Like Mother, Like Daughter

Edisi Ramadhan kangen Mama. Lagi pengen cerita dan mengingat tentang ibu saya. Miss you, Ma 🥺💚

Kalian yang jadi ibu atau orangtua, pernah gak merasakan putus asa menghadapi kelakuan anak-anak kalian?

Sejujurnya, saya sering merasakannya 🙄 Dari Zi, Zu sampai Za selalu bikin sakit kepala dengan kelakuannya. Susah untuk menang debat dengan mereka. 

Dikasih tau sesuatu atau dilarang melakukan sesuatu, gak bisa langsung mengiyakan. Harus mendebat dulu. Kenapa harus begitu? Kenapa gak boleh? 

Pernah saya curhat ke ibu saya, tapi bukannya dapat pencerahan, malah jadi malu sendiri. Mau tau reaksinya?

Ketawa!

Iya, saya diketawain. 

Sebelum sempat saya protes, ibu saya malah bilang, "Rasain!" Lalu ketawa lagi.

"Dini gak ingat dulu waktu kecil gimana? Persiiiiss kayak gitu" ketawanya makin keras.

Memang sih, dari kecil saya selalu dikenal sebagai anak yang keras kepala. Ada banyak cerita masa kecil yang masih saya ingat karena sering diceritakan ibu saya.

Waktu umur belum ada 5 tahun, saya mau sok-sokan ikut sahur dan puasa. Suatu hari, saya tidak dibangunkan sahur. Alhasil paginya ngambek, nangis guling-guling di kolong meja makan. 

Sebenarnya dimulai dari lantai ruang makan, tapi karena lantainya sedang di sapu dan kursinya dinaikkan ke atas meja dan saya literally berguling-guling, akhirnya masuk lah ke kolong meja makan. Setiap kali kejedut ke kaki meja, nangisnya makin keras. Dan itu bisa berlangsung berjam-jam 🤦‍♀️

"Like mother, like daughter, Dini. Rasain!" Ketawanya kembali berderai.

Ya Allah, kangen banget dengar suara ketawa Mama 🥺🥺




FIRASAT

Pernah gak punya firasat yang kemudian terbukti benar-benar kejadian? Saya sering. Terutama kalau itu berhubungan dengan orang-orang terdekat.

Saya ini orang yang tidak suka merasa menyesal di kemudian hari. Jadi bila saya merasa harus menyampaikan sesuatu, apakah itu pertanyaan atau pernyataan, maka pasti akan saya sampaikan apa pun resikonya.

Beberapa bulan sebelum Mama meninggal, beliau ingin mengunjungi rumahnya yang di Medan. Tidak ada seorang pun menemani, padahal saat itu beliau sudah sakit.

Saya, walau tidak diharapkan menemani beliau, diam-diam sudah beli tiket pesawat begitu mendengar rencana beliau kesana, tentunya setelah ijin dengan paksu. Diijinkan paksu artinya saya bisa pergi ke Medan tanpa mengkuatirkan anak-anak karena ayahnya bisa cuti beberapa hari untuk menjaga mereka di rumah.

Seperti yang sudah diperkirakan, semua orang yang diminta beliau untuk menemani, sedang berhalangan dengan berbagai alasan. Setelah semua orang itu menolak, barulah Mama saya menelpon saya menanyakan apakah saya bisa (menemaninya di Medan).

Walau sebagai last option, saya tidak keberatan. Hal ini (menjadi last option) sudah biasa saya alami dengan ibu saya. Hati ini terlatih untuk bisa menerima perbedaan perlakuan sejak kecil.

Selama di Medan, saya menemani beliau mengunjungi keluarga (paman dan bibinya yang masih tinggal di kota itu), dan ziarah ke makam orangtuanya.

Sampai suatu malam saat mati lampu (Medan sering banget mati lampu, kadang sejam dua jam, kadang lebih), kami duduk di teras karena kepanasan (mati lampu kan AC tidak bisa dinyalakan).

Tiba-tiba saya merasa harus menanyakan sesuatu, pertanyaan yang selama ini saya belum menemukan saat yang pas untuk menanyakannya. Saya merasa inilah saatnya, sekarang atau tidak sama sekali, harus ditanyakan.

Saya bertanya, "Ma, kenapa saya selalu diperlakukan beda dari A, B dan C (saudara-saudara saya)?"

Mau tau jawabannya?

"Karena Dini (adalah) anak Mama yang paling kuat"

Masih panjang sebenarnya jawaban beliau, tapi tidak bisa saya bagikan di sini karena terlalu pribadi, takut menyinggung pihak lain yang disebutkan Mama dalam jawabannya saat itu.

Jawaban beliau mengkonfirmasi dugaan saya selama ini bahwa dibalik semua sikapnya terhadap saya, beliau juga mencintai saya seperti anaknya yang lain. Ada alasan dibalik perbedaan sikapnya selama ini.

Jawaban ini juga membantah perkataan orang yang bilang Mama membenci saya. Sayangnya, orang itu tidak pernah cukup dekat dengan Mama untuk menanyakan hal ini saat beliau masih hidup.

Ketika mau ke bandara untuk pulang ke Jakarta, beliau yang sedang mengunci pintu pagar rumahnya bertanya ke saya, "Aku bisa balik ke sini lagi gak ya, Din?"

"Insya Allah, bisa Ma. Asalkan Mama sehat dulu (pulang dari Medan, beliau akan memulai proses kemo siklus terakhirnya), nanti Dini temenin lagi," jawab saya kala itu.

Honestly, saat itu dalam hati saya merasa, itu mungkin akan menjadi kesempatan terakhir beliau ke rumahnya yang di Medan. Perasaan yang sama yang mendorong saya untuk membeli tiket pesawat bahkan sebelum diajak kesitu.

Dan benar, firasat itu sungguh terjadi. Qadarullah Beliau berpulang beberapa hari setelah menyelesaikan siklus terakhir kemonya. And I was there with her when she took her last breath in her hospital bed 😭😭

It's been 10 years since you were gone, Ma. Wasiat Mama, alhamdulillah sudah Dini jalankan semuanya. Semoga itu bisa membantumu di sana.

Allahummaghfirlahaa warhamhaa wa'aafihaa wa'fu 'anhaa 🤲💚



Keterangan Foto:
1. Mama di makam ortunya
2. Za menemani Opung Ibunya di RS
3. Lebaran terakhir kami 🥺