Jangan Berhenti Berbuat Baik

Sebenarnya, ini adalah salah satu cerita yang enggan saya bagi. Mengingatnya, membuka luka lama yang bahkan belum sembuh sampai saat ini. Tapi saya ingin menceritakannya, agar dapat dijadikan pelajaran dan dipetik hikmahnya bagi pembaca blog @idenyadini.

Begini ceritanya....

Di hari-hari terakhir sebelum ibu saya pergi untuk selama-lamanya, beliau di rawat di ICU sebuah rumah sakit di Jakarta Utara. Karena Hb yang sangat rendah, beliau disarankan untuk transfusi apheresis.

Masih jelas di ingatan saya, Jumat malam 13 Februari 2015, dokter jaga meminta persetujuan saya dan adik perempuan saya untuk melakukan transfusi. Katanya, saat itu RS tidak ada stok, tapi bisa coba ditanyakan ke PMI.

Sebagai anggota @dondarSIAGA dari Komunitas Gerakan Berbagi, saya menawarkan diri untuk mencari donaturnya. Insyaa Allah, tidak akan sulit mencari pegiat yang bersedia untuk donor darah, karena komunitas kami memang biasa memenuhi permintaan donor darah dari pasien-pasien di Jakarta yang membutuhkan.

Setelah menghubungi Komunitas Gerakan Berbagi, akhirnya dapat donatur darah, @Mr_dian. Beliau ini sudah lebih dari 50x dondar apheresis loh. Subhanallah!

Kami pun janjian ketemu di PMI Kramat malam itu. Singkat cerita, akhirnya dondar pun selesai dilakukan. Terima kasih, Papa Dian. Barakallah.

Sampai jam 1-an dini hari, saya masih di PMI Kramat. Saya berpikir, untuk membawa sendiri kantung darahnya ke rumah sakit. Tapi kata petugasnya, "Ibu pulang saja. Selanjutnya ini urusan PMI dengan rumah sakit. Darahnya juga masih diproses dulu. Sekitar jam 6 nanti sudah bisa diserahterimakan."

Awalnya saya bersikeras untuk menunggui, tapi petugasnya tetap menyuruh saya pulang, karena percuma, kantung darah tidak akan diserahkan ke saya, tetapi harus ke petugas rumah sakit. Akhirnya saya pun pulang, saat jarum jam hampir menyentuh angka 2.

Paginya, jam 10 saya sudah di RS Fatmawati. Hari ini Gerakan Berbagi mengadakan acara rutin donor darah di UTDRS Fatmawati dan menghibur pasien anak prasejahtera. Usai acara, saya segera meluncur ke rumah sakit untuk menunggui ibu.

Sampai di rumah sakit, saya langsung lemas mendengar kantung darah yang tadi malam, belum juga sampai, apalagi ditansfusikan ke ibu saya :( Alasan dokter jaga, saat itu sedang tidak ada ambulans yang bisa digunakan untuk menjemputnya. Ambulans? Untuk sekantung darah? Apa tidak berlebihan?

Saat itu, sudah jam 14an. Artinya sudah 12 jam lebih sejak dondar selesai dilakukan di PMI Kramat. Kondisi ibu sudah sangat kritis. Hb-nya semakin rendah, sementara denyut nadinya pun semakin lemah. Hingga akhirnya sakratul maut menjemputnya, kantung darah itu tidak pernah sampai di rumah sakit.

Cobaan yang berat ini, membuat iman saya menipis. Saya sempat mempertanyakan ketetapan Allah ini. Kenapa saya tidak bisa menolong ibu sendiri, sementara saya berkali-kali bisa menolong orang lain yang bahkan tidak saya kenal? Maafin saya ya, Ma. I have failed you :'(

Saya sempat vakum tidak dondar untuk beberapa lama. Jangankan dondar, menelusuri lorong rumah sakit saja sudah cukup membuat saya menangis sesenggukan. Semuanya mengingatkan pada kegagalan saya menolong ibu sendiri.

Perlu waktu hampir setahun untuk saya menyadari: walau tidak mampu menyelamatkan ibu saya sendiri, tapi saya masih bisa menyelamatkan orang lain, bukankah itu suatu hal yang patut disyukuri? Bagaimanapun, sebagai manusia, selama masih hidup, kita harus bisa bermanfaat bagi orang lain.

Alhamdulillah, sekarang saya sudah aktif lagi dondar. Mari saling mendoakan, semoga kita selalu diberikan kemampuan untuk terus berbagi.

Jangan pernah berhenti berbuat baik, walau hidup mengecewakanmu. Teruslah berbuat baik dan membuat hidupmu jadi berarti.

No comments: