Perjalanan Panjang Menuju Pelaminan


Hari ini pernikahan adik perempuan saya. Dari jam 4 subuh saya sudah bangun. Setelah shalat, kemudian kami sekeluarga bersiap-siap berangkat ke rumah orangtua saya di Jakarta Pusat, tempat acara pernikahan akan diadakan.

Sesampainya di sana, tampak sudah mulai banyak orang. Rumah orangtua saya tampak indah sekali dengan dekorasi pelaminan adat Tapanuli Selatan. Saya jadi teringat peristiwa lebih dari 8 tahun lalu, tepatnya 28 September 2000. Hari pernikahan saya.

Waktu itu, sungguh, saya sama sekali tidak merasa deg-degan. Mungkin karena terlalu excited. Saya ingin hari itu cepat berlalu. Bagi mereka yang tahu bagaimana panjangnya proses menuju ke pelaminan di keluarga saya, pastilah bisa memaklumi perasaan saya ini.

Sewaktu pacar saya, yang sekarang jadi suami saya, 8 tahun lalu mengajak menikah, saya mengajukan 2 syarat. Pertama, hubungan kami harus mendapat restu dari orangtua kedua belah pihak. Kedua, harus dilaksanakan sesegera mungkin.

Syarat pertama saya ajukan karena saya sangat percaya bahwa ridha orangtua adalah juga ridha Allah SWT. Jadi saya memintanya untuk menceritakan tentang saya dan latar belakang keluarga saya dari A-Z kepada kedua orangtuanya, lalu meminta restu mereka. Bila mendapat lampu hijau, barulah kemudian menghadap orangtua saya.

Sedangkan syarat yang kedua, saya ajukan bukan karena ingin segera menikah. Justru saya yang saat itu berumur 27 tahun, baru ingin menikah di usia 30 tahun, karena ingin berkarir dulu. Terdengar egois? Sebenarnya tidak juga. Lulus dari S1, saya langsung melanjutkan studi saya ke jenjang S2. Saat itu, saya baru 8 bulan merasakan dunia kerja, setelah menyelesaikan studi saya dan pulang kembali ke Indonesia. Sedangkan prinsip saya dari dulu, bila suatu saat saya punya anak, saya ingin menjadi full-time mother. Jadi umur 30 adalah umur yang paling tepat untuk menikah, menurut saya. Dan karena ibu saya orangnya suka berubah pikiran alias plin-plan (sorry, mom....), maka saya minta bila sudah disetujui beliau, harus segera dilaksanakan, agar ada kepastian.

Ternyata, hubungan kami direstui orangtuanya. Sebaliknya, ibu saya tidak menyetujuinya. Ada 4 kali, Erwin, nama pacar saya itu, datang ke rumah untuk menemui orangtua saya. Tapi 2 kali datang, ibu saya tidak mau keluar kamar! Pada kedatangan yang ketiga, ibu saya tiba-tiba mau pergi. Ada urusan, katanya. Baru pada kedatangan yang ke 4 kalinya, ibu saya mau menemuinya. Itupun setelah lama, barulah beliau keluar kamar.

Singkat cerita, proses pernikahan saya dari perkenalan keluarga sampai ke akad nikah, hanya memakan waktu kurang dari 2 bulan. Tapi alhamdulillah, semuanya lancar. Bahkan gedung untuk resepsi yang kata orang harus melalui waiting list yang panjang, dengan mudah kami dapatkan. Sementara tanggal pernikahan yang diubah-ubah ibu saya (kan saya sudah bilang, ibu saya suka berubah pikiran) sebanyak 4 kali pun, tetap tidak menjadi halangan.

Tanggal 28 september 2000, terjadilah pernikahan itu. Paginya, diadakan acara akad dan adat di rumah orangtua saya. Lalu malamnya dilaksanakan resepsi pernikahan di gedung. Kata orang, saat itu menjelang persidangan Suharto, mantan Presiden RI. Tetapi alhamdulillah, jumlah tamu yang datang tetap banyak. Hal inilah yang semakin memperkuat keyakinan saya tentang pentingnya restu orangtua pada setiap langkah di kehidupan kita.

Melihat wajah adik yang tampak sangat berbahagia hari ini, saya sangat memaklumi dan mensyukurinya. Been there, done that. Setelah melalui proses yang panjang itu, pastilah hari yang berbahagia ini sangat dinanti-nantikannya. Sekarang ia telah memasuki tahap kehidupannya yang berikutnya. Pernikahan.

Bagi saya yang baru 8 tahunan menikah, tentulah belum banyak asam garam yang saya rasakan. Tetapi kalau boleh memberi saran, menurut saya pernikahan itu membutuhkan banyak cinta, pengertian dan toleransi. Tidak mungkin dua kepala yang berbeda, isinya selalu sama. Selama ketiga hal itu selalu ada, insya Allah semuanya dapat berjalan lancar. Tentunya bila restu orangtua telah kalian dapatkan.

Untuk Airin dan Aji, semoga pernikahan kalian barakallah. Amiin!

2 comments:

Unknown said...

amin, amin, amin. fotonya sudah kupakai jadi profile picture untuk Facebook. hehheheh.

semoga penantian yang panjang dan penuh cobaan itu jadi "reminder" saat kami melewati masalah2 dalam pernikahan ini, jadi gak gampang esmosi dan gegabah dalam bertindak.

Anonymous said...

Been there, done that....
sound so familiar

what a stunning true story