I Have A Dream

Saya punya mimpi. Tidak disebut cita-cita, karena masih belum berani melangkah untuk mewujudkannya. Masih mimpi. Mimpi setinggi langit.

Awalnya karena saya gemas dengan banyaknya orang yang mengeluhkan tanggal tua lewat status di fb, bb atau TL. Padahal, saya kenal orang-orangnya, dan tahu banget kalau orang-orang itu pengunjung tetap mal, klinik kecantikan, salon, spa bahkan online shop. Artinya, dari sisi pendapatan, mereka berkecukupan. Tapi, mereka tidak atau belum bisa mengelolanya dengan baik. Buktinya, tiap akhir bulan selalu merasa tersiksa dengan isi dompet dan rekening tabungan yang nyaris nol.

Maaf kalau tersinggung, tapi menurut saya, banyak istri yang hanya berperan sebatas PGS (Penikmat Gaji Suami). Suami menjatahkan istrinya sebagian dari penghasilannya tiap bulan untuk kebutuhan rumah tangga. Sisanya dipegang suami. Hal seperti inilah yang mendorong para istri cenderung tidak mau tahu, kemana sisa penghasilan itu. Pokoknya saat perlu uang untuk beli sesuatu diluar jatahnya, tinggal minta suami. Sebaliknya suami merasa heran, kenapa uang belanja yang dijatahkan tidak pernah ada sisanya?

Pernah gak sih terpikir, bagaimana kalau si kepala keluarga tiba-tiba mengalami musibah? Sakit atau bahkan meninggal. Apa yang terjadi dengan istri dan anak-anaknya? Tenaaaang, ada asuransi jiwa (asji) dan asuransi pendidikan (aspen), mungkin begitu jawab anda. Yakin tenang? Memang berapa UP (Uang Pertanggungan)-nya? Aspend-nya cukup untuk biaya sekolah anak sampai kuliah? #mendadakhening

Believe or not, beberapa teman saya bahkan tidak tahu apakah suaminya punya asji atau tidak. Beberapa malah tidak tahu apakah suaminya sudah menyiapkan dana pendidikan untuk anak-anak mereka, atau belum. Terus terang, hal ini membuat saya sedih sekaligus geregetan mendengarnya. Mereka yang memiliki pola keuangan tertutup seperti ini di keluarganya, umumnya cenderung memiliki sistem komunikasi tertutup juga :(
Kalau Freddy Pielor bilang, dalam suatu pernikahan itu harus mau buka-bukaan. Buka hati, buka dompet dan buka celana (maaf). Arti ringkasnya, tidak boleh ada yang ditutupi dalam pernikahan. Kalau suami belum mempercayakan penghasilannya untuk dikelola istrinya, jangan ngambek dong, Jeung. Coba intropeksi diri dulu. Anda sudah pantas belum diangkat jadi mentri keuangan keluarga? Punya ilmunya? Bisa disiplin dan tidak boros? Apakah anda impulsive buyer?

Nah, rasa gemas dan geregetan saya tadi yang membuat saya punya mimpi ini. Mimpi ingin mengedukasi para ibu rumah tangga agar mereka melek finansial. Jadi tidak sekedar sebagai PGS, tapi juga bisa dipercaya sebagai mentri keuangan keluarga. Bersama suami, bekerja sama mengelola keuangan keluarga sehingga bisa mengantarkan anak-anak mewujudkan cita-citanya dan menikmati masa pensiun dengan nyaman.

Doakan ya, mimpi ini suatu saat akan terwujud. Belum bisa dimulai sekarang. Saya masih harus mendahulukan prioritas utama dulu, suami dan anak-anak. Insya Allah 2 tahun lagi, langkah pertama untuk mewujudkan mimpi ini akan saya mulai. Masih ada 2 tahun untuk menabung mengumpulkan dananya. Wish me luck! :)



3 comments:

Anonymous said...

Setuju, pernikahan itu konsep dasarnya berbagi. Berbagi bahagia, duka dan mimpi juga. Ketidakterbukaan dengan pasangan hanya akan menimbulkan misscomm.

Saya doakan mimpinya dapat terwujud ya, mbak. Good luck!

Anonymous said...

Hehehe jadi malu... Aku UP juga gak tau apaan kalo mbak gak tulis kepanjangannya :D

Jadi pengen belajar ttg keuangan keluarga. Mulai darimana ya, mbak?

Semoga berhasil mewujudkan mimpinya ya, mbak. Nanti aku daftar jadi klien pertama ;)

Idenya Dini said...

Terima kasih ya untuk doa-doanya *peluk*

Bener banget, pernikahan itu konsepnya berbagi, mbak *catet*

Kalau ditanya mulai darimana... Bisa mulai dari browsing, baca buku, baca koran, tanya orang yang lebih ngerti... Banyak mbak starting point-nya... Asal ada kemauan, insya Allah akan selalu ada jalannya :)