Tahun 2009 = Tahun Narsis

Sebentar lagi, akan diadakan PEMILU (Pemilihan Umum). Tidak heran kalau di jalan-jalan banyak terdapat spanduk yang memuat foto para calon legislatif (caleg). Spanduk-spanduk berbagai ukuran itu isinya bermacam-macam, diantaranya banyak yang aneh dan lucu.
Pernah lihat spanduk caleg yang menampilkan foto anaknya yang artis? Disitu ditulis: XXXXX, Papanya XXX. Mungkin si caleg tersebut kurang pede (percaya diri) dirinya akan dikenal bila tidak menampilkan foto si anak. Ada juga yang menambahkan gambar singa. Apakah mungkin si caleg ini pekerjaannya adalah sebagai pawang macan? Belum lagi spanduk aneh yang menghubungkan jati diri bangsa dengan pemakaian tangan kanan. Sudah kehabisan ide, atau bagaimana? Itu belum semuanya. Ada spanduk yang memajang tokoh dunia seperti David Beckham dan Barack Obama. Benar-benar SKSD (Sok Kenal Sok Dekat).
Ada beberapa pertanyaan yang melintas di benak saya saat melihat spanduk-spanduk itu. Sebenarnya, siapa yang salah: si caleg atau tim suksesnya? Atau malah bagian percetakan yang mencetak spanduk tersebut? Apa sedemikian tingginya kadar narsis dalam diri sang caleg sehingga tidak bisa melihat bahwa spanduk-spanduk tersebut bukannya mempromosikan dirinya, justru menjadikan dirinya bahan tertawaan orang?
Di luar itu semua, berapa biaya yang mereka keluarkan untuk 'menjual diri' hingga saatnya PEMILU nanti? Ratusan juta, bahkan mungkin mencapai milyaran. Itu baru perseorangan. Belum partainya. Uang sebanyak itu, kalau dipakai untuk membuat proyek-proyek padat karya di negara ini, mungkin Indonesia tidak perlu lagi menambah jumlah hutang luar negerinya, yang jumlahnya mungkin akan sulit dilunasi sampai 7 turunan itu.
Tidak salah memang kalau dikatakan tahun 2009 ini adalah tahun narsis. Sepertinya hampir semua caleg merasa pantas mewakili rakyat. Hanya karena merasa dia anaknya si A, orangtuanya artis B, punya uang untuk membiayai dirinya selama kampanye (bahkan ada artis yang sengaja mengambil banyak job untuk menbiayai kampanyenya!), lalu merasa pantas jadi wakil rakyat? Yang benar saja! Mengapa mereka berani mengeluarkan sedemikian banyak uang untuk menjadi caleg? Apa bukan karena mengharapkan akan mendapatkan yang lebih dari yang telah dikeluarkannya itu, setelah nanti mendapat kursi di pemerintahan?
Saya berharap, semoga yang saya khawatirkan itu tidak benar. Semoga mereka yang terpilih nantinya adalah orang-orang yang memang mampu mengaspirasikan suara rakyat. Semoga rakyat Indonesia pun semakin cerdas dalam memilih wakilnya.

Katanya Emansipasi, Kok Minta Diistimewakan?

Bulan April. Topik yang paling banyak dibahas di bulan ini pastinya mengenai hari Kartini dan Emansipasi (untuk tahun ini, ditambah dengan topik PEMILU, tentunya). Raden Ajeng Kartini memang dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia yang memperjuangkan hak-hak wanita. Pada masanya, R.A. Kartini memperjuangkan persamaan hak bagi wanita dalam memperoleh pendidikan. Hal inilah yang kemudian mendorong terjadinya pergerakan emansipasi wanita Indonesia.
Tolong dikoreksi bila saya salah. Pengertian saya akan emansipasi atau persamaan hak itu adalah wanita dan pria memiliki hak yang sama/setara dalam hal-hal seperti memperoleh pendidikan, pekerjaan, termasuk juga berpolitik. Tetapi pada beberapa tahun belakangan ini, saya melihat tidak semua wanita mengartikan emansipasi sebagai persamaan hak dengan kaum pria. Sebagian kaum wanita justru menerapkan double standard (standar ganda) dalam hal ini. Disatu sisi mereka ingin haknya disetarakan dengan kaum pria, di sisi lain mereka ingin diistimewakan karena mereka WANITA.
Sebelum Anda protes, sebaiknya baca baik-baik bagian berikut ini. Pernah sekali waktu saya naik bis kota dengan seorang teman wanita saya. Bis itu penuh sesak, sehingga terpaksa berdiri sambil berpegangan pada ujung sandaran kursi yang kebetulan diduduki oleh dua orang pria. "Huh, sudah tahu ada perempuan berdiri, bukannya mempersilakan duduk malah pura-pura tidak melihat," omelnya.
Saya tidak mengerti mengapa teman saya itu sangat kesal tidak dipersilahkan duduk oleh 2 pria tersebut. Biasanya di angkutan umum, sering ditempelkan stiker himbauan agar penumpang mendahulukan manula, orang dengan cacat tubuh dan ibu yang membawa anak kecil untuk menempati tempat duduk. Jadi kalau dia seorang wanita yang masih muda dan sehat, seharusnya tidak termasuk dalam 3 kategori penumpang yang harus diprioritaskan, bukan?
Bagaimana dengan etika? Dua orang, pria dan wanita, dalam keadaan sama: lelah di siang hari yang panas di dalam bis kota yang padat dengan penumpang, tentunya mengharapkan hal yang sama: mendapat tempat duduk. Jadi kenapa harus salah satu mengalah? Karena dia pria dan yang satunya wanita? Lha, kan emansipasi?
Bersikap sopan dan tahu etika tentu sangat baik dilakukan. Tetapi kita kan juga tidak bisa menyalahkan seorang pria yang sedang kelelahan dan kepanasan untuk duduk dibangku bis kota yang penuh sesak itu. Darimana tahunya pria itu kelelahan dan kepanasan? demikian Anda menggugat. Sama dengan pria itu, dia juga tidak tahu kalau wanita yang berdiri di samping kursinya itu juga berada dalam kondisi yang sama dengannya, kan?
Lady parking (tempat parkir wanita). Hal ini yang belakangan mulai banyak ditemukan di sejumlah tempat umum, seperti mal-mal dan kantor-kantor. Tujuannya agar para wanita dapat lebih mudah mendapat tempat parkir. Terus terang, saya kok merasa lady parking ini justru seolah-olah menjadi justifikasi (pembenaran) bagi pendapat orang yang mengatakan kaum wanita kurang pandai berkendara. Memangnya kalau wanita, berarti kami tidak bisa parkir dengan mudah seperti kaum pria?
Terakhir, mengenai kuota untuk wanita yang ingin berpolitik di senayan. Mengapa harus ada kuota? Kalau seorang wanita memang dianggap pantas untuk memimpin karena kualitas dirinya, dia kan tidak perlu kuota untuk membuktikan dirinya? Nanti yang ada, karena alasan untuk memenuhi kuota, mereka yang sebenarnya belum pantas terpilih, jadi bisa terpilih.
Jadi kesimpulannya, emansipasi itu sama atau tidak artinya dengan diistimewakan/diprioritaskan? Tentu tidak! Dengan adanya emansipasi, wanita justru seharusnya lebih percaya diri untuk berkompetisi dengan pria. Wanita diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang memiliki kemampuan multi-tasking (berperan ganda). Dengan kemampuan itulah, selama tidak melupakan kodratnya, wanita dapat lebih berhasil dari pria, tanpa merasa harus selalu diistimewakan/diprioritaskan. Setuju?

Masuk Sekolah Jam 6.30: Setuju?

Kening saya mengerut membaca isi sms dari orangtua murid. Isinya menanyakan pendapat apakah setuju bila jam masuk sekolah dimajukan menjadi jam 6.30 dari yang biasanya jam 7.30. Di sms itu dikabarkan bahwa pihak sekolah mendapat teguran dari kecamatan karena belum mengubah kebijakannya sesuai Peraturan Gubernur DKI Jakarta.
Beberapa bulan terakhir ini, memang Peraturan tersebut sudah diterapkan di beberapa sekolah. Tetapi setahu saya, sekolah swasta diberikan kebebasan menentukan jam masuk sekolah. Jadi seharusnya, sekolah anak saya, yang nota bene adalah sekolah swasta, tidak harus tunduk terhadap peraturan tersebut.
Niat dibalik peraturan baru ini sebenarnya baik, yaitu untuk mengurangi kemacetan. Tetapi apakah ini efektif? Dari hasil pantauan beberapa koran ibukota, ternyata yang terjadi adalah kemacetan tetap tidak dapat dihindari, sementara itu para siswa sekolah menjadi kurang konsentrasi di kelas karena mengantuk. Lalu, apa solusinya?
Dari kacamata saya, seorang ibu rumah tangga yang mempunyai anak diusia sekolah, ada beberapa usulan untuk mengurangi kemacetan di kota besar. Hanya saja, cara-cara ini memerlukan kerjasama semua pihak. Usul saya, mereka yg tinggal di komplek perumahan & mempunyai tempat kerja yang sama (seperti komplek bank A, komplek DPR, dll), agar disediakan bis antar-jemput. Cara ini diharapkan bisa mengurangi jumlah pemakaian kendaraan pribadi, selain juga bisa menghemat bahan bakar & mempererat hubungan antar tetangga :)
Cara lainnya, sistem rayon untuk pemilihan sekolah kembali diberlakukan. Diharapkan cara ini dapat mengurangi jumlah siswa yang tinggal jauh dari sekolah, sehingga cukup jalan kaki atau bahkan naik sepeda ke sekolahnya.
Saya tinggal di tengah kota. Karena segala aktivitas memang sengaja dipilih di lingkungan sekitar rumah, jadi jarang merasakan macet. Anak saya yang baru kelas 2 SD, setiap pagi diantar ayahnya ke sekolah sekalian ayahnya berangkat ke kantor yang juga tidak terlalu jauh dari rumah. Kalau anak saya yang masih bayi sedang tidur, biasanya saya memilih menggunakan sepeda motor untuk menjemput si abang dengan ditemani si kakak. Lebih ringkas dan hemat bensin, lagi. Tapi kalau si adik sedang bangun atau hari sedang hujan, ya dengan terpaksa saya memakai mobil. Repot sekali rasanya kalau saya harus membawa 3 orang anak usia 7th, 2th & 4bl sekaligus dengan kendaraan umum.
Peraturan yang memajukan jam masuk sekolah itu, terus terang saya tidak menyetujuinya. Kasihan anak-anak yang harus bangun setiap hari pagi-pagi sekali dan kemudian terkantuk-kantuk di kelas. Apalagi cara ini belum terbukti efektif mengurangi kemacetan. Bagaimana dengan Anda? Setuju atau tidak jam masuk sekolah menjadi 6.30?