Otak Dagang






Kalau jadi pedagang, harus punya otak dagang. Begitu kata seorang teman. "Otak dagang itu yang gimana, sih?" tanya saya oon. "Selalu melihat setiap kesempatan sebagai cara untuk mendapatkan uang lebih banyak lagi", jawabnya yakin. Saya pun manggut-manggut. Bukan berarti mengerti, tapi berusaha mencerna jawabannya.

Bila saya sudah bisa dikategorikan sebagai pedagang sejak mulai jualan LM (Logam Mulia) tahun lalu, apa berarti saya sudah punya otak dagang, ya? Hmmm *mikir*

Niat awalnya saya jualan hanya untuk menolong teman yang kesulitan mencari supplier LM untuk berinvestasi dan arisan. Atas dorongan teman-teman juga akhirnya saya mulai jualan. Itupun setelah yakin tidak akan mengganggu aktifitas saya sehari-hari sebagai IRT. Bonusnya, hasil jualan bisa dengan bebas saya pakai untuk hobi saya dibidang sosial.

Tapi saya selalu kebingungan kalau ada pelanggan yang meminta service diluar yang bisa saya sediakan, walaupun mereka bersedia membayar untuk itu. Misalnya jasa pengiriman. Selain menggunakan jasa kurir berasuransi, biasanya saya dengan suka rela mengantarkan pesanan free of charge bila memang saya ada urusan ke daerah tujuan atau bila dekat dengan rumah. Kadang bisa juga janjian ketemu di suatu tempat di waktu yang telah disepakati.

Kata teman saya, itu bisa dijadikan duit. Tetapin saja berapa tarifnya, bebankan ke pelanggan. Rrrrr... Kok hati kecil saya gak sreg ya? Haruskah semuanya dijadikan duit? Termasuk sebuah pertolongan kecil?

Mungkin saya memang gak punya otak dagang. Saya lebih senang menolong semampu saya daripada sedikit-sedikit menetapkan tarif. Ada kepuasan yang jauuuuh lebih besar saya rasakan saat saya bisa mempermudah hidup orang daripada saat saya menerima uang, walau itu hasil jerih payah saya sendiri.

Apa karena tujuan awalnya yang beda ya, makanya saya berbeda dengan teman saya itu yang selalu melihat dari sisi "nyari untung"? Dia jualan untuk menambah penghasilan keluarga, supaya bisa senang-senang (seperti belanja, hang out) tanpa mengganggu uang belanja jatah dari suaminya. Baginya, hal yang biasa saja kalau dia menyerobot bisnis temannya, yang penting bisa jadi cuan (uang). Sama biasanya dengan me-mark up budget pengeluaran yang diajukan ke suaminya.

Sebaliknya, saya dan hubby masih berpendapat, kepala keluarga lah yang berkewajiban mencari nafkah. Tidak ada yang salah dengan wanita yang bekerja. Tapi bagi kami, selama ini yang dihasilkan hubby, alhamdulillah kami sudah merasa cukup. Tidak berlebihan, tetapi tidak kekurangan juga.

Saya pernah bilang ke hubby, "Hon, if I go first, and you find some money has been transferred to some people you don't know, fyi: they're not my brondongs. Go check my phonebook and memopad, so you'll know who they are". Saya katakan ini karena jarang bilang secara spesifik kemana dan untuk apa uang yang dikirim. Hubby cuma senyam-senyum saja mendengarnya. Hampir 12 tahun menikah, membuat kami sudah cukup paham karakter masing-masing. Dia tahu banget, istrinya ini orangnya sangat emosional dan tidak tegaan. Jadi kemana perginya uang kami, tidak perlu dipertanyakan lagi.

Otak dagang, mungkin saya tidak akan pernah memilikinya kalau definisinya adalah mencari untung semata-mata. Mengutip twit seseorang di TL: "Kita baru bisa dibilang sukses bila sudah bisa memberi manfaat bagi orang disekitar kita."

Sudahkah saya memberi manfaat bagi orang lain? Saya sedang berusaha melakukannya. Doakan, ya?



1 comment:

Anonymous said...

Barakallah, sungguh iman seseorang teruji ketika ia memberi manfaat (positif) bagi orang lain, termasuk alam sekitarnya.

Rahmatan lil alamiin.