Belajar Bersabar

Seringkali kali kita emosi jiwa alias marah karena menghadapi suatu masalah. Padahal sebenarnya, masalahnya tidak terlalu besar kalau saja kita mau sedikit bersabar. Mencoba melihatnya dari sisi yang berbeda.

Saya termasuk orang yang spontan dalam artian kurang berpikir panjang bila melakukan sesuatu, termasuk dalam hal marah *tutupmuka* Karena sangat menyadari sifat ini tidak baik, maka belakangan saya lebih berusaha untuk bersabar. Susah? Pasteeee. Tapi saya tidak ingin 3pzh meniru sifat buruk bundanya.

Jadi saya melakukan beberapa cara untuk mencoba mengatasinya. Selain istighfar dan berwudhu, salah satu caranya adalah dengan menarik nafas beberapa kali sebelum bicara saat emosi sedang terpancing. Pernah saya baca di sebuah artikel, beberapa orang malah melakukannya dengan menghitung 1-10 sebelum mulai bicara. Alhamdulillah, walau belum bisa menjadi penyabar, minimal saya bisa terhindar dari masalah dengan menahan lidah saya saat sedang emosi.

Seperti waktu sampah di rumah kami menumpuk berhari-hari. Sudah seminggu ini sampah tidak diangkut tukang sampah langganan di lingkungan perumahan kami. Selain bau, sampahnya juga berulang kali diacak-acak kucing, sehingga jadi kerjaan tambahan bagi saya maupun hubby untuk menyapunya lagi dan lagi.

Saat di hari ke delapan akhirnya si tukang sampah datang, saya menarik nafas beberapa kali sebelum membuka pintu dan bertanya, 'Kok lama gak kelihatan, mas?' Dengan raut sedih, si mas nya menjawab, 'Anak saya sakit bu, di kampung. Maaf.'
Astaghfirullah. Untung saya belum meninggikan suara dan berhasil menekan emosi sebelumnya. Bayangkan kalau tadi saya marah-marah, bagaimana perasaan si mas itu yang sedang sedih tertimpa musibah, malah dapat omelan.

Kejadian lainnya saat saya baru pulang dari bepergian, sementara 3pzh ditinggal di rumah. Belum lagi sempat kelihatan mukanya, suara tangisan za yang melengking sudah terdengar dari dalam. Badan yang lelah, mendengar suara tangisan anak itu rasanya... Haduuuh kenapa lagi niiih?? Emosi pun mulai naik. Susah sekali menahan mulut agar tidak mulai merepet saat sedang lelah.

Masuk ke dalam rumah, terlihatlah za yang nangis sambil memandangi gelas yang pecah dekat kakinya. Lantai basah bercampur pecahan gelas. Si abang dan kakaknya segera mengambil sapu dan lap. Mereka sigap merapikan.

Seperti biasa, saya lebih memilih diam kalau mereka sudah berinisiatif membereskan. Masuk ke kamar, saya hidupkan AC dan duduk di tempat tidur. Menunggu penjelasan dari anak-anak sekalian mendinginkan badan dan kepala (biar tanduknya gak keluar!).

Benar saja, tidak lama za masuk ke kamar. Kepalanya menunduk, suaranya terdengar pelan bercampur isakan, 'Maaf ya bun, adek jatuhin gelas. Tadi adek mau ngambilin minum untuk bunda. Tapi adek lari, jadi jatuh'

Subhanallah. Anak balita ini, dengan caranya ingin menunjukkan perhatian pada bundanya, yang menurutnya pasti sedang capek. Untung saya tidak memarahinya tadi. Abang dan kakaknya juga hebat, berinisiatif merapikan pecahan kaca segera agar adiknya tidak terluka. Alhamdulillah ya Allah, sudah menitipkan anak-anak hebat ini pada kami.

Dari dua kejadian itu saya jadi mengerti, bahwa dengan menahan emosi, walau pun hanya beberapa menit, kita dapat terhindar dari menyakiti hati orang lain.

Agar bisa menjadi contoh yang baik bagi 3pzh, saya masih perlu banyak belajar. Diantaranya belajar menjaga lidah dari mengucapkan hal-hal yang menyakiti hati orang lain, dan belajar menjaga jempol saat mengetikkan kata-kata yang mungkin akan saya sesali dikemudian hari.

No comments: