanya banyak orang yang menuliskan statusnya dengan sangat hati-hati sekali (baca: ja-im alias jaga image), bahkan tidak jarang kesannya seperti ingin dipuji. Mungkin di antara orang-orang di friends list-nya, ada yang ingin dibuatnya kagum, atau apalah, saya tidak mengerti. Mungkin ada bos-nya, koleganya atau bahkan, mantan?
Walaupun punya akun di Facebook, tapi saya jarang menulis status. Mengomentari status juga hanya kadang-kadang saja saya lakukan. Kalau misalnya statusnya sudah banyak yang mengomentari, saya memilih tidak memberi komentar. Tapi kalau statusnya menarik dan belum ada yang mengomentari, maka saya akan memberikan komentar.
Dari semua status, saya paling senang membaca status yang isinya tentang doa, inspiring words atau sensational questions. Kalau isinya tentang doa, paling tidak saya akan ikut mengamini. Inspiring words, bagus untuk direnungkan. Biasanya, saya memberi jempol (like symbol) untuk yang isinya benar-benar dapat mengispirasi. Sedangkan untuk status yang berupa sensational questions, seperti: 'enaknya rasa apa ya?'... 'diterusin atau jangan?'.... status semacam ini membuat saya rajin mengecek komentar orang-orang, walaupun saya jarang ikut memberi komentar.
Sebaliknya, paling malas membaca status orang-orang yang ja-im. Bagi saya pribadi, kalau status yang ditulis itu tentang aktifitas yang sedang dilakukan, narsis dengan memajang foto-foto diri dan keluarga, masih oke-oke saja. Tapi kalau status yang berisikan pengumuman sudah shalat atau berbuat suatu kebaikan, seperti sedekah? Wah, shalat atau sedekah kok laporan ke sejuta umat? Apa tidak takut menjadi riya? Kan bisa hilang nilainya?
Karena saya tidak mau tergoda untuk mengomentari status-status menyebalkan semacam itu, maka dengan terpaksa orang tersebut saya hide (sembunyikan) dari wall saya. Ini berlaku bagi siapa saja yang sudah berkali-kali menuliskan status, yang termasuk dalam kategori menyebalkan versi saya. Orang tersebut tetap ada di friends list saya, tetap bisa mengomentari status, foto ataupun link saya. Hanya saja, dia tidak akan bisa lagi muncul di wall saya. Cara ini menurut saya cukup efektif untuk menjauhi 'penyakit hati', seperti marah, iri, dan sebagainya.
Ada teman yang bilang, tidak buka fb bisa menghilangkan penyakit hati. Lha, kalau tidak buka fb, berarti ketinggalan berita teman-teman dong? Lalu bagaimana dengan mereka yang ingin memperluas jejaring? Apa bedanya dengan sebagian orang yang mengusulkan untuk mengharamkan facebook? Facebook, twitter dan semacamnya itu cuma tools. Yang salah, ya orangnya bukan alatnya. Contohnya pisau. Pisau itu kan alat untuk memudahkan kita memotong saat memasak, misalnya. Tapi bila seseorang membunuh dengan pisau, apa kemudian pisau harus diharamkan? Atau yang menuding fb sebagai sumber perselingkuhan. Kan tidak semua orang yang join fb itu selingkuh? Kalau saran saya sih, sumber masalahnya yang harus dihilangkan, bukan fb-nya. Anda setuju dengan pendapat saya?

No comments: