Sebagai orangtua, alhamdulillah kami belum pernah mengalami pertentangan (yang serius) dengan anak dalam hal menentukan pilihan. Karena pada dasarnya kami selalu mendukung apapun yang menjadi pilihan mereka selama itu membawa kebaikan. Kalaupun tidak, saya dan hubby cenderung membiarkan mereka merasakan konsekuensi dari pilihan mereka. Maksudnya agar mereka dapat belajar bahwa setiap pilihan pasti ada konsekuensinya.
Contohnya saat Z lebih memilih untuk tinggal di rumah (karena mau main komputer) saat kami mau pergi makan di luar rumah. Belum ada setengah jam, Z sudah menelpon bertanya kapan kami pulang. Untung perginya tidak jauh, jadi tidak lama kami sudah sampai di rumah kembali. Dari kejadian itu, Z belajar bahwa ikut pergi bersama kami lebih menyenangkan daripada tinggal sendirian di rumah untuk main komputer sekalipun.
Itu untuk menentukan pilihan. Tapi untuk melepas anak mandiri, jauh dari kami, kok saya belum bisa ikhlas ya? Akhir pekan kemarin, kami berjalan-jalan ke sebuah ponpes (pondok pesantren) di Jakarta Selatan. Setelah bertanya-tanya di bagian administrasi, kami melihat-lihat ke asramanya, tempat para santri mukim (menginap) selama masa pendidikan. Disitu, mulai kelas 3 SD santri/santriwati sudah dibolehkan mukim. Dan bila mukim, hanya boleh pulang ke rumah saat liburan sekolah (kecuali tanggal merah dan Sabtu-Minggu harus tetap di ponpes). Tapi kalau dikunjungi keluarga, boleh. Masuk pesantren/boarding school memang sudah menjadi program pendidikan Z mulai SMP nanti. Itu diputuskan setelah didiskusikan jauh-jauh hari. Tujuannya agar Z bisa belajar mandiri dan bisa lebih fokus belajarnya. Z tentu dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan dirinya.
Sementara Z dan ayahnya melihat-lihat kamar asrama, saya duduk di taman sambil menjaga Zu dan Za. Ternyata di taman itu banyak orangtua yang sedang mengunjungi anaknya. Melihat mereka, mata saya langsung basah membayangkan perasaan rindu yang akan saya rasakan bila datang menjenguk Z nanti (bahkan saat menulis ini pun lagi-lagi saya menangis #bundayangcengeng).
Dalam perjalanan pulang, saya tanyakan kesan-kesan Z terhadap ponpes tersebut. "Apakah abang mau mukim disitu?" Jawaban Z, "Mau. Kan nanti dapat banyak teman baru." "Memang abang tidak mikirin bunda? Mikirin dong, jadi bunda gak repot lagi, kan abang udah jauh tinggalnya." Huaaaa jadi tambah mewek deh bundanya :'( Deja vu. Jadi teringat kejadian 6 tahunan lalu, saat diusianya yang masih 2,5 tahun kami akan meninggalkannya selama 40 hari. Bukannya menangis, Z malah melambaikan tangannya dengan riang sementara saya sudah nangis bombay :(
Duh, susah sekali ikhlas untuk berpisah dengan orang yang kita cintai, terutama anak. Mau rasanya anak-anak selalu bersama saya, selamanya. Tapi orangtua kan tidak boleh egois. Apalagi kalau ini untuk kebaikan mereka. Melepaskannya, tinggal jauh darinya... mampukah saya melakukannya? Semoga Allah SWT memberikan saya kekuatan dan ketabahan untuk menjalaninya.