Mati Itu Pasti

Mati itu pasti. Semua manusia akan merasakannya. Manusia bukan makhluk abadi. Jadi jika sudah sampai batas umurnya, takkan ada yang bisa menolak kedatangan malaikat si penyabut nyawa. Pertanyaannya adalah, sudahkah kita siap bila saat itu tiba?

Seandainya, anda di vonis dokter mengidap penyakit mematikan dan diperkirakan umur anda hanya tinggal 2-3 tahun lagi. Apa yang akan anda lakukan? Kalau saya, panik? Pasti. Sedih? Tentu. Marah? Apalagi.

Pastilah panik, kalau saya meninggal sebentar lagi, 3pzh yang masih kecil-kecil itu siapa yang ngurus? Mereka terbiasa hidupnya bergantung hanya pada saya dan ayahnya. Pasti berat sekali beban yang harus ditanggung hubby membesarkan anak-anak sendirian.

Sedih, tentu. Siapa sih yang tidak sedih bila kesempatan hidupnya tinggal sebentar lagi? Tak banyak lagi waktu menikmati kebersamaan dengan orang-orang tersayang. Sepanjang usia, rasanya belum cukup saya melakukan hal-hal yang baik, belum sempurna ibadah yang dijalankan, dan masih banyak kekurangan dari diri ini. Akankah terang kubur saya nanti? Bisakah saya selamat dari siksa kubur? Terpilihkah saya sebagai penghuni surga?

Marah? Reaksi pertama saat mendengar kabar buruk, manusia, khususnya saya, selalu menyalahkan Allah dulu. Kenapa saya? Kenapa sekarang? Allah gak adil! Tanpa berusaha mengambil hikmah dari cobaan, saya pasti langsung menggugat Allah untuk keputusan-Nya ini.

Menurut saya sih, perasaan-perasaan semacam itu wajar dirasakan oleh manusia biasa, yang imannya masih sedikit dan ilmunya pun tidak seberapa. Manusia seperti saya contohnya. Yang terpenting, jangan biarkan perasaan itu berlarut-larut. Kalau orang bilang, selalu lihat sisi positifnya. Itu betul! Tapi apa sisi positif dari fakta bahwa kita tahu waktu hidup yang tinggal sebentar lagi?

Sisi positifnya, saya masih diberi waktu untuk melakukan sesuatu. Apa itu? Bisa dimulai dengan meminta maaf kepada keluarga, saudara, teman dan kenalan yang mungkin pernah saya sakiti hatinya, secara sengaja ataupun tidak. Kemudian memperbanyak amal ibadah. Selain itu, mempersiapkan orang-orang terdekat, seperti hubby dan anak-anak. Siap bila saya tidak ada, apa yang harus dilalukan untuk meneruskan hidup mereka.

Hal lain yang harus dilakukan adalah mengucapkan hal-hal yang seharusnya terucapkan, tapi selama ini terhalang waktu, jarak atau bahkan rasa enggan dan segan. Seperti pujian, pernyataan rasa cinta dan sayang, atau pun rasa terima kasih. Hal-hal yang sering dianggap sepele, tidak perlu dilakukan karena berharap orang yang bersangkutan sudah mengerti tanpa harus dinyatakan secara verbal.

Seandainya. Hanya berandai-andai. Bila itu benar terjadi, inilah hal-hal yang akan dan harus saya lakukan. Mungkin prakteknya nanti berbeda, saya tidak tahu. Tulisan ini akan saya jadikan sebagai pengingat, agar tidak menghabiskan sisa umur untuk menyesali nasib berlarut-larut. Karena mati itu pasti.

No comments: