Is She/He The One?

Menjelang bulan Ramadhan lagi, nih... Berarti banyak yang mau menikah. Bulan baik, alasannya. Biasanya, banyak di antara mereka yang mau menikah ini bertanya-tanya dalam hati, is she/he the one? Bener gak sih, dia-lah orang yang tepat dijadikan teman hidup untuk selamanya? Kira-kira begitu keragu-raguan yang sering ada dalam hati mereka yang ingin menikah. Memang tidak semua orang ragu-ragu. Beberapa orang malah sangat yakin dengan pilihannya sebelum memutuskan untuk menikah.
Kalau saya, sebelum memutuskan menikah, terus terang sangat tidak yakin. Terlahir sebagai produk 'broken home' membuat saya, bukannya takut... hanya tidak yakin, pernikahan itu bisa untuk selamanya. Tetapi karena menikah itu ibadah, ya dengan bismillah, saya memberanikan diri saja. Sebagai seorang muslim, saya sangat meyakini bahwa sedetik ke depan itu adalah ghaib, hanya Allah SWT yang tahu apa yang akan terjadi. Jadi untuk apa membuang waktu dalam kebimbangan?
Namun demikian, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk menikah. Diantaranya:
Habits (kebiasaan)
Kata orang, setelah menikah kita akan menemukan hal-hal mengejutkan dari pasangan kita. Seperti kebiasaan menaruh handuk basah di tempat tidur, meletakkan barang tidak pada tempatnya, sampai kebiasaan mengorok saat tidur :) Bagi mereka yang tidak siap, kadang-kadang kebiasaan ini bisa menjadi pemicu pertengkaran. Sebenarnya, wajar saja bila hal seperti ini baru ketahuan setelah menikah. Kecuali, bagi mereka yang sudah tinggal serumah sebelum menikah.
Bukannya sok pakar, tapi menurut saya, dalam mempertahankan suatu pernikahan itu dibutuhkan banyak cinta, pengertian dan kejujuran. Kalau sudah mencintai seseorang, pastinya kita harus bisa menerima segala kelebihan dan kekurangannya. Sementara kejujuran dan keterbukaan sejak awal akan membuat hubungan perkawinan menjadi lebih kuat. Pasti tidak mau kan, kalau pasangan kita ternyata memendam amarahnya dan suatu hari 'meledak' sehingga tidak ada lagi cinta yang tersisa untuk anda? Jadi kalau ada yang tidak sreg di hati, bicarakan saja. Jangan ditutupi sehingga perkawinan anda terlihat sempurna dari luar, tetapi nyatanya rusak di dalam.
Hobbies (kegiatan yang digemari)
Sebelum menikah, banyak yang termasuk anak gaul. Sering kumpul-kumpul dengan teman-teman, bahkan ada yang suka clubbing. Begitu menikah, mendadak harus diam di rumah, tidak boleh kemana-mana sama pasangan. Wah, apa menikah itu sama dengan dipenjara? Kasihan sekali mereka yang dibatasi oleh pasangannya seperti itu.
Saran saya sih, hal semacam ini harus dibicarakan dan dicari jalan keluarnya, SEBELUM menikah. Kalau yang satu suka dugem, yang satunya orang rumahan, ya dibagi saja waktunya. Dalam sebulan kan ada 4 kali weekends. Yang 2 kali untuk berdua (kalau belum punya anak, kalau sudah ya untuk keluarga inti), yang satu untuk keluarga besar, yang satu lagi untuk 'me time'. Cukup adil kan?
Relatives (saudara)
Katanya, menikahi seseorang berarti juga menikahi keluarganya. Artinya keluarganya menjadi keluarga anda juga. Tapi apakah itu juga berarti masalah bertambah? Bisa saja. Dari mertua, ipar, om, tante dan semua keluarganya berpotensi menjadi sumber masalah baru. Tetapi, karena mereka sudah menjadi keluarga anda, ya perlakukan mereka seperti anda memperlakukan keluarga anda sendiri.
Soal memberi, misalnya. Antara saya dan hubby ada perjanjian tidak tertulis, bila memberi (barang, uang atau apa pun) kepada keluarganya berarti saya yang harus memutuskan boleh/tidaknya, berapa nilainya, apa bentuknya, dsb. Sebaliknya, kalau untuk keluarga saya, hubby yang harus memutuskan. Dengan cara saling silang ini diharapkan, kami dapat berlaku adil dan kedua belah pihak saling tahu, tidak ada yang disembunyikan. Banyak loh, yang sembunyi-sembunyi saat memberi keluarganya, karena takut pasangannya marah.
Money management (pengaturan keuangan)
Siapa yang punya prinsip, your money is my money, my money is my money? Wah, berapa orang tuh, yang tunjuk tangan? :D Setelah berkeluarga, uang memang bisa menjadi masalah yang sensitif. Mungkin saat masih pacaran, pihak pria oke-oke saja menanggung semua biaya nonton, makan dan jalan-jalan. Tapi setelah menikah? Belum tentu!
Bagi keluarga dengan double income, ada beberapa cara dalam mengatur keuangan. Dengan membuka join account di bank, masing-masing bisa menyetor sejumlah dana untuk pengeluaran bersama termasuk saving, sedangkan sisa gaji dipegang sendiri-sendiri. Cara lainnya, suami memberikan 'jatah uang belanja' untuk dikelola istrinya, sisanya ditanggung istri yang juga punya penghasilan. Yang terakhir, percaya atau tidak, ada suami yang memegang seluruh gaji istrinya dengan alasan istrinya sangat boros, lalu sang istri hanya diberikan 'jatah bulanan' untuk keperluan yang telah disepakati.
Menurut saya, cara pertama yang paling masuk akal, sedangkan cara kedua dan ketiga kurang manusiawi. Dalam Islam, seorang istri TIDAK WAJIB membiayai suaminya. Tetapi kalau pendapatan suaminya dinilai kurang memadai lalu si istri ikhlas membantu suaminya dengan mencari penghasilan, itu DIPERBOLEHKAN.
Kalau di keluarga kami, berhubung saya tidak bekerja, ya kami bergantung pada penghasilan hubby sebagai seorang pegawai dan pengajar asuransi. Semua penghasilannya diserahkan ke saya untuk dikelola. Sebagai istri yang memang mantan accountant, saya rajin sekali membuat monthly/yearly financial planning sekaligus financial report-nya. Bukannya kurang kerjaan, tapi agar hubby juga tahu kemana saja hasil jerih payahnya saya salurkan. Sudah capek-capek kerja, kok tidak boleh tahu kemana uangnya? Kan kasihan.
Selain 4 hal di atas, sebenarnya masih banyak lagi hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk menikah. Tetapi jangan pernah berusaha mengubah pasangan anda menjadi orang seperti yang anda mau. Kalau sudah merasa saling cocok, saling cinta, ya sudah... luruskan niat, bismillah saja... semoga barakallah.... Jangan lupa undangannya! :)

No comments: